Putusan MK tentang PK Mengkhawatirkan
Utama

Putusan MK tentang PK Mengkhawatirkan

Pada 2013, beban pemeriksaan PK di MA mengalami kenaikan hingga 6,60 persen. Bisa menghambat eksekusi putusan.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Gedung MA. Foto: SGP
Gedung MA. Foto: SGP
Mahkamah Agung (MA) menghormati sekaligus mengkhawatirkan dampak putusan MKyang membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP. Menghormati karena itu adalah putusan yang bersifat final dan mengikat, dan sekaligus khawatir karena pengajuan permohonan Peninjauan Kembali (PK) menjadi tak terbatas. PK boleh diajukan berkali-kali.

Putusan itu akan berimplikasi pada kemungkinan banjir perkara PK. Padahal selama bertahun-tahun MA berusaha mengatasi penumpukan perkara. “Prinsipnya, kita menghormati putusan MK itu, tetapi kita sebenarnya agak khawatir juga,” kata Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Ridwan Mansyur.

Ridwan menjelaskan MA sedang berusaha keras mengurangi penumpukan perkara. Misalnya menerapkan perkara final and binding hanya sampai tingkat pengadilan tinggi dan perkara-perkara yang tidak perlu diajukan kasasi. Dia menilai ketentuan PK yang membatasi sekali itu sebenarnya menyangkut kepastian hukum dan keadilan. Pembatasan itu masuk ruang lingkup hukum acara yang menjadi pedoman court of justice peradilan. “Kalau PK boleh berkali-kali, sampai kapan batas akhirnya? Akan lebih banyak perkara narkoba dan korupsi mengajukan PK,” kritiknya.

Sebagai rujukan, pada 2013 saja Mahkamah Agung menerima 2.426 permohonan PK. Masih ditambah beban perkara yang belum putus tahun sebelumnya sebanyak 2.261. Dengan demikian beban pemeriksaan PK pada 2013 mencapai 4.687 perkara. Beban pemeriksaan perkara mengalami peningkatan 6,60 persen dibanding tahun sebelumnya.

Hambat eksekusi
Putusan MK yang memboleh PK lebih dari sekali itu juga bisa berimplikasi menghambat pelaksanaan putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap. “Ketika perkara sudah dieksekusi, beberapa tahun kemudian seseorang mengajukan PK lagi dan lagi, sepertinya perkara tersebut tidak ada akhirnya,” ujarnya.

Menyikapi putusan MK itu, MA merasa harus lebih keras memberi pemahaman dan pembelajaran kepada masyarakat pencari keadilan atau lawyer bahwa PK harus sesuatu yang luar biasa; ada novum, ada kekhilafan yang nyata sesuai syarat Pasal 268 ayat (2) KUHAP.  “Sebenarnya tidak mudah mengajukan PK, tetapi perkara apa aja bisa diajukan PK.”

Faktanya pun, banyak perkara pengajuan PK yang ditolak karena pemohonnya tidak mampu menyodorkan bukti (novum) yang serius. Umumnya, banyak pemohon PK hanya untuk menghalangi proses eksekusi dan mencari-cari alasan untuk memperlama proses. Sementara novum dan argumentasinnya tidak beralasan hukum. “Putusan MK itu justru menjauhkan rasa keadilan dan kepastian hukum, kan akhirnya kasihan pencari keadilan,” lanjutnya.

Ridwan mengakui sebelumnya MA memberi ruang dimungkinkannya PK lebih dari sekali melalui SEMA No. 10 Tahun 2009 yang bertujuan untuk mencari kebenaran materil. SEMA itu menyebutkan pengajuan PK hanya satu kali, kecuali apabila ada dua putusan yang sama, tetapi putusannya saling bertentangan. “Sementara kita lihat dulu gimana, kemungkinan ada beberapa regulasi MA yang harus dilihat kembali,”  tutupnya.

Hal senada dilontarkan Mantan Ketua MA Harifin A Tumpa yang menilai dihapusnya Pasal 286 ayat (3) KUHAP justru akan membuat ketidakpastian hukum. Arifin memperkirakan, dibolehkanya PK berkali-kali berdampak bagi MA secara langsung. Seperti, sulitnya mencari hakim agung yang tidak sejalan dengan cepatnya berkas perkara menumpuk untuk diperiksa para wakil Tuhan itu.

“Paling berbahaya di sini, perkara itu kapan selesainya? MA jadi banyak pekerjaan, jadi menumpuk sekali perkara. Pasal itu pun sudah pernah diuji dan putusannya ditolak, tetapi kenapa sekarang dikabulkan. Di MK ada 3 orang hakim dari peradilan umum dan agama, kok tidak mengerti. Ini menurut saya betul-betul aneh,” kata Arifin.

MK tidak konsiten
Dosen Hukum Pidana UII Yogyakarta, Mudzakir menilai MK tidak konsisten dalam memutus pengujian Pasal 268 ayat (3) KUHAP. Sebab, dalam dua perkara pengujian pasal yang sama sebelumnya justru MK menyatakan menolak permohonan yang dimohonkan advokat Muh Burhanuddindan Rahmat Jaya dan terpidana seumur hidup kasus narkotika, Liem Maritaalias Aling.

“Pertanyaan hukum saya, apa alasan MK berubah sikap. (MK) tidak konsisten. Dalam perkara yang sama, berubah putusan,” kata Mudzakir.

Saat uji materi yang dimohonkan Burhanudin yang mewakili Presdir PT Harangganjang Herry Wijaya pada 2010, Muzakkir menjadi ahli.  “Saat itu saya berpendapat kepastian hukum harus dijamin, tetapi keadilan harus ditegakkan. Namun, pendapat saya ditolak dengan alasan kepastian hukum. Sekarang Mahkamah berubah, menerima permohonan berdasarkan argumen keadilan,” kata Mudzakir.

MK bisa saja mengubah putusannya, asal menyertakan pertimbangan yang jauh lebih lengkap. Namun, menurutnya, MK tidak menyertakan alasan hukum yang lebih lengkap. “Beberapa hakim yang memutus ternyata sama,” tambahnya.

Suara Hakim pecah
Berbeda dari pandangan MA yang disampaikan Ridwan mansyur, hakim agung Gayus Lumbuun justru menilai putusan MK yang membatalkan berlakunya Pasal 268 ayat (3) KUHAP merupakan putusan yang arif dan bijaksana dalam memahami tujuan hukum yang harus memberi kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan.

Dia katakan semangat putusan MK itu, bukan hal baru sebagai terobosan hukum untuk memberi jaminan kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan kepada masyarakat. Sebab, SEMA No. 10 Tahun 2009 tertanggal 12 Juni 2009 membolehkan pengajuan PK lebih dari satu kali baik terhadap perkara perdata maupun Pidana.

“Memberi kesempatan PK lebih dari sekali juga tidak menjadikan menumpuknya perkara. Soalnya, persyaratan pengajuan PK seperti diatur Pasal 263 ayat (2) KUHAP, seperti adanya keadaan baru (novum) tetap berlaku,” kata Gayus melalui pesan singkatnya.

Menurut dia, materi putusan MK itu harus disikapi dalam revisi KUHAP yang tengah berjalan. Jika meteri revisi KUHAP tidak menyikapi persoalan ini dengan memberi jalan keluar dalam penerapannya, MA bisa membuat peraturan untuk mengisi kekosongan hukum dalam menjalankan kekuasaan kehakiman demi hukum keadilan dan Kebenaran.

Dalam praktik perkara pidana, PK memang dapat diajukan lebih dari sekali. Ini terlihat dari Putusan MA No 183 PK/Pid/2010. Dalam putusan itu, MA membolehkan terpidana mengajukan PK atas putusan PK yang diajukan oleh jaksa sebelumnya. Soalnya, majelis hakim agung menyatakan PK adalah hak terakhir dari terpidana.
Tags:

Berita Terkait