Reformulasi Keberadaan Peradilan Militer di Indonesia
Kolom

Reformulasi Keberadaan Peradilan Militer di Indonesia

​​​​​​​Merevisi UU Peradilan Militer, mulai memberikan  kewenangan kepada TNI untuk melakukan penyidikan khusus terhadap prajurit TNI yang melanggar dugaan tindak pidana umum, hingga membentuk jabatan baru Jaksa Agung Muda militer di bawah Jaksa Agung untuk diberi tugas melakukan penuntutan terhadap prajurit yang diduga melakukan tindak pidana di peradilan umum.

Bacaan 2 Menit

 

Rumusan norma Pasal 65 ayat (2) dan (3) sedianya menjadi implementasi prinsip perlakuan yang sama di depan hukum  alias equality before the law. Lagi pula, prinsip tersebut sudah tertuang gamblang  dalam Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 yang “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan  perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.

 

Nah maksud dari rumusan Pasal 28 ayat (1) UUD 1945 yakni terhadap setiap warga negara berhak tanpa terkecuali atas pengakuan dan perlindungan dari negara. Termasuk pula mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum. Tentunya yang adil dan persamaan bagi semua warga negara tanpa adanya perbedaan sedikit pun.

 

Atas dasar itulah, ketentuan UU Peradilan Militer beserta norma substantifnya sebagaimana tertuang dalam KUHP Militer sepanjang belum diamandemen, maka dipandang bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945. Selain itu bertentangan pula dengan TAP MPR RI NoVII/2000 dan UU 34/2004 tentang TNI.

 

Merisak keberadaan regulasi peradilan militer dalam tata urutan perundang-undangan di Indonesia, maka posisinya rentan diajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi oleh masyarakat yang berani dan bersinggungan dengan TNI. Terlebih ketika ketentuan Pasal 65 ayat (2)  belum dapat diimplementasikan.

 

Pasalnya, masih adanya ketentuan peralihan sebagaimana diatur dalam Pasal 74 ayat (1)  yang menyebutkan  “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 berlaku pada saat undang-undang tentang Peradilan Militer yang baru diberlakukan”. Sedangkan ayat (2) menyebutkan, “Selama undang-undang Peradilan Militer yang baru belum dibentuk, tetap tunduk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer”.

 

Namun faktanya, pengaturan prajurit TNI  agar  tunduk kepada peradilan umum tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Bahkan dalam praktik dan implementasinya masih  menjadi problematika psikologis tersendiri yang menarik untuk diperdalam dalam rangka menemukan jalan.

 

Problem psikologis

Sejak era reformasi 1998 hingga kini, berbagai tuntutan agar memproses prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum diadili diperadilan umum masih menimbulkan resistensi di kalangan militer. Bahkan pula menjadi kegamangan di kalangan masyarakat sipil. Dari aspek psikis misalnya, menuai pertanyaan. Yakni terkait kesiapan prajurit  TNI dan aparat penegak hukum dalam menerapkan Pasal 65 UU 34/2004 dengan melakukan revisi UU 31/1997 dan KUHP Militer.

Tags:

Berita Terkait