1001 Risiko Bila Asuransi dan Dana Pensiun Investasi di Proyek Infrastruktur
Utama

1001 Risiko Bila Asuransi dan Dana Pensiun Investasi di Proyek Infrastruktur

Tetap ada risiko yang mesti diwaspadai meski swasta dapat jaminan pemerintah saat biayai infrastruktur.

Oleh:
NANDA NARENDRA PUTRA
Bacaan 2 Menit
Pemerintah ubah 200 peraturan yang menghambat. Termasuk menghambat investasi di bidang infrastruktur. Foto: RES
Pemerintah ubah 200 peraturan yang menghambat. Termasuk menghambat investasi di bidang infrastruktur. Foto: RES
High risk high return, low risk low return. Ungkapan itu mestinya menjadi pegangan buat kalangan swasta yang berniat ikut terjun membiayai proyek infrastruktur. Tujuan mengejar return yang tinggi tentu sejalan dengan tingginya risiko yang bakal dihadapi. Kuncinya, terletak pada tahap perencanaan sebelum akhirnya benar-benar memutuskan mengucurkan aset membeli surat berharga proyek infrastruktur.

CEO PT Schroder Investment Management Indonesia, Michael T. Tjoajadi, mengatakan perusahaan asuransi dan dana pensiun punya sejumlah opsi untuk menginvestasikan asetnya pada proyek pembangunan infrastruktur. Opsi itu dapat berupa membeli obligasi yang dikeluarkan korporasi pemilik proyek atau juga bisa memilih opsi untuk menjadi funding pada proyek infrastruktur itu secara langsung. Keduanya, sama-sama punya liabilitas jangka panjang.

“Asuransi umum tentu punya liability yang lebih pendek tetapi ekuitas bisa diinvestasi untuk jangka panjang juga. Asuransi jiwa punya kewajiban yang lebih panjang sehingga bisa match kebutuhan tadi,” kata Michael dalam diskusi yang digelar di Jakarta, Kamis (16/3).

Michael menambahkan, dalam hal perusahaan asuransi dan dana pensiun membeli obligasi korporasi atau membeli obligasi per project terms, pilihan itu dinilai sama-sama punya potensi resiko yang mesti dimitigasi. Mesti diingat, pembangunan infrastruktur memiliki tahapan-tahapan mulai dari perencanaan sampai proyek itu dioperasikan. Menurutnya, salah satu resiko yang mesti dihadapi terkait dengan tahapan itu adalah proyek itu tidak akan menghasilkan tingkat return saat perusahaan asuransi ataupun dana pensiun itu melakukan funding sejak tahap awal. (Baca Juga: Aturan Baru, Kemenkeu Tunjuk PIP Sebagai Pelaksana Pembiayaan Ultra Mikro)

Dalam skema yang lain, misalnya ketika perusahaan asuransi atau dana pensiun memilih untuk memberikan kredit kepada korporasi dimana korporasi nantinya menjadi borrower. Kemudian korporasi membayar kupon obligasi itu dengan asetnya, cara ini dinilai lebih aman dibandingkan dengan melakukan funding sejak tahap awal proyek hanya saja keuntungan atau tingkat return cenderung lebih kecil ketimbang masuk mulai dari tahap greenfield atau brownfield.

“Karena risiko di greenfield atau brownfield itu lebih besar dibandingkan investasi langsung di perusahaan,” sebutnya.

Opsi terakhir, perusahaan asuransi atau dana pensiun sebetulnya juga bisa membentuk konsorsium untuk membeli proyek-proyek, baik itu proyek yang masih greenfield dan brownfield atau membeli proyek yang memang sudah selesai dalam arti sudah efektif beroperasi. Problemnya, pemerintah tidak akan semudah itu melepas proyek yang sudah beroperasi lantaran mereka bisa menghasilkan cash flow yang sangat baik, contohnya membeli proyek Tol Cikampek yang diketahui menjadi proyek jalan tol paling sibuk se-Indonesia. (Baca Juga: Perlu Insentif Bagi Bank yang Membiayai Infrastruktur)

Lantas, proyek infrastruktur seperti apa yang sebetulnya cocok bagi perusahaan asuransi ataupun dana pensiun? Menurut Michael, perusahaan asuransi atau dana pensiun dapat mempertimbangkan untuk melakukan kombinasi misalnya mendanai proyek jalan tol yang punya prospek bagus sekaligus mendanai proyek infrastruktur kereta api yang tidak terlalu menjanjikan dari segi return-nya. Namun, perusahaan asuransi ataupun dana pensiun itu sebaiknya tak asal menunjuk proyek mana yang akan dipilih, tetapi penting melakukan analisa mendalam terutama terkait risiko.

“Kalau kita bisa lihat opportunity dari project-project itu, maka ini jadi satu ide bagus untuk mengkombinasikan itu dan tidak hanya leverage di satu industri. Misalnya, beli Tol Trans Sumatera kemudian Kereta Api Jakarta – Bandung, karena itu akan ramai,” kata Michael mencontohkan.

Menarik juga misalnya, lanjut Michael, mengkombinasikan dengan proyek infrastruktur listrik. Sebagaimana diketahui, pemerintah punya rencana untuk mengembangkan industri listrik ini dengan membangun pembangkit listrik 35.000 Mega Watt yang membutuhkan dana mencapai Rp 1.000 Triliun. Tantangan membangun proyek ini adalah dibutuhkan keahlian teknis mengenai listrik yang sebetulnya itu bisa diatasi dengan menggunakan pihak ketiga untuk melihat peluang tersebut. (Baca Juga: OJK Siapkan Regulasi Buat Pelaku Fintech Berbasis On Balance Sheet)

Di sejumlah negara misalnya, Malaysia, Singapura, bahkan China, mereka menggunakan jasa pihak ketiga untuk membantu paling tidak menganalisa bagaimana teknis mengelola sampai menjual listrik, lalu menganalisa posisi demografi, sampai menghitung berapa persentase konsumen yang akan menggunakan listrik. Di Indonesia sendiri, lanjut Michael, mesti dihitung aspek-aspek yang lain misalnya saat mendanai Bandar Udara apakah akses transportasi menujuk bandara sudah tersedia serta berapa volume pengguna pesawat yang akan menggunakan bandara itu setelah beroperasi.

“Hal itu harus dilihat alternatifnya karena jangan sampai kita salah. Karena pemerintah yang pingin membangun tetapi perusahan yang invest taking the risk. Akhirnya apa yang terjadi kalau kita sudah invest disana? Kalau kita per project, maka cash flow yang berhasil dari project itu maka turun. Kalau kita ingin Sukuk, kita akan problem disitu karena dijamin cash flow dari project itu dan itulah yang harus diperhatikan. Tapi masing-masing berikan keuntungan sendiri karena project seperti ini akan berikan return yang lebih baik dari project gelondongan. Jangan sampai nanti macet, kalau BUMN jadi masalah, kalau swasta ngga bisa tambah modal bisa tutup,” kata Michael menjelaskan.

Partner dari Skha Consulting, Herianto Pribadi, dalam kesempatan yang sama, mengatakan bahwa kapasitas pembiayaan institusi keuangan untuk infrastruktur terbilang besar hanya saja realisasi kapasitas itu belum optimal. Perhitunganya, peluang industri asuransi bisa mencapai Rp 106 triliun sementara dana pensiun mencapai Rp 35 triliun berdasarkan ketentuan kewajiban investasi langsung ke proyek infrastruktur, yakni 10% dari total investasi asuransi dan 15% dari total investasi dana pensiun.

“Kalau itu masuk ke ekuitas, ini akan menjadi leverage oleh bank jadi Rp 300 Triliun. padahal yang baru masuk baru Rp 6 Triliun, memang Pr (pekerjaan rumah) yang besar sekali,” kata Herianto.

Ia menambahkan, sebetulnya untuk mengejar total kebutuhan pembiayaan infrastruktur sampai tahun 2019 yang totalnya mencapar Rp 5.000 Triliun masih jauh dari kecukupan. Penyaluran dana pensiun dan asuransi untuk pembiayaan infrastruktur hanya 0,6% dari total investasi (5,6% dari kapasitasnya). Namun, Hendrianto optimis bahwa tahun 2017 ini, pembiayaan infrastruktur oleh institusi keuangan diproyeksikan akan meningkat tiga kali lipat dibandingkan tahun lalu, khususnya dana pensiun dan asuransi meskipun jumlah itu baru memenuhi 11 persen dari nilai yang ditargetkan pemerintah.

“Kami mendorong bagaimana ada namanya estafet financing. Jadi satu persiapan ada pembiayaannya tetapi begitu selesai persiapan sudah ada yang membeli berikutnya, kemudian di construction ada tapi sudah ada standby buyer untuk yang di fase berikutnya sampai akhirnya yang benar-benar dana jangka panjang,” usul Herianto.

                                               Pembiayaan Infrastruktur Secara Estafet
Greenfiled
Brownfield
PersiapanKonstruksiStabilisasiOperasi
(kapasitas penuh)
Mature
Ekuitas ·         Equity internal minimum
·         Perpetuity Bonds
·         Equity financing
·         RDPT
·         Turnkey Equity Financing
·         Convertible Loan
·         Mezzanine
·         IPO
·         Convertible Loan
·         Trust/Pool Fund
·         Investor tidak harus jangka panjang

·         Regulasi dan kebijakan yang akan support akan menstimulasi dana di sektor infrastruktur
Debt ·         Corporate Loan ·         MTN
·         Construction Loan/Project Loan
·         SBLC/SKBDN
·         Turnkey Financing
·         MTN
·         Project Bond
·         Project Bond
Sumber: Skha Consulting, Maret 2017
Terlepas dari hal itu, Herianto menjelaskan bahwa institusi keuangan berpotensi mengisi debt maupun equity side di setiap fase proyek infrastruktur, yakni planning, construction, operational. Skemanya biasa dilakukan melalui dua jenis, baik direct investment maupun menggunakan instrumen keuangan itu sendiri. pada fase construction, pembiayaan perbankan melalui kredit sindikasi menjadi tren di emerging market countries dan mengalami peningkatan signifikan sejak tahun 2008. Kemudian, fase operational, dapat dilanjutkan dengan project bond yang juga meningkat sejak tahun 2009 terutama di China.

“Infrastruktur ada fase planning, 1-2 tahun. construction, dan operation. Resiko terbesar di masa awal, tetapi peran institusi keuangan itu tidak menunggu pada waktu dia stabil tapi mulai dari awalpun dia sudah mulai masuk baik equity financing maupun Loan financing. Di construction seluruh pembiayaan infrastruktur menggunakan loan dari bank,” jelasnya.

Herianto mendorong setidaknya regulator diharapkan dapat mendorong pembiayaan infrastruktur melalui relaksasi kebijakan namun tetap mengedepankan prinsip prudent serta mendorong skema estafet financing sehingga dapat mencipkatakan bursa infrastruktur. Sementara, bagi project owner diharapkan melakukan persiapan proyek yang matang dan pembenahan sistem pembiayaan dari institusi keuangan. Sedangkan, institusi keuangan diusulkan menciptakan produk, mencari sumber pendanaan, serta mempersiapkan manajemen resiko untuk terlibat dalam pembiayaan infrastruktur.

“Ini diharapkan bisa meramaikan instrumen pasar untuk infrastruktur,” kata Herianto.

Lantas, berapa sebetulnya total aset industri asuransi dan dana pensiun itu sebetulnya? Kepala Eksekutif Pengawas IKNB OJK, Firdaus Djaelani menyebutkan bahwa potensi dana yang dihimpun atau dikelola oleh industri asuransi maupun dana pensiun mencapai kurang lebih Rp. 1.000 Triliun. Namun, aset tersebut tidak sepenuhnya berstatus nganggur, dalam arti sebagian diantara jumlah tersebut sudah dialokasikan untuk peruntukan yang lainnya seperti berada di deposito.

“Sebetulnya asuransi dan dana pensiun punya dana sampai Rp 1.000 Triliun lebih. Tapi kan semua uang itu bukannya nganggur ada di kas, tapi kan ada yang di deposito,” kata Firdaus saat diwawancarai Hukumonline, Kamis (16/3) di Jakarta.

Firdaus melanjutkan, perusahaan asuransi dan dana pensiun dapat melakukan pemindahan wadah investasi dengan catatan perhitungan yang dilakukan harus akurat melihat peluang dan resiko yang mungkin ditemui. Firdaus menegaskan bahwa OJK menyerahkan ini sepenuhnya kepada masing-masing perusahaan. Apabila perusahaan memilih menjadi anggota konsorsium untuk membiayai proyek infrastruktur, tentu resiko-resiko itu wajib diperhitungkan.

Sementara, ketika perusahaan asuransi atau dana pensiun memilih jalan dengan membeli surat berharga yang diterbitkan perusahaan yang menggarap proyek, perusahaan itu bisa melihat rating yang diterbitkan oleh perusahaan yang melakukan pemeringkatan. Firdaus menambahkan, OJK sendiri sudah merevisi ketentuan POJK Nomor 1/POJK.05/2016 Tahun 2016 Tentang Investasi Surat Berharga Negara Bagi Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank.

Revisi ketentuan itu selanjutnya diatur dalam POJK Nomor 36/POJK.05/2016 Tahun 2016 Tentang Perubahan POJK Nomor 1/POJK.05/2016. Dalam perubahan peraturan ini, OJK menyisipkan satu pasal baru, yakni Pasal 4A dengan tiga ayat yang mengatur perluasan pilihan instrumen investasi bagi lembaga jasa keuangan non-bank, yakni penempatan investasi SBN dengan menampatkan investasi pada obligasi atau sukuk yang diterbitkan BUMN atau BUMD, serta anak usaha BUMN yang mana penggunaannya untuk pembiayaan infrastruktur.

Pada ayat kedua aturan tersebut, diatur penempatan investasi pada obligasi dan sukuk paling banyak 40 persen sampai 31 Desember 2016 dan paling tinggi 50 persen setelah 31 Desember 2016. Sementara, ayat ketiga, mengatur penempatan itu wajib dilakukan hanya pada obligasi dan sukuk yang tercatat di bursa efek di Indonesia dan sistem electronic trading platform (ETP) di Indonesia dan memiliki peringkat paling rendah investment grade dari perusahaan pemeringkat efek yang diakui OJK. Ketentuan itu mulai berlaku per 10 November 2016.

“Kita mengamandemen POJK karena itu. Bagaimana mendorong partisipasi swasta untuk bisa investasi di proyek-proyek infrastruktur. Jadi kita ketemu dengan para BUMN Karya, ketemu dengan Indonesia Investment Club yang dari perusahaan asuransi dan dana pensiun kita pertemukan. Misalnya, WIKA punya proyek apa, nanti presentasi saja. Apakah dia mau ikut sebagai konsorsium pembiayaan  atau mau hanya sekedar membeli surat berharga (MTN) yang diterbitkan oleh perusahaan karya itu,” pungkas Firdaus.

Presiden Direktur PT Indonesia Infrastructure Finance (IIF), Ari Soerono menjelaskan bahwa resiko utama dari sebuah usaha adalah market risk. Untungnya, pemerintah sendiri memiliki sejumlah dukungan untuk proyek-proyek infrastruktur yang nantinya dapat memberikan jaminan dalam hal misalnya terdapat resiko yang dihadapi oleh pihak swasta, antara lain Avaibility Paymet (AP) maupun Viability Gap Fund.

“Misalnya bangun jalan tol di Papua, resikonya apakah ada banyak mobil yang lewat jalan itu. Skema AP itu sendiri untuk mengambil alih market risk tersebut,” kata Ari.

Ari menyebut bahwa skema itu telah berjalan di Indonesia, salah satunya dalam proyek Palapa Ring paket Barat, Timur, dan Tengah yang dipimpin oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika dimana dalam proyek ini swasta diberi kesempatan untuk membangun jalur telekomunikasi bawah laut. Bila diasumsikan misalnya, pada proyek Palapa Ring Tengah, bisa saja swasta khawatir mengenai berapa market pengguna internet di wilayah itu. kata Ari, resiko itulah nantinya yang akan diambil pemerintah dimana sepanjang infrastruktur tersededia, maka pemerintah akan membayar.

Pertanyaannya, bagaimana bila pemerintah tidak membayar?. Ari menyebutkan bahwa resiko itu sudah dimitigasi dengan jaminan yang dijamin oleh Indonesia Infrastructure Guarantee (IIGF). Pemerintah yang telah berkomitmen menjamin namun tidak membayar skema AP itu misalnya, maka IIGF yang akan memberikan asuransinya. Terlepas dari hal itu, Ari mengatakan bahwa pembiayaan infrastruktur memberikan return yang stabil sepanjang proyek itu selesai.

Resiko terbesarnya, lanjut Ari, ada pada saat konstruksi. Apabila resiko konstruksi itu sudah bisa dimitigasi, maka berinvestasi di infrastruktur bagi perusahaan asuransi dan dana pensiun merupakan pilihan yang mesti dipertimbangkan lantaran pembiayaan infrastruktur menawarkan sebuah kesempatan investasi dengan tenor jangka panjang dan memberikan return yang stabil. Bila resiko pembangunan infrastruktur itu sudah coba dipetakan, berinvestasi di infrastruktur bisa dipertimbangkan karena resiko sudah ada yang memperhitungkan.

“Asuransi jiwa memerlukan aset jangka panjang. Kedua, pembiayaan infrastruktur itu resikonya bisa diukur sepanjang melakukan persiapan dengan baik. Karena kita sudah bisa jaga market risk-nya, apalagi kalau dapat dukungan dari pemerintah,” tutup Ari.

Alternatif Sumber Pendanaan untuk Pembangunan Infrastruktur
Pinjaman
Equity
1Dukungan Pemerintah1LNKB Khusus
a)    Skema Avaibility Payment (AP) dan Skema Performance Based Anuity (PBAS);
b)    Viability Gap Fund;
c)    Kerjasama Pemerintah Badan Usaha (KPBU)
a)    Equity Investment;
b)    Mezzanine
2Direct Lending2Pasar Modal
Pinjaman dari Lembaga MultilateralFundraising equitydi pasar modal
3Pasar Modal
a)    Obligasi;
b)    MTN (Medium Term Notes)
4LNKB Khusus
a)    IIF(Indonesia Infrastructure Finance)
b)    SMI (Sarana Multi Infrastruktur)
Sumber: PT Indonesia Infrastructure Finance (IIF), Maret 2017 (Diolah)

Sebelumnya, Partner dari firma hukum Armand Yapsunto Muharamsyah & Partners (AYMP), Mutiara Rengganis menilai upaya pemerintah menarik minat investor dengan cara menerbitkan Perpres Nomor 38 Tahun 2015 merupakan suatu terobosan. Lewat regulasi itu, pemerintah mencoba melakukan inovasi baru dalam rangka mendukung pembiayaan proyek-proyek infrastruktur.

“Institusi yang dibuat seperti Indonesia Infrastructure Guarantee (IIGF), PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI), PT Indonesia Infrastructure Finance (IFF). Itu salah satu mekanisme yang dibuat pemerintah agar swasta ini mau atau tertarik dalam proyek ini,” kata Mutiara.

Meskipun mengapresiasi, Mutiara juga punya sedikit catatan yang mesti menjadi perhatian semua pihak terutama pemerintah. Isu besar yang masih terus menjadi tantangan buat investor adalah mengenai penjaminan. Di sini, ia melihat kadangkala ada sikap pemerintah yang enggan memberikan penjaminan pemerintah meskipun ia menyadari bahwa tidak semua proyek bisa diberikan penjaminan pemerintah. Tentunya, pemerintah punya prioritas seperti proyek mana saja yang bisa mendapatkan penjaminan pemerintah.

Keberadaan Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) yang mengawasi pelaksaan proyek infrastruktur coba ditawarkan. Namun, kata Mutiara, peran KPPIP sangat terbatas mengingat komite tersebut hanya fokus untuk proyek-proyek infrastruktur prioritas. Setahunya, saat ini ada sekitar 30 proyek prioritas yang dibuat dan tengah diawasi oleh KPPIP.

“Ada banyak proyek lain yang perlu dibuat pemerintah, bukan hanya itu saja. Dan skema financing harus lebih jelas,” ujar Pengurs dari Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) itu.

Selain itu, kendala lain yang dihadapi dari segi proyek adalah soal bagaimana pemerintah menunjuk proyek-proyek yang akan diajukan kepada investor. Selama ini pemerintah masih menggunakan cara dimana proyek-proyek dari daerah disaring oleh Bapennas dan dilihat mana proyek yang potensial. Dari situ, proyek-proyek diusulkan berdasarkan urutan dimana proyek itu lebih siap untuk ditawarkan, maka proyek itulah yang ditawarkan kepada investor.

Mutiara usul sebaiknya cara itu tidak lagi dipakai oleh pemerintah. Menurutnya, investor tidak akan peduli dengan proyek-proyek mana saja yang siap. Sebaliknya, lanjut Mutiara, investor lebih ingin tahu apakah suaatu proyek bagus atau tidak untuk investasinya. Dengan kata lain, ia mendorong pemerintah membuat formulasi baru dalam menawarkan proyek kepada investor.

“Harusnya tidak gitu, harusnya proyek mana nih, kita lihat dari sisi proyek yang lebih atraktif bagi swasta itulah yang disiapkan untuk swasta. Jangan kebalikannya. Proyek-proyek yang tidak menguntungkan malah dikasih ke swasta. Itu yang membuat akhirnya proyek sekarang banyak mandek,” paparnya.

Jalan keluar yang bisa dilakukan, sebut Mutiara adalah dengan memberikan semacam insentif untuk proyek-proyek infrastruktur. Menurutnya, ada beberapa macam insetif yang diberikan, salah satunya dengan skema proyek Build Operate Transfer(BOT). Skema BOT lebih fokus pada status kepemilikan (ownership) dari suatu aset apakah itu milik pemerintah ketika masa konsesi atau apakah itu milik swasta selama masa operasional atau sebagainya.

“Inti dari BOT itu adalah bagaimana kita men-structrure proyek supaya itu atraktif untuk swasta. Dari sisi swasta itu concern-nya terutama dari sisi operasional karena kontrak BOT itu dibuat sedemikian lama tujuannya supaya swasta bisa me-recover investasinya dengan cara dia mengoperasikan proyeknya,” terangnya.

Kepada hukumonline, Mutiara mengatakan bahwa banyak yang tidak menyadari bahwa proyek infrastruktur memiliki jangka waktu yang cukup lama. Full recovery baru bisa terjadi pada masa konsensi. Seharusnya pihak yang mengerjakan BOT itu diberikan jaminan bahwa dia bisa mengerjakan proyek itu tanpa interupsi. Jadi sepanjang masa konsesi itu, mereka harus dapat jaminan dari pemilik proyek bahwa dia bisa mengerjakan proyek itu tanpa gangguan.

Akan tetapi, kembali ke pernyataan Mutiara sebelumnya bahwa tidak semua proyek BOT itu layak. Artinya,  ada proyek-proyek infrastruktur yang tidak layak karena pertimbangan biasanya berdasarkan hitungan investor sendiri. Jadi, karena itu pemerintah perlu memberikan subsidi seperti memberikan dukungan kas atau dana dukungan tunai infrastruktur (Viability Gap Fund/VGF), yakni dukungan kelayakan untuk konstruksi.

“Misalnya ada project cost misalnya sekian, nanti dari pemerintah bisa memberikan dukungan dalam bentuk cash untuk pembangunan konstruksi. Tapi hanya sebagian tidak boleh lebih besar dari setengah, tidak boleh mendominasi istilahnya kalau di dalam peraturan,” sebutnya.

Selain VGF, ada lagi bentuk penjaminan lainnya seperti skema pembayaran atas ketersediaan layanan (Availaibility Payment). Cara itu khusus untuk proyek yang ditinjau dari segi ekonomis sangat rendah, bahkan tidak ada nilainya. Misalnya, proyek yang ada kaitannya dengan pembangunan rumah sakit, rumah sakit daerah, atau lembaga pemasyarakatan (Lapas) dimana jenis ini tidak punya revenue langsung secara otomatis sehingga harus dibayar oleh pemerintah, bentuknya lewat availability payment.

“Jadi pemerintah menganggarkan dalam APBN untuk pembayaran availability payment itu kepada swasta. Sifatnya itu pembayaran cash terhadap layanan yang diberikan. Nah itu harus sesuai dengan kriteria atau indikator yang disepakati dalam perjanjian, service level-nya. Kalau service levelnya tidak dipenuhi swasta, otomatis dia tidak berhak dong pas pembayaran itu,”

Selain itu, ada juga yang dinamakan Government Guarantee. Tujuannya adalah untuk credit enhancer atau meningkatkan kredit. Ambil contoh misalnya, ada suatu proyek yang sudah layak tetapi investor masih ragu-ragu karena mereka melihat resiko dari segi politik (political risk). Namun, ketika Investor melihat government guarantee, maka itu sebagai credit enhancer yang bisa menurunkan financing.

Meski begitu, pemerintah juga perlu mendorong dari segi pembiayaannya. Saat ini telah ada SMI atau IIF terkait dengan penjaminannya. Namun, itu masih belum cukup lantaran proyek yang mesti didanai sangat banyak jumlahnya. Mutiara usul, mestinya pemerintah bisa menggerakan sektor lain seperti perbankan dan pasar modal secara luas untuk membiayai proyek-proyek tersebut.

“Kalau SMI dan IFF kan tujuannya untuk menjadi katalis saja sifatnya supaya banyak dulu proyek yang dibiayai atua dimulai dikerjakan oleh swasta. Tapi kedepannya harus digerakan dari sektor perbankan dan pasar modal secara luas. Contohnya mengenai financing melalui penerbitan obligasi untuk infrastuktur bond. Itu salah satu yang menarik, tapi saat ini belum terlalu dimanfaatkan pemerintah.

Dengan kata lain, pemerintah belum terlalu memperhatikan alternatif pembiayaan lain buat proyek-proyek infrastruktur. Selain itu, dari sisi insentif juga belum ada yang diberikan. Misalnya, insentif dalam bentuk pajak. “Biasanya kalau orang disuruh beli obligasi, dia mau yang yield tinggi. yield yang tinggi kalau tidak ada tax insentif kan susah,” tutupnya.
Tags:

Berita Terkait