Pertama Kalinya MA Sampaikan Pertanggungjawaban Langsung ke Publik
Utama

Pertama Kalinya MA Sampaikan Pertanggungjawaban Langsung ke Publik

Mahkamah Agung mengeluh soal minimnya anggaran, terutama setelah penyatuan atap dan pembentukan pengadilan baru akibat pemekaran wilayah.

Gie
Bacaan 2 Menit
Pertama Kalinya MA Sampaikan Pertanggungjawaban Langsung ke Publik
Hukumonline
Untuk pertama kalinya Mahkamah Agung (MA) melaporkan pertanggungjawaban atas kinerjanya ke publik. Sebelumnya, laporan pertanggungjawaban MA disampaikan ke MPR sebelum lembaga tertinggi itu dilikuidasi.

Untuk itu, dalam membentuk suatu pengadilan khusus yang baru Bagir mengingatkan agar perlu ada persiapan maupun koordinasi dalam menyusun undang-undang. Saat ini, MA juga tengah mempersiapkan beroperasinya pengadilan perikanan.

Selain pengadilan khusus, dana yang harus dikeluarkan MA akan bertambah sejak lahirnya delapan pengadilan baru akibat pemekaran provinsi. Delapan pengadilan baru tersebut antara lain dibangun di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Maluku Utara, Banten dan Bangka Belitung. Tentunya pengadilan-pengadilan ini memerlukan biaya operasional.

Walaupun ada kenyataan tentang minimnya dana, namun Bagir menekankan bukan berarti MA melarang lahirnya pengadilan-pengadilan khusus. Kita tidak bisa bilang tidak untuk ada penambahan pengadilan, ucap Bagir.

Hambatan

Selain anggaran, soal tunggakan perkara di tingkat kasasi juga menjadi catatan tersendiri bagi MA. Tercatat sampai Januari 2005 masih ada lebih dari 20 ribu perkara yang harus diselesaikan oleh MA. Dalam laporan pertanggungjawaban dijelaskan bahwa penumpukan perkara antara lain disebabkan adanya hambatan yang berbeda-beda di setiap direktorat di lingkungan MA.

Untuk direktorat perdata misalnya, hambatan disebabkan karena antara 2002-2003 terjadi keterlambatan pendistribusian perkara. Sehingga baru pada 2005 ini perkara kasasi perdata yang masuk tahun 2004 didistribusikan. Kendala lainnya adalah tidak adanya pedoman pasti untuk masalah registrasi perkara maupun persoalan administrasi perkara yang tidak lengkap sehingga kerap berkasnya harus dikembalikan.

Lain halnya dengan direktorat pidana. Hambatannya antara lain disebabkan oleh kurangnya peralatan komputer, tidak berfungsinya Sistem Informasi Mahkamah Agung RI (SIMARI), dan keterlambatan pengiriman permohonan penahanan dari pengadilan negeri ke MA yang menyebabkan tahanan terlanjur dibebaskan. Soal prasarana seperti komputer juga menjadi hambatan bagi direktorat pidana militer dan direktorat perdata agama.

Untuk direktorat perdata niaga hambatan sering kali disebabkan karena lambatnya pengiriman putusan untuk perkara yang berasal dari luar Jakarta. Hal tersebut disebabkan karena putusan dikirim lewat pos dan bukan kurir.

Sedangkan untuk direktorat tata usaha negara (TUN) hambatannya lebih banyak lagi. Ada hambatan berupa terlambatnya penerimaan putusan sehingga sering terjadi ketidaksesuaian dalam jawaban untuk surat menyurat. Selanjutnya, permohonan pelaksanaan eksekusi yang belum ada payung hukumnya. Pengenaan uang paksa (dwangsom) seringkali terhambat karena pihak yang kalah tidak mau sukarela melaksanakan putusan pengadilan yang sudah inkracht.

Menurut Ketua MA Prof. Bagir Manan, pembacaan laporan tahunan nantinya akan menjadi ajang tahunan setiap tanggal 31 Maret. Untuk acara laporan pertanggungjawaban kali ini (14/3), selain mengundang berbagai pihak, MA juga mengundang Menteri Hukum dan HAM dan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, hanya Ketua MK Prof. Jimly Asshidiqqie saja yang terlihat hadir.

Dalam laporannya, Bagir memaparkan tentang minimnya anggaran MA. Anggaran MA tahun 2004 yang besarnya Rp153 miliar dinilai belum mencukupi. Padahal, di mata Bagir, masalah anggaran adalah esensial mengingat jaminan atas ketersediaan anggaran yang memadai bagi MA dan lembaga pengadilan lain akan menjamin kemandirian dan efektifitas.

Bagir memaparkan, anggaran 2004 dialokasikan untuk anggaran rutin dan anggaran pembangunan. Total dari anggaran tersebut digunakan sebesar 88,92 persen dari keseluruhan.

Beban karena terbatasnya anggaran ditambah lagi dengan penyatuan atap Departemen Kehakiman ke MA pada 2004 lalu. Belum lagi, adanya pembentukan pengadilan baru—misalnya pengadilan hubungan industrial—maupun pengadilan yang harus dibuat karena terjadi pemekaran wilayah.

Halaman Selanjutnya:
Tags: