Polemik dan Dinamika Pilkada di Indonesia: Refleksi di Era Reformasi
Kolom

Polemik dan Dinamika Pilkada di Indonesia: Refleksi di Era Reformasi

Jika ditelaah lebih dalam, UU yang mengatur tentang pemilihan kepala daerah, bahkan UU pemilihan presiden dan wakil presiden, terdapat beberapa hal persoalan.

Bacaan 2 Menit

 

Pada tanggal 10 November 2017, Kemendagri memberikan penghargaan kepada 15 kepala daerah berprestasi dalam dua kategori penghargaan, yaitu Penghargaan Parasamnya Purnakarya Nugraha kepada Bupati Pinrang, Andi Aslam Patonagi, Bupati Bantul Suharsono dan Walikota Samarinda, Syaharie Jaang.

Sedangkan penghargaan Satya Lencana Karya Bakti Praja Nugraha kepada Gubernur Kalimantan Timur, Awang Faroek Ishak, Walikota Bontang Kalimantan Timur, Adi Darma, Walikota Makasar Sulawesi Selatan, M. Radhan Pomanto, Walikota Gorontalo, Marten Taha, Bupati Banyuwangi Jawa Timur, Abdullah Azwar Anas, Bupati Probolinggo Jawa Timur, Puput Tantriana Sari, Bupati Karang Anyar Jawa Tengah, Juliatmono, Bupati Pati Jawa Tengah, Haryanto, Bupati Kuningan Jawa Barat, Alm. Utje Choeriah, Walikota Banjar Jawa Barat, Ade Uu Sukaesih, Walikota Sukabumi Jawa Barat, M. Muras dan Walikota Bandung Jawa Barat, Ridwan Kamil.

 

Terlepas kemudian kepala daerah tersebut mendapati “permasalahan” setelah penghargaan diberikan, itu perkara lain. Setidaknya secara kuantitatif, dari 34 Provinsi, 415 Kabupaten dan 93 Kota di Indonesia, hanya 1 Provinsi, 7 kabupaten dan 6 kota yang mendapatkan penghargaan, karena dianggap berprestasi.

 

Jika hanya 15 dari 542 daerah otonomi yang dianggap berprestasi, terdapat 527 daerah otonomi yang stagnan. Jika presentasenya lebih dari 90 persen tidak berhasil, berarti ada masalah yang sistemik. Ini adalah masalah besar yang perlu dipastikan sumbernya dan diobati.

 

Di sisi lain, sejak 2004 pelaksanaan otonomi daerah hingga Juni 2017, data statistik KPK menyebutkan ada 78 kepala daerah (18 orang Gubernur dan 60 orang bupati/walikota dan wakilnya) berurusan dengan KPK. Tentunya, data ini belum termasuk OTT yang baru-baru ini terjadi. Artinya, dari 527 daerah yang tidak berprestasi, 78 di antaranya bermasalah dengan KPK. Apakah mahalnya pilkada langsung menjadi bagian dari permasalahan ini? Adakah sistem yang salah dalam proses rekruitmen kepemimpinan di daerah otonom sehingga menghasilkan kepemimpinan yang tidak berprestasi?

 

Jika kita telaah lebih dalam UU yang mengatur tentang pemilihan kepala daerah, bahkan UU pemilihan presiden dan wakil presiden, terdapat beberapa hal persoalan. Pertama, kandidat yang muncul untuk kemudian menjadi pilihan dalam kontestasi berasal dari kreasi elit politik. Rakyat hanya menerima, given. Di mana kedaulatan yang katanya ada di tangan rakyat untuk memilih pemimpin? Rakyat hanya memilih kandidat yang tersedia, yang (kebanyakan) disediakan oleh partai.

 

Kedua, ada mekanisme lain dalam pilkada, yaitu calon perseorangan, tetapi dalam sejarahnya, sejak diatur dalam UU No. 11 tahun 2006 (otonomi khusus Aceh) dan UU No. 12 tahun 2008 (pada pilkada di luar Aceh) hingga pilkada 2018, jumlah kepala daerah dari calon perseorangan tidak terlalu banyak, bahkan tidak pula ada yang menonjol prestasinya. Pada pilkada 2006 hingga 2012, baru terpilih 8 kepala daerah. Di pilkada serentak 2015 lalu, terpilih 13 paslon perseorangan. Pada 2017 hanya terpilih 3 paslon. Seperti apa petanya pada hasil pilkada serentak 2018? Kita lihat nanti.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait