Revisi UU KPK Cermin Politik Legislasi Tak Wajar
Berita

Revisi UU KPK Cermin Politik Legislasi Tak Wajar

Tiga alasan UU KPK tidak perlu direvisi saat ini.

MYS
Bacaan 2 Menit
Bivitri Susanti. Foto: Sgp
Bivitri Susanti. Foto: Sgp
Staf pengajar Indonesia Jentera School of Law (IJSL), Bivitri Susanti, mempertanyakan politik legislasi nasional di balik kengototan sejumlah anggota DPR merevisi UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Meskipun banyak ditentang warga dan akademisi, anggota DPR, khususnya di Komisi III dan Badan Legislasi, terus berupaya menjadikan revisi UU itu sebagai prioritas.

Sejauh ini, memang tak semua anggota Dewan menyetujui revisi. Fraksi Partai Gerindra tetap menolak. Bagi Bivitri, sikap ngotot itu bukan saja mencerminkan keinginan melemahkan KPK, tetapi juga mencerminkan politik legislasi yang dilandasi ketidaksukaan. Politik legislasi semacam itu dia nilai berbahaya. “Menurut pandangan kami, itu politik legislasi yang tidak wajar karena dilandasi ketidaksukaan,” ujarnya di Jakarta, Kamis (11/2).

Sudah menjadi rahasia umum, beberapa anggota Dewan terus melakukan upaya untuk melemahkan KPK, salah satunya melalui jalur legislasi. Badan Legislasi DPR bahkan sudah mengundang dan meminta penjelasan anggota Dewan pengusul revisi UU KPK.

Politik legislasi nasional, kata Bibip—begitu ia biasa disapa—seharusnya memperhatikan urgensi. Memperhatikan isu yang berkembang selama ini, kuat dugaan ada keinginan besar membuat KPK tak berdaya, atau setidaknya tak memiliki ‘kekuatan’ seperti selama ini. Misalnya, anggota Dewan ingin penyadapan oleh KPK dibatasi.

Peneliti ICW, Lalola Easter, menunjuk contoh lain, yakni ide pembentukan Dewan Pengawas KPK. Pengangkatan Dewan Pengawas oleh Presiden, sangat rawan dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Kewenangan yang hendak diberikan kepada Dewan Pengawas pun dinilai berlebihan karena memasuki ranah projustisia. “Proses projustisia kok diserahkan kepada Dewan Pengawas,” kata Lola.

Tiga alasan
Bibip menyebut ada tiga alasan UU KPK tidak perlu direvisi saat ini. Pertama, tidak ada masalah konstitusional dengan disain kelembagaan KPK. Memang, UU KPK sudah berkali-kali dipersoalkan ke Mahkamah Konstitusi. Namun putusan-putusan Mahkamah Konstitusi dalam rentang waktu 2003-2016 (ada 18 permohonan uji materi) tak ada yang menyatakan kelembagaan KPK lemah. Malah putusan No. 81/PUU-X/2012 justru memperkuat wewenang KPK mengambil alih penyidikan atau penuntutan dari Kepolisian atau Kejaksaan. “Dengan demikian, tidak ada yang secara mendasar (konstitusional) dan mendesak perlu dirombak dari UU yang sekarang,” tegas Bibip.

Kedua, sampai saat ini KPK efektif menjalankan tugas-tugasnya. Tugas pencegahan dan penindakan yang dilakukan KPK masih berjalan dengan baik. Dibanding lembaga penegak hukum lain, nilai kasus korupsi yang ditangani KPK (2014) masih lebih besar. Padahal KPK hanya berkantor Jakarta dan jumlah penyidik yang terbatas.

Ketiga, revisi suatu undang-undang yang didasari ketidaksukaan akan mengacaukan sistem. Ketidaksukaan pada suatu lembaga akan berujung pada upaya pemelahan. Lantaran tujuannya pelemahan, maka jalur apapun ditempuh, termasuk jalur legislasi. Keinginan merevisi UU KPK, ironisnya, tak diiringi semangat dan kengototan yang sama untuk merevisi payung hukum terkait seperti KUHAP, UU Kepolisian, dan UU Kejaksaan. KPK tak bisa dilepaskan dari sistem peradilan pidana terpadu.
Tags:

Berita Terkait