Pilih Jaksa Agung dan Kepala BIN Berintegritas
Berita

Pilih Jaksa Agung dan Kepala BIN Berintegritas

Kedua lembaga itu harus dipimpin oleh sosok yang bersih dari persoalan hukum dan menjunjung tinggi penegakan HAM.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Pilih Jaksa Agung dan Kepala BIN Berintegritas
Hukumonline
Imparsial mendesak Presiden Jokowi segera memilih Jaksa Agung dan Kepala BIN baru. Menurut peneliti Imparsial, Ardi Manto, pemilihan pimpinan kedua lembaga itu tidak boleh ditunda terlalu lama karena terkait dengan realisasi janji kampanye Jokowi-JK, yakni mereformasi sistem penegakan hukum dan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM.

Ardi mengatakan selama ini publik mengkritik Kejaksaan Agung dalam penegakan HAM karena seolah menjadi tembok tebal atau menghambat proses penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Sampai saat ini Kejaksaan Agung tidak punya capaian positif untuk mendorong kemajuan agenda HAM.

Ardi berpendapat Jaksa Agung harus menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM, lalu meminta pertimbangan DPR apakah kasus tersebut dikategorikan pelanggaran HAM berat atau tidak. Jika masuk pelanggaran HAM berat maka DPR merekomendasikan Presiden untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc.

“Presiden Jokowi harus memilih calon Jaksa Agung yang berintegritas, bebas dari kasus, memiliki komitmen terhadap agenda penyelesaian kasus pelanggaran HAM. Serta bukan berasal dari partai politik,” kata Ardi dalam jumpa pers di kantor Imparsial di Jakarta, Jumat (14/11).

Mengingat hal utama yang perlu dilakukan yaitu reformasi Kejaksaan Agung, Ardi mengatakan Jaksa Agung baru diharapkan bukan dari internal lembaga tersebut.

Koordinator peneliti Imparsial, Gufron Mabruri, mengingatkan korban pelanggaran HAM beserta keluarganya sudah puluhan tahun berjuang untuk mendapatkan keadilan. Tapi sampai sekarang Kejaksaan Agung belum mampu menghadirkannya. Oleh karenanya pemilihan Jaksa Agung baru penting sebagai wujud realisasi janji Presiden Jokowi untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu dan reformasi hukum.

Jaksa Agung baru harus konkrit dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM. Jangan sampai terjadi lagi ping-pong berkas antara Kejaksaan Agung dan Komnas HAM. Kasus pelanggaran HAM masa lalu yang dapat dimulai penuntasannya oleh Jokowi yakni kasus penghilangan orang secara paksa 1997-1998. Sebab DPR telah menerbitkan rekomendasi kepada Presiden untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc. “Surat rekomendasi itu sudah ada dimeja Presiden,” tukasnya.

Direktur Program Imparsial, Al Araf, mengusulkan agar Presiden Jokowi memberikan syarat kepada calon Jaksa Agung baru untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Jika calon Jaksa Agung tidak punya komitmen itu lebih baik Presiden Jokowi mencari sosok lain. Sebab, jika komitmen itu tidak ada maka janji Presiden Jokowi ketika kampanye yaitu menuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu tak akan terwujud.

Sebagaimana Ardi, Al pun tidak sepakat jika calon Jaksa Agung itu dipilih dari internal Kejaksaan Agung. Karena dari pantauannya selama ini kalangan internal Kejaksaan Agung belum ada sosok yang punya kompetensi dan komitmen menegakan HAM. Itu terbukti dari proses advokasi yang dilakukan Imparsial dalam rangka mendorong penuntasan kasus pelanggaran HAM berat ke Kejaksaan Agung.

Selain itu, ada persoalan internal di Kejaksaan Agung, sehingga upaya reformasi yang dilakukan harus dilakukan oleh orang yang tidak terkait dengan masalah yang ada di dalam institusi tersebut. Al pun mengusulkan beberapa nama yang layak menjabat sebagai Jaksa Agung seperti Todung Mulya Lubis, Bambang Widjojanto, Abraham Samad dan Busyro Muqoddas.

Kepala BIN Baru
Untuk memilih kepala BIN baru, Al menyarankan Presiden Jokowi agar memilih sosok yang mampu mengubah kultur militeristik BIN warisan orde baru menjadi lebih profesional dan kompeten. Itu perlu dilakukan karena intelijen di Indonesia pernah mengalami masa penyalahgunaan kewenangan. Menurutnya, pembunuhan terhadap aktivis HAM, Munir Said Thalib adalah salah satu bukti terjadinya penyalahgunaan kewenangan intelijen itu.

Bagi Al, kepala BIN harus bisa dijabat orang yang berasal dari masyarakat sipil, partai politik atau purnawirawan. Yang penting orang tersebut berintegritas, berkomitmen memajukan HAM dan mampu membuat terobosan. “Jangan pilih kepala BIN yang melanggar hukum dan HAM,” tegasnya.

Sejumlah nama calon kepala BIN yang beredar di media seperti As'ad Said Ali, Sjafrie Sjamsoeddin, Sutiyoso dan Fachrul Razi menurut Al bukan orang yang tepat. Ia berpendapat nama-nama itu terkait dengan persoalan HAM. Jika salah satu nama itu dipilih, Al yakin reformasi ditubuh BIN sulit dilakukan.

Al menegaskan masih banyak sosok yang tepat untuk dipilih sebagai kepala BIN, terutama dari kalangan masyarakat sipil. Seperti Rizal Sukma (direktur CSIS), Ikrar Nusa Bakti (peneliti LIPI) dan Tubagus Hasanuddin (mantan wakil ketua Komisi I DPR).
Tags:

Berita Terkait