Restorative Justice Kasus Korupsi, Bertentangan dengan UU Pemberantasan Tipikor
Utama

Restorative Justice Kasus Korupsi, Bertentangan dengan UU Pemberantasan Tipikor

Pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapus pidana. Korban dari kejahatan tipikor adalah masyarakat luas, sehingga sulit melakukan perdamaian antara pelaku korupsi dengan korban seluruh rakyat Indonesia.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit

Dampaknya terhadap kerugian keuangan negara serta pelayanan masyarakat menjadi dirugikan. Sebab pajak yang dibayarkan masyarakat bertujuan bagi pembangunan. Tapi sebaliknya, malah dikorupsi untuk kepentingan pribadi oknum pejabat. Alhasil, pembangunan pun terhambat, serta mengganggu keuangan negara. Menurutnya dengan ilustrasi tersebut konsep restoratif justice tak dapat diterapkan sekalipun korupsi bernilai Rp100 juta dengan dalih nilai kecil.

“Jadi restorative justice untuk tipikor tidak bisa diterapkan, karena karakteristik kejahatan korupsi dan pelakunya adalah orang yang punya jabatan, kekuasaan sehingga pelakunya semestinya dikenakan sanksi pemberatan pidana bukan memberikan aturan perlindungan bagi koruptor yang cukup dengan pengembalian kerugian,” katanya.

Senada, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menilai rumusan norma Pasal 4 UU Pemberantasan Tipikor sudah gamblang menyebutkan pengembalian kerugian negara tidak menghapus pidana. Menurutnya, frasa ‘tidak menghapuskan dipidananya’ menjadi penegasan tetap dipidananya pelaku tipikor sekalipun mengembalian kerugian keuangan negara.

Berbeda halnya dengan UU No.15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mengatur mekanisme pengelenggaraan keuangan pemerintahan. Seperti adanya kesalahan prosedur dalam penyelenggaraan keuangan pemerintahan.  Setidaknya UU 15/2006 terkait tertib dan disiplin dalam penggunaan anggaran. Tapi sepanjang adanya unsur perbuatan melawan hukum akibat ketidakdisiplinan penyelenggaraan keuangan pemerintahan dapat dijerat dengan pasal penyalahgunaan wewenang, suap, maupun gratifikasi.

“Jadi berdasarkan pemahaman Pasal 4 UU Pemberantasan Tipikor. Sepanjang memenuhi unsur, ya tetap korupsi harus diproses pidana karena ada unsur sengaja.

Boyamin berpendapat restorative justice terjadi ketika pelaku dan korban bersepakat berdamai. Seperti dalam kasus penganiayaan, pencemaran nama baik bersepakat berdamai dapat diterapkan restorative justice. Menurutnya, menjadi tak mungkin pelaku dapat berdamai dengan seluruh warga Indonesia. Caranya, pun sulit. Misalnya dengan voting, kalaupn terdapat satu orang yang tidak bersepakat berdamai, maka gugur perdamaian sekalipun mayoritas memberikan kesepakatan berdamai.

“Jadi itu yang menjadi dasar kenapa korupsi tidak bisa restorative justice,” ujarnya.

Maksimalkan Pasal 18 ayat (1) dan UU TPPU

Terpisah, Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter Kaban menyayangkan wacana yang digulirkan pimpinan KPK tentang restorative justice terhadap kasus korupsi tidaklah kontekstual. Sebab, KPK tak pernah menangani perkara korupsi dengan jumlah kerugian negara dalam jumlah kecil. Di lain sisi, penerapan restorative justice pun tak boleh menjadi diskresi penegak hukum karena dapat menimbulkan tindak abuse.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait