Restorative Justice Kasus Korupsi, Bertentangan dengan UU Pemberantasan Tipikor
Utama

Restorative Justice Kasus Korupsi, Bertentangan dengan UU Pemberantasan Tipikor

Pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapus pidana. Korban dari kejahatan tipikor adalah masyarakat luas, sehingga sulit melakukan perdamaian antara pelaku korupsi dengan korban seluruh rakyat Indonesia.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit

Lola, begitu biasa disapa, berpandangan, kalau konsennya cenderung memaksimalkan  pengembalian kerugian keuangan negara, maka terdapat instrumen pada Pasal 18 ayat (1) UU Pemberantasan Tipikor soal pidana tambahan uang pengganti dan UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)

Pasal 18 ayat (1) menyebutkan, “Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah : a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut; b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebayak-banyaknya sama dengan harta benda yag diperoleh dari tindak pidana korupsi; c. penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 tahun; d. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana”.

Menurutnya, rumusan Pasal 4 UU Pemberantasan Tipikor secara tegas pengembalian kerugian negara tidak menghapus pidana. Makanya, aparat penegak hukum memaksimalkan pengembalian kerugian negara dengan menggunakan rumusan norma Pasal 18 ayat (1) dan UU 8/2010 secara maksimal, bukan malah mendorong penghapusan pidana badan terhadap pelaku tipikor.

“Kalau mau begitu (menerapkan restorative justice di kasus korupsi, red), harus ‘bertarung’ di level pembahasan UU, bukan seenaknya bikin peraturan teknis di internal lembaga untuk prosedur penegakan hukum yang tidak ada dasarnya di UU,” katanya.

Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak mewacanakan penerapan restorative justice terhadap perkara korupsi. Meski sebatas opini Tanak, tapi Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyebut lembaganya masih mengkaji tentang penerapan keadilan restoratif terhadap penanganan perkara tipikor di Indonesia.

“Ini adalah proses pencarian bentuk bagaimana agar proses hukum itu benar-benar menyelesaikan masalah bangsa ini dari tindak pidana korupsi,” katanya.

Tags:

Berita Terkait