Prof. Satjipto Rahardjo: Empati Manusia Harus Dilibatkan dalam Penegakan Hukum
Terbaru

Prof. Satjipto Rahardjo: Empati Manusia Harus Dilibatkan dalam Penegakan Hukum

Nampaknya pemikir Francis Fukuyama terlalu tergesa-gesa dan gegabah mengumandangkan kemenangan kapitalisme. Dalam buku fenomenalnya yang berjudul The End of History and the Last Man, Fukuyama berpendapat bahwa laju kereta sejarah sudah berhenti.

Ycb
Bacaan 2 Menit

 

Seusai mengisi Seminar Nasional Pertanggungjawaban Hukum Korporasi dalam Konteks Good Corporate Governance di Hotel Intercontinetal Jakarta, Satjipto menguraikan pandangannya kepada hukumonline. Pria berusia 77 tahun ini juga mengingatkan pentingnya moral dalam mengawal praktek hukum bisnis. Berikut petikan buah pikir guru besar sosiologi-hukum Undip ini.

 

Anda mengutarakan bahwa kita beruntung memiliki contoh Jepang dan China. Keduanya memiliki etika yang berbeda dari dunia Barat. Sebenarnya, apakah Indonesia punya nilai-nilai lokal?

Indonesia jelas punya cerlang budaya (local genius). Kita bisa membandingkannya dengan China dan terutama Jepang. Kita perlu bersyukur bahwa Tuhan menciptakan Jepang di dunia. Jepang bisa mejadi cermin bagi kita, bisa mendorong kita. Jepang banyak melahirkan hal yang sebetulnya berseberangan dengan Barat. Sekalipun Jepang merupakan negara modern, tapi di tengah-tengah kemajuannya, Jepang dapat survive. Kejepangannya tak larut meniru industri Barat.

 

Jadi kalau kita lihat Jepang bisa seperti itu, seharusnya kita bisa berkaca. Apa sih kekurangan kita? Kita sebenarnya punya gagasan-gagasan atau local wisdom. Hanya, kita tidak punya konsistensi. Kita tak punya determinasi untuk mewujudkan nilai-nilai itu ke dalam praksis di kehidupan sehari-hari. Itu kelemahan kita.

 

Contohnya apa?

Hubungan industrial Pancasila itu bagus. Kita sudah punya konsepnya di Orde Baru. Pemikiran ini sangat lain dan memang berseberangan dengan konsep Barat. Tapi kenapa yang muncul malah kasus Marsinah? Buruh disiksa, dijemur? Banyak pekerja yang demo menuntut hak normatif yang belum dibayarkan. Semua ini tak mungkin terjadi jika hubungan industri Pancasila diterapkan dengan baik. Nah, kalau kita mau melihat contoh implementasi industri Pancasila, kita kudu menengok Jepang. Yang kita cita-citakan di sini justru muncul di Jepang. Padahal Jepang tak pernah mengenal Pancasila sama sekali.

 

Kita juga punya istilah menang tanpa ngasorake (menang tanpa mengalahkan). Falsafah ini sudah ada sejak dulu. Kita baru bisa menelannya dengan bahasa win-win solution. Kita juga punya pepatah nglurug tanpa bala (melabrak tanpa bantuan teman). Kelihatannya tak mungkin dan abstrak banget. Tapi baru-baru ini ada buku yang berjudul An Occupation Without Troops (Glenn Davis dan John Roberts, 1996).

 

Institusi publik seperti sebuah korporasi merupakan cerminan bentuk kehidupan sosialnya. Bukan berarti demokrasi hanya punya satu wajah. Demokrasi ala Barat sangat liberal dan individualistik. Sedangkan demokrasi Jepang bernilai kolektif dan komunal. Nyatanya industri dan dunia bisnis Jepang bisa maju pesat. Perusahaan mereka punya watak tersendiri.

Tags: