Penyitaan Kapal Pesiar Rp3,5 Triliun Buruan FBI ‘Diuji’ di PN Selatan
Berita

Penyitaan Kapal Pesiar Rp3,5 Triliun Buruan FBI ‘Diuji’ di PN Selatan

Pemohon menganggap penyitaan bertentangan dengan sejumlah peraturan perundang-undangan di Indonesia mulai dari UU TPPU, Putusan MK, hingga KUHAP.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
PN Jakarta Selatan. Foto: Sgp
PN Jakarta Selatan. Foto: Sgp

Equanity (Cayman) Ltd, perusahaan pemilik kapal pesiar mewah senilai Rp3,5 triliun yang disita Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri, mengajukan permohonan praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Mereka mempersoalkan penyitaan yang dilakukan penyidik yang dianggap tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

 

Melalui kuasa hukumnya dari kantor Lubis, Santosa & Maramis Law Firm dan juga AFS Partnership, Pemohon menilai penyitaan melanggar prosedur dalam UU No. 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana. Salah satunya, Surat Perintah Penyitaan dari Pengadilan di Amerika Serikat merupakan Forfeiture in Rem yang termasuk dalam ranah perdata, bukan merupakan tindak pidana. Kemudian pihak yang melakukan izin penyitaan adalah Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus (DitTipideksus) Bareskrim Polri, bukan Kepala Kepolisian RI (Kapolri).

 

Alasan lain, penyitaan yang dilakukan bukan berasal hasil tindak pidana. “Termohon menyatakan objek sita merupakan hasil dari Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) seperti dimaksud Pasal 5 dan 10 UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU. Pernyataan ini keliru karena Objek Sita bahkan tidak memenuhi kriteria untuk bisa dikatakan sebagai hasil tindak pidana berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 2010,” kata Andi Simangunsong, salah satu kuasa hukum Pemohon dari kantor hukum AFS Partnership.

 

Andi memaparkan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2010 menyatakan bahwa hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari beberapa tindak pidana tertentu. Kemudian dalam Pasal 5 ayat (1) UU yang sama hanya bisa diterapkan jika ada harta kekayaan yang diperoleh dari salah satu tindak pidana yang ada pada daftar pada Pasal 2 ayat (1).

 

Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2010 menyebutkan hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana:


a. korupsi; b. penyuapan; c. narkotika; d. psikotropika; e. penyelundupan tenaga kerja; f. penyelundupan migran; g. di bidang perbankan; h. di bidang pasar modal; i. di bidang perasuransian; j. kepabeanan; k. cukai; l. perdagangan orang; m. perdagangan senjata gelap; n. terorisme; o. penculikan; p. pencurian; q. penggelapan; r. penipuan; s. pemalsuan uang; t. perjudian; u. prostitusi; v. bidang perpajakan; w. di bidang kehutanan; x. di bidang lingkungan hidup; y. di bidang kelautan dan perikanan; atau z. tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.

 

Dalam perkara ini menurut Andi, Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2010 diterapkan oleh DitTipikor Bareskrim tanpa merujuk pada tindak pidana yang disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1). Sebab, Bareskrim selaku Termohon mengakui bahwa Objek Sita sebenarnya dari hasil dugaan tindak pidana pencucian uang di Amerika Serikat. Artinya, konstruksi perkara ini adalah dugaan pencucian uang yang melahirkan pencucian uang pula.

 

Alasan selanjutnya penyitaan tidak sah menurut Andi karena Bareskrim menyidik dan menyita barang hasil dugaan tindak pidana korupsi di Malaysia maupun pencucian uang yang terjadi di Amerika Serikat yang mana berada di luar wilayah Indonesia. Karena itu, beralasan hukum jika penyitaan yang dilakukan dianggap tidak sah.

Tags:

Berita Terkait