PK Lebih dari 1 Kali dan Dampaknya Bagi Arus Perkara di MA
Kolom

PK Lebih dari 1 Kali dan Dampaknya Bagi Arus Perkara di MA

Kekhawatiran timbulnya ekses negatif dari dimungkinkannya PK diajukan lebih dari 1 kali merupakan kekhawatiran yang terlalu berlebihan.

Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Putusan MK No. 34/PUU-XI/2013 yang membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang menyatakan bahwa permohonan PK hanya dapat diajukan 1 kali cukup mendapatkan reaksi yang cukup beragam. Tak kurang mantan Ketua MA Harifin A Tumpa memberikan tanggapan yang cukup keras atas putusan tersebut. Beliau menyatakan putusan tersebut sangat berbahaya karena dapat menambah tumpukan perkara di MA yang saat ini sudah cukup tinggi, dan menghilangkan kepastian hukum. Pandangan serupa juga datang dari MA.

Dari polemik beberapa hari ini terkait putusan MK tersebut saya mencatat terdapat setidaknya 2 kekhawatiran ekses yang mungkin timbul, yaitu bertambahnya arus perkara di MA, dan ketidakjelasan pelaksanaan eksekusi terpidana. Dalam tulisan ini saya mencoba menguji kekhawatiran tersebut khusus mengenai potensi bertambahnya arus perkara di MA.

Potensi Penambahan Arus Perkara Ke MA
Tingginya arus perkara yang masuk ke MA selama ini memang merupakan suatu masalah tersendiri. Tercatat dalam 5 tahun terakhir jumlah perkara yang masuk ke MA tak beranjak dari angka 12-13 ribu. Jumlah tersebut memang cukup besar mengingat sebelum tahun 2007 jumlah perkara yang masuk masih di bawah angka 8000 perkara (Laporan Tahunan MA 2009-2013).

Dimungkinkannya PK lebih dari 1 kali tentu bisa menambah arus perkara. Terpidana yang pernah ditolak PK-nya tentu dapat lagi mengajukan kembali, baik dengan alasan yang sama maupun berbeda. Namun pertanyaannya, seberapa signifikan potensi penambahan arus perkara tersebut?

Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus melihat kembali data perkara di MA secara lebih teliti. Berdasarkan Laporan Tahunan MA tahun 2009 s/d 2013 tren arus perkara pidana (Kasasi, PK dan Grasi) yang masuk ke MA berkisar 4500-5500 buah pertahunnya, atau sekitar 40 persen dari arus total perkara yang masuk ke MA.

Dari jumlah perkara pidana tersebut prosentase terbesar ada pada permohonan Kasasi. Sementara itu rata-rata jumlah permohonan PK pidana pertahunnya berkisar + 300-450 buah, atau + 7 persen dari jumlah perkara pidana atau + 3 persen dari total seluruh perkara yang masuk ke MA. Untuk memperkirakan berapa potensi pertambahan perkara sebagai ekses dari putusan MK tersebut maka data yang perlu dilihat pada dasarnya hanyalah data permohonan PK pidana. Dari sini kita mendapat perkiraan prosentase maksimum potensi kenaikan arus perkara, yaitu sekitar 3 persen.

Selain itu, asumsi bahwa terpidana akan selalu menggunakan upaya hukum yang tersedia sebenarnya belum tentu benar. Jika asumsi ini benar maka tentu jumlah PK selama ini tidak akan sekecil ini. Prosentase PK pidana jika dibandingkan seluruh perkara pidana hanya + 7 persen. Artinya tidak semua terpidana yang telah diputus kasasinya ternyata menggunakan hak PK-nya.

Hitungan di atas tentu akan lebih rendah lagi jika kita memperhitungkan beberapa faktor lainnya, misalnya berapa prosentase PK yang dikabulkan serta prosentase pemohon PK dimana yang dihukum dibawah 1th-1,5 th. Pemohon PK yang sebelumnya permohonannya telah dikabulkan tentu tidak akan mengajukan PK kembali, sementara terpidana yang dihukum di bawah 1th – 1,5 th sangat mungkin tidak akan mengajukan PK kembali karena masa hukumannya telah habis. Dengan memperhitungkan kedua faktor tersebut sangat mungkin potensi kenaikan perkara menjadi lebih rendah lagi, dimana sangat mungkin prosentase kenaikan arus perkara PK pidana tak lebih dari 2 persen.

Pertanyaannya, apakah kenaikan arus perkara + 2 persen cukup signifikan membebani MA? Mungkin di antara 2 persen hanya ada 1-2 terpidana yang memang seharusnya bebas dan hanya dapat diketahui setelah PK kedua, ketiga atau seterusnya. Angka yang terkesan kecil dan tidak signifikan. Namun apakah kita perlu mengorbankan hak mereka hanya karena tak mau menerima tambahan + 2 persen perkara?

Inkonsistensi Sebagai Penyebab PK
Salah satu faktor penyebab terpidana mengajukan PK sebenarnya adalah karena masih tingginya inkonsistensi di MA itu sendiri. Inkonsistensi akan menimbulkan ketidakpastian, dan ketidakpastian hukum akan mendorong terpidana untuk coba-coba mengajukan PK, berharap perkaranya akan diputus oleh hakim agung yang pandangan hukumnya akan menguntungkannya tersebut.

Sebagai salah satu contoh dalam kasus korupsi yang melibatkan ratusan anggota DPRD diberbagai daerah beberapa tahun lalu terkait PP No. 110 Tahun 2000. Setelah PP 110 tersebut dibatalkan oleh MA melalui Hak Uji, MA umumnya masih tetap menghukum para terdakwa anggota DPRD, sebagian dengan alasan tempus delicti terjadi sebelum PP tersebut dibatalkan (lihat MA 1065 K/Pid/2006), sebagian dengan alasan semangat PP tersebut masih tetap digunakan hingga ada peraturan baru (1838 K/Pid/2005). Namun dalam perkara lainnya MA menyatakan dengan dibatalkannya PP 110 tersebut maka unsur melawan hukum menjadi tidak terbukti sehingga para terdakwa harus dilepaskan. Putusan tersebut kemudian digunakan oleh para terpidana lainnya untuk mengajukan PK atas putusan kasasi, yang kemudian dikabulkan oleh MA (lihat 20 PK/Pid.Sus/2008).

Contoh lainnya terlihat dalam putusan MA No. 69 K/Pid.Sus/2013 dan No. 103 K/Pid.Sus/2013. Dalam kedua putusan ini pandangan MA saling bertolak belakang, di satu putusan MA menyatakan audit BPK/BPKP merupakan hal yang mutlak diperlukan untuk membuktikan unsur kerugian negara, sementara dalam putusan lainnya tidak. Padahal kedua perkara tersebut adalah perkara yang sama namun di-splitsing. Sudah dapat diduga terdakwa yang akhirnya dihukum akan menggunakan putusan lainnya sebagai alasan untuk PK.

Jika masalah inkonsistensi ini dapat dipecahkan maka sebenarnya tak hanya potensi kenaikan jumlah PK kedua dan seterusnya yang dapat dikurangi, namun juga jumlah PK itu sendiri secara keseluruhan.

Penutup
Kekhawatiran timbulnya ekses negatif dari dimungkinkannya PK diajukan lebih dari 1 kali pada merupakan kekhawatiran yang terlalu berlebihan. Kita musti jujur bahwa saat ini peradilan kita masih cukup bermasalah, kasus salah tangkap, rekayasa perkara dsb masih cukup tinggi. Putusan MK ini memberikan sedikit harapan kepada orang-orang tersebut. Apalah artinya kenaikan beban perkara di MA jika kenaikan arus yang tak seberapa itu dapat membuka peluang terungkapnya kebenaran dan pulihnya hak-hak orang yang sebenarnya tidak bersalah.

*Kepala Divisi Kajian Hukum, Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP)

Tags:

Berita Terkait