Prof. Satjipto Rahardjo: Empati Manusia Harus Dilibatkan dalam Penegakan Hukum
Terbaru

Prof. Satjipto Rahardjo: Empati Manusia Harus Dilibatkan dalam Penegakan Hukum

Nampaknya pemikir Francis Fukuyama terlalu tergesa-gesa dan gegabah mengumandangkan kemenangan kapitalisme. Dalam buku fenomenalnya yang berjudul The End of History and the Last Man, Fukuyama berpendapat bahwa laju kereta sejarah sudah berhenti.

Ycb
Bacaan 2 Menit

 

Bisakah itu diterapkan?

Contohnya tindak pidana korupsi (tipikor). Ini adalah extraordinary crime. Selain membutuhkan perangkat aturan yang lebih bagus, kita juga memerlukan extraordinary people. Misalnya hakim Bismar Siregar. Bismar menjatuhkan sanksi denda yang lebih berat dari ketentuan perundangan. Tak gentar dia berkata, Selama di ruang sidang, sayalah Undang-Undangnya. Hukum tak hanya sebatas ketentuan pasal per pasal, tapi juga rasa kemanusiaan dan keadilan. Jadi, kita butuh hakim yang gendeng, jaksa yang edan, dan advokat yang sinting.

 

Cara mencetak orang-orang gila seperti Bismar, bagaimana?

Wah, itu gak bisa dirumuskan dengan singkat. Dibutuhkan watak dan keberanian yang tinggi. Sistem harus mendorong. Jangan sampai kalau ada orang berani malah dikucilkan karena dianggap merugikan instansi.

 

Undang-Undang Tipikor atau KPK hanya menyentuh kerugian keuangan negara. Padahal banyak praktek bisnis swasta yang merugikan masyarakat. Bagaimana menurut Anda?

Iya juga. Tapi yang bisa kita lakukan dengan segera, adalah menyadarkan rakyat. Rakyat harus tahu bahwa pemberantasan korupsi memang untuk kepentingan mereka. Lalu apa? Kalau sudah dinyatakan korupsi, diputus harus membayar sejumlah denda, jangan dimasukkan ke Kas Negara. Tapi langsung dibagikan kepada rakyat. Supaya mereka tahu, pemberantasan korupsi untuk kepentingan mereka. Kalau tidak, mereka bakal capek hanya mendukung antikorupsi tapi mereka tak mendapatkan apa-apa. Katanya uang rakyat dirampok. Sekarang harus langsung dikembalikan. Rakyat harus langsung melihat.

 

Pendapat Anda tentang praktek bisnis di Indonesia?

Saya memang bukan praktisi bisnis. Tapi saya juga mengikuti perkembangannya lewat berbagai bacaan. Saya khawatir, apakah bisnis Indonesia betul-betul punya watak atau hanya mengeruk keuntungan belaka? Substansinya, bisnis Indonesia harus punya watak dahulu. Baru berbisnis. Makanya Jepang berani menawar konsep baru karena punya karakter kuat. Kita juga harus punya sifat tersendiri. Watak bisnis Indonesia ini jangan sampai tercerabut dari akar sosial budaya kita.

 

Tags: