Perkuat Daya Saing, Negara Perlu Fasilitasi Pengusaha Ekspansi ke Luar Negeri
Berita

Perkuat Daya Saing, Negara Perlu Fasilitasi Pengusaha Ekspansi ke Luar Negeri

Cara strategis pertahankan diri di tengah perang pasar saat ini.

KAR
Bacaan 2 Menit
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana. Foto: RES
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana. Foto: RES

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan menjadi era baru bagi negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Terhitung mulai tahun ini, Asia Tenggara akan menjadi pasar tunggal dan tempat berproduksi. Konsep ini serupa dengan Masyarakat Ekonomi Eropa yang dibentuk pada tahun 1957 lalu. Bedanya, bagi Masyarakat Ekonomi Eropa dikenal mata uang tunggal sementara MEA tidak.

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengakui bahwa integrasi ekonomi dalam beberapa dekade ini dianggap sebagai langkah strategis untuk memperkuat daya saing. Utamanya, menurut Hikmahanto adalah dalam melawan negara adidaya Amerika Serikat atau Republik Rakyat Cina. Pasalnya, Hikmahanto menilai kedua negara tersebut memiliki pasar besar dan tempat berproduksi yang kuat.

“Untuk itu, Italia, Belanda, dan sejumlah negara Eropa mengintegrasikan diri dalam pasar tunggal dan tempat berproduksi, meskipun tidak secara kedaulatan. Uni Eropa belum bertransformasi menjadi The United States of Europe (USE). Bila USE terbentuk, maka kedaulatan negara-negara Eropa akan hilang meskipun masing-masing memiliki sistem hukum sendiri,” kata Hikmahanto dalam orasi ilmiahnya pada acara puncak Dies Natalis ke-91 Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia, Rabu (28/10).

Lebih lanjut Hikmahanto mengatakan, dalam kondisi dunia pada saat ini, persaingan antar negara yang dapat memunculkan konflik tidak lagi untuk memperebutkan wilayah. Dalam pengamatannya yang lebih luas, ia juga menyangsikan perebutan pengaruh. Di sisi lain, Hikmahanto menilai justru yang menjadi perebutan negara-negara saat ini adalah pasar dan tempat produksi.

Oleh karena itu, ia pun melihat bahwa saat ini konflik antar negara berkaitan dengan masalah pasar dan tempat berproduksi. Dalam bahasa populer, Hikmahanto mengistilahkan konflik itu dengan sebutan perang dagang atau trade war. Perang ini, menurutnya tak lagi kasat mata melainkan terjadi secara laten.

“Indikasi perang pasar adalah, bahwa di satu sisi ada negara-negara yang memiliki pelaku-pelaku usaha yang kuat. Negara-negara inilah yang menjadi basis produksi,” tambahnya.

Sementara itu, ada pula negara-negara yang menurut Hikmahanto memiliki pasar yang besar. Ia pun menilai bahwa negara seperti itu rawan untuk dieksploitasi. Sebab, negara dengan pasar yang besar, bila dieksploitasi maka akan menjanjikan keuntungan yang besar pula.

Tags:

Berita Terkait