Profesor FHUI Ini Usulkan 6 Langkah Pengembangan Pendidikan Tinggi Hukum Indonesia
Utama

Profesor FHUI Ini Usulkan 6 Langkah Pengembangan Pendidikan Tinggi Hukum Indonesia

Mulai menetapkan arah pendidikan tinggi hukum, butuh pendidikan tinggi hukum yang mengintegrasikan manfaat akademis dan manfaat sosial, hingga meningkatkan pendekatan riset interdisiplin.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 3 Menit
Prof Harkristuti Harkrisnowo (kiri) dan Prof Simon Butt (tengah) saat mengisi seminar dalam rangkaian icLave 2023 di Labersa Toba Hotel & Convention Centre, Toba, Sumatera Utara, Selasa (7/11/2023). Foto: NEE
Prof Harkristuti Harkrisnowo (kiri) dan Prof Simon Butt (tengah) saat mengisi seminar dalam rangkaian icLave 2023 di Labersa Toba Hotel & Convention Centre, Toba, Sumatera Utara, Selasa (7/11/2023). Foto: NEE

Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Prof Harkristuti Harkrisnowo mengusulkan enam langkah untuh masa depan pendidikan tinggi hukum Indonesia, Selasa (7/11/2023). Usul dari wanita yang akrab disapa Prof Tuti ini disampaikan dalam rangkaian 5thInternational Conference on Law and Governance (icLave) yang digelar FHUI pada 7-8 November 2023 di Labersa Toba Hotel & Convention Centre, Toba, Sumatera Utara.

Tuti berbagi panggung dengan Prof Simon Butt dari University of Sydney Law School sebagai narasumber konferensi itu di sesi seminar berjudul “Current Situation and The Reflection of Indonesian Legal Education”. Berikut ini enam langkah yang diusulkan Tuti.

Baca Juga:

1. Menetapkan Arah

“Kita harus menetapkan ulang, arah masa depan pendidikan tinggi hukum seperti apa. Mau lebih menekankan kebutuhan praktisi andal atau pengembangan karier akademik,” kata profesor yang berpengalaman menjabat sejumlah posisi tinggi di Kementerian Hukum dan HAM ini.

Tuti mengakui kerap menerima keluhan para pengguna kemampuan sarjana hukum. Keluhan itu antara lain tidak terbiasa dengan praktik hukum, belum siap bekerja, dan tidak mampu menerapkan hukum dengan tepat. Keluhan ini antara lain menuduh pendidikan tinggi hukum Indonesia lebih berorientasi akademis alih-alih kebutuhan praktis. Intinya, kurikulum pendidikan tinggi hukum pun dituduh tidak mengakomodasi kebutuhan praktis.

Tuti mengingatkan di dunia hari ini memang ada dua orientasi pendidikan tinggi hukum. Jalur pertama memang merekrut mahasiswa untuk menjadi praktisi hukum. Jalur kedua adalah seperti yang dilakukan di Indonesia.

2. Meninjau kurikulum

“Kita harus meninjau kembali kurikulum. Kurikulum kita ibarat hiasan pohon natal yang berwarna-warni. Namun, apa itu mengantarkan pada arah yang dibutuhkan?” ujar Tuti mempertanyakan. Itu sebabnya perlu ditetapkan lebih dulu jalur apa yang mau ditempuh pendidikan tinggi hukum Indonesia.

Tags:

Berita Terkait