Regulasi-Regulasi yang Hambat Dana Pensiun Biayai Proyek Infrastruktur
Utama

Regulasi-Regulasi yang Hambat Dana Pensiun Biayai Proyek Infrastruktur

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappennas berharap aturan yang membatasi itu direlaksasi agar tidak membatasi persentase penyertaan langsung bagi pelaku di industri dana pensiun.

Oleh:
NANDA NARENDRA PUTRA
Bacaan 2 Menit
Foto: NNP
Foto: NNP
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro mengaku prihatin lantaran minimnya minat pelaku industri dana pensiun masuk ke proyek- infrastruktur. Padahal dana kelolaan dana pensiun punya karakteristik serupa dengan proyek infrastruktur yang sama-sama punya struktur jangka panjang.

“Mereka belum siap puasa, kita mengerti. Ini kan hal baru,” kata Bambang saat ditemui di Jakarta, Kamis (4/5).

Bambang menjelaskan, pelaku industri dana pensiun belum banyak tertarik biayai proyek infrastruktur karena return baru akan dinikmati dalam jangka waktu yang lama. Jeda yang cukup panjang sejak fase greenfield sampai akhirnya proyek itu menghasilkan return yang membuat mereka masih pikir-pikir biayai proyek infrastruktur. Selain itu, ia menilai ada sejumlah regulasi yang membuat investasi aset dana pensiun pada proyek infrastruktur terhambat.

Salah satu aturan yang dinilai menghambat, menurut Bambang adalah pembatasan alokasi investasi langsung oleh dana pensiun yang maksimal hanya sebesar 10%. POJK Nomor 3/POJK.05/2015 tentang Investasi Dana Pensiun mengatur cukup rinci terkait penempatan investasi bagi dana pensiun. Pasal 2 ayat (1) aturan itu merinci 17 jenis investasi yang diperbolehkan bagi pelaku industri dana pensiun.
Jenis Investasi Dana Pensiun
 
a.    tabungan pada Bank;
b.    deposito on call pada Bank;
c.    deposito berjangka pada Bank;
d.    sertifikat deposito pada Bank;
e.    surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia;
f.     Surat Berharga Negara;
g.    saham yang tercatat di Bursa Efek di Indonesia;
h.    obligasi korporasi yang tercatat di Bursa Efek di Indonesia;
i.     Reksa Dana yang terdiri dari:
1.    Reksa Dana pasar uang, Reksa Dana pendapatan tetap, Reksa Dana campuran, dan Reksa Dana saham;
2.    Reksa Dana terproteksi, Reksa Dana dengan penjaminan dan Reksa Dana indeks;
3.    Reksa Dana berbentuk kontrak investasi kolektif penyertaan terbatas;
4.    Reksa Dana yang saham atau unit penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek di Indonesia;
j.     MTN;
k.    efek beragun aset;
l.     dana investasi real estat berbentuk kontrak investasi kolektif;
m.  kontrak opsi dan kontrak berjangka efek yang diperdagangkan di Bursa Efek di Indonesia;
n.    REPO;
o.    penyertaan langsung baik di Indonesia maupun di luar negeri;
p.    tanah di Indonesia; dan/atau
q.    bangunan di Indonesia.
 
Terkait dengan penyertaan langsung, aturan ini mewajibkan penyertaan pada saham yang diterbitkan oleh perseroan terbatas (PT) dan saham itu tidak tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) baik di dalam negeri maupun luar negeri. Dalam hal penyertaan langsung pada perusahaan Indonesia itu mencapai 25%, maka dana pensiun berhak menempatkan perwakilan dalam Dewan Komisaris dan punya hak memperoleh akses yang tidak terbatas atas inforasi terkait perusahaan.

Mesti dicatat, Pasal 8 ayat (2) aturan itu mengatur bahwa investasi penyertaan langsung di Indonesia dilarang melebihi 15% dari jumlah investasi dana pensiun. Bila melebihi dari itu, dana pensiun wajib memperoleh persetujuan OJK terlebih dulu dan dibatasi hanya pada perusahaan yang bergerak di bidang jasa keuangan. sementara, penyertaan langsung di luar negeri dilarang melebihi 5% dari jumlah investasi dana pensiun dan dianggap sebagai kekayaan untuk pendanaan DPPK (Dana Pensiun Pemberi Kerja).

“Kita minta relaksasi 15%, saya sih ngga masuk tinggi-tinggi dulu, 15-20%. Kalau dari luar negeri mereka ngga ada batasan, sementara ini selain berharap dalam negeri dinaikan lebih dari10%, saya berharap yang dari luar negeri juga masuk,” kata Bambang.

(Baca Ulasan Terkait Potensi Risiko Investasi di Proyek Infrastruktur: 1001 Risiko Bila Asuransi dan Dana Pensiun Investasi di Proyek Infrastruktur)

Sekedar informasi, masih ada regulasi lain yang mengatur serupa dengan POJK tentang Investasi Dana Pensiun. PP  Nomor 55 Tahun 2015 tentang Perubahan PP Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan mengatur pembatasan investasi penyertaan langsung paling besar hanya 5% dari jumlah dana. Begitupula Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 79 Tahun 2011 tentang Kesehatan Keuangan Badan Penyelenggara Program Tabungan Hari Tua Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Aturan itu juga membatasi investasi penyertaan langsung paling besar 5% untuk dana Tunjangan Hari Tua (THT) dan 10% untuk dana Jaminan Pensiun (JP). Selain itu, POJK Nomor 71/POJK.05/2016 Tahun 2016 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi berupa pembatasan investasi atau penyertaan langsung paling besar 10% dari jumlah investasi.

Terlepas dari itu, Bambang mengatakan bahwa Beberapa dana pensiun dari luar negeri telah menyampaikan minatnya untuk berinvestasi di proyek infrastruktur Indonesia, di antaranya Ontario Teacher's Pension Plan (OTPP), yakni dana pensiun guru-guru di Ontario. Dana kelolaannya, lanjut Bambang, bisa mencapai 20 hingga 30 kali lipat dari dana yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Kabarnya, mereka berminat membiayai pembangunan jalan tol, dalam waktu dekat.

Selain masuk melalui investasi langsung, Bambang juga mendorong pembiayaan melalui obligasi bunga abadi (perpetual bond) dan reksadana pendapatan tetap (RDPT). Upaya mendorong pembiayaan investasi non anggaran (PINA) didasari oleh terbatasnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dari total kebutuhan Rp 4.796 triliun untuk 2015-2019, hanya 41,3 persen yang bisa dibiayai APBN.

Sekedar informasi, PINA pada prisipnya merupakan pembiayaan proyek investasi yang bersifat prioritas dimana pendanaannya bersumber dari selain anggaran pemerintah. Fokus investasi skema ada dua, yakni sektor konektivitas yang terdiri dari jalan tol, pelabuhan, Bandar udara, dan kereta api. Sementara, fokus selanjutnya pada sektor energi yang terdiri dari proyek infrastruktur perminyakan, batubara, jaringan pipa gas, dan pembangkit listrik (IPP/Independent Power Producer).

Sumber pendanaan proyek PINA dapat berasal namun tidak terbatas pada dana-dana infrastruktur, dana institusi domestik maupun global, serta pasar modal modal domestik dan global. Sumber pembiayaan yang dimaksud itu bisa berasal dari penanaman modal, dana kelolaan, pasar modal, asuransi, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lain ataupun pembiayaan yang sah lainnya. Bagi Bambang, skema PINA ini pada prinsipnya mendorong partisipasi dari pengelola dana jangka panjang untuk berinvestasi pada sektor ini.

(Baca: Menanti Investasi Dana Pensiun Masuk ke Proyek-Proyek Infrastruktur)

Sebelumnya, Deputi Komisioner Pengawas IKNB I OJK, Edy Setiadi, mengatakan bahwa OJK telah melonggarkan aturan yang mewajibkan pelaku jasa keuangan non-bank, termasuk dana pensiun untuk berinvestasi pada Surat Berharga Negara (SBN) sebesar 30%. Saat ini,  pelaku di industri IKNB dapat memilih opsi lain untuk dijadikan tujuan menempatkan aset-aset dana jangka panjangnya. Sejumlah opsi tersebut diantaranya, obligasi korporasi baik yang diterbitkan BUMN atau pihak swasta.

“Ada kewajiban untuk SBN 30%, tetapi kita (OJK) tahu persis untuk penuhi 30% itu bagi Dapen-Dapen yang kecil tidak mudah karena waktu bidding dan segala macam sudah kalah duluan oleh yang besar. Sehingga dia (Dapen yang kecil) tidak bisa ambil,” ujar Edy saat diwawancara Hukumonline di Jakarta, Kamis (20/4)

Bila opsi yang dipilih pelaku di industri IKNB adalah investasi selain pada SBN, maka kewajiban tersebut akan tetap dianggap sebagai upaya memenuhi investasi pada SBN sebesar 30% itu. Upaya relaksasi ini, lanjut Edy, sekaligus untuk mendorong pelaku industri IKNB terutama dana pensiun agar menempatkan asetnya pada skema investasi yang punya struktur pendanaan jangka panjang.

OJK sendiri, lanjutnya, juga telah membuat wadah pertemuan formal antar BUMN atau anak perusahaan BUMN hingga kalangan swasta untuk dapat mempresentasikan proyek-proyek yang tengah mereka garap kepada pelaku di industri IKNB melalui Indonesia Investment Club. Katanya, forum itu telah digelar beberapa kali dan telah ada potensi dari pelaku jasa dana pensiun yang tertarik menempatkan asetnya pada obligasi korporasi pada proyek-proyek infrastruktur yang digarap pemerintah.

“Itu sudah berlangsung dan kita juga monitor. Kita coba kasih media untuk diskusi yang menerbitkan obligasi. Ini sebagai komponen mencapai porsi 30%. Saya lihat, sudah beberapa Dapen yang secara individual dia punya kontak-kontak sendiri (ke BUMN atau anak usaha BUMN untuk membicarakan lebih lanjut),” terang Edy.

Sebagai informasi, OJK sudah merevisi ketentuan POJK Nomor 1/POJK.05/2016 Tahun 2016 Tentang Investasi Surat Berharga Negara Bagi Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank yang diubah dan diatur dalam POJK Nomor 36/POJK.05/2016 Tahun 2016 Tentang Perubahan POJK Nomor 1/POJK.05/2016. Sebetulnya, ketentuan tersebut juga sudah mulai berlaku sejak 10 November 2016 kemarin.

 Dalam perubahan peraturan itu, OJK menyisipkan satu pasal baru, yakni Pasal 4A dengan tiga ayat yang mengatur perluasan pilihan instrumen investasi bagi lembaga jasa keuangan non-bank, yakni penempatan investasi SBN dengan menampatkan investasi pada obligasi atau sukuk yang diterbitkan BUMN atau BUMD, serta anak usaha BUMN yang mana penggunaannya untuk pembiayaan infrastruktur.

Ayat kedua aturan yang sama, diatur penempatan investasi pada obligasi dan sukuk paling banyak 40 persen sampai 31 Desember 2016 dan paling tinggi 50 persen setelah 31 Desember 2016. Sementara, ayat ketiga, mengatur penempatan itu wajib dilakukan hanya pada obligasi dan sukuk yang tercatat di bursa efek di Indonesia dan sistem electronic trading platform (ETP) di Indonesia dan memiliki peringkat paling rendah investment grade dari perusahaan pemeringkat efek yang diakui OJK.

Kepala Eksekutif Pengawas IKNB OJK, Firdaus Djaelani, mengatakan bahwa pelaku pada industri IKNB punya aset dengan jumlah yang cukup signifikan. Ia mendorong agar mereka mulai masuk ke proyek-proyek infrastruktur  lantaran selama ini hampir 70% investasi aset dana pensiun berada di pasar modal. opsi yang dapat diambil dana pensiun, bisa masuk pada skema obligasi pemerintah, obligasi korporasi, reksa dana, atau skema dengan struktur pendanaan jangka panjang lainnya.

“OJK sudah mewajibkan dana pensiun itu sekurang-kurangnya 30% ditempatkan di dalam SBN. Dan kita perluas untuk proyek infrastrutkur baikyang dilaksanakan oleh BUMN atau yang lain,” kata Firdaus di tempat yang sama.

Ia melanjutkan, OJK juga menyiapkan skema baru yang dapat menjadi opsi yakni Reksa Dana Penyertaan Terbatas (RDPT) Infrastruktur. Pelaku pada IKNB dapat menempatkan asetnya pada RDPT Infrastruktur yang memang diperuntukan khusus untuk membiayai proyek infrastruktur yang dikerjakan pemerintah sendiri atau oleh BUMN maupun swasta. Firdaus berharap, pelaku IKNB terutama dana pensiun dapat mendominasi pada pasar obligasi pemerintah. Sebab, saat ini baru 30% dikuasai oleh pihak asing.

Berbeda dengan sektor pasar modal yang telah dikuasai oleh perusahaan asing lebih dari 60%. OJK ingin pelaku jasa dana pensiun bisa menguasai pasar obligasi pemerintah lantaran akan punya dampak positif terhadap aspek stabilitas pasar. Senada dengan Edy, Firdaus meminta pelaku IKNB dapat memanfaatkan forum Indonesia Investment Club untuk dapat mempelajari proyek-proyek infrastruktur manakah yang paling strategis dan memberikan tingkat return yang apik.

“Ini butuh waktu dan pembelajaran untuk investasi di infrastrutkur, terutama mengenai resiko serta tingkat pengembaliannya (return),” tutup Firdaus.

Senior Vice President Corporate Banking Bank Mandiri Dikdik Yustandi, mengatakan dana-dana yang disalurkan pada proyek-proyek infrastruktur tidak bisa sendiri melainkan harus dilakukan melalui pendanaan secara sindikasi.

"Sindikasi dengan beberapa bank maupun perusahaan pembiayaan. Kita juga mendorong swsta untuk ikut serta proyek infrastruktur. Sama-sama berharap proyek infrastruktur ini bisa bergerak pesat," kata Dikdik.

Sampai dengan kuartal I tahun ini komitmen penyaluran kredit ke proyek infrastruktur oleh Bank Mandiri telah mencapai Rp 202,8 triliun atau tumbuh 28 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Kebanyakan kredit disalurkan pada proyek transportasi, seperti pengerjaan dan pengembangan bandara, pelabuhan serta infrastruktur kereta api. Nilainya cukup besar, yakni untuk pembiayaan jalan raya dan tol sebesar Rp 19,5 triliun,  transportasi sebesar Rp 52,2 triliun, listrik Rp 45,5 triliun, migas dan energi terbarukan sebesar Rp 32,4 triliun, kontruksi sebesar Rp 22,2 triliun, dan telematika sebesar Rp 15,2 triliun.

"Melalui penguatan fungsi intermediasi ini, kami ingin mempertegas peranan sebagai agen pembangunan yang ingin berkontribusi maksimal dalam merealisasikan program-program strategis pemerintah," katanya.

Chief Executive Officer Nusantara Infrastructure Ramdani Basri mengatakan, sejak era Presiden sebelum Joko Widodo banyak pembiayaan proyek infrastruktur yang menguntungkan diambil alih semua oleh bank dan dikerjasamakan dengan perusahaan BUMN lain.

"Bank-bank justru kebanyakan mengambil bisnis konsumer. Dulu kami mengusulkan ada bank infrastruktur agar tidak missmatch. Harusnya mana proyek yang memang tidak bisa dimasuki swasta dikerjakan oleh BUMN, bukan hanya yang menguntungkan saja. Kita sebagai pihak swasta juga ingin diperlakukan adil," katanya.

Direktur Pengawasan Lembaga Pembiayaan OJK, Tuahta Aloysius Saragih menegaskan bahwa OJK berkomitmen untuk mendorong pembangunan infrastruktur. Namun, OJK memahami kekhawatiran dana pensiun ataupun perusahaan asuransi terkait risiko yang mungkin dihadapi. Sejauh ini ia mencatat hanya ada empat perusahaan dana pensiun yang bersedia masuk mendanai infrastruktur yang nlainya masih di bawah Rp 50 miliar.

“Industri butuh grand design, atau cetak biru rencana infrastruktur sampai 20 tahun ke depan,” tutupnya.

Tags:

Berita Terkait