Sepuluh Catatan ICW Terhadap Revisi UU KPK
Utama

Sepuluh Catatan ICW Terhadap Revisi UU KPK

Kewenangan Dewan Pengawas yang sedemikian dominan dapat menghambat dan memperlambat penindakan yang dilakukan oleh KPK. Eksekutif pun dapat campur tangan melalui tangan Dewan Pengawas.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Koordinator Divisi Politik ICW, Donal Fariz. Foto: SGP
Koordinator Divisi Politik ICW, Donal Fariz. Foto: SGP
DPR mulai menyerap berbagai aspirasi masukan dari kelompok masyarakat dan sejumlah pemangku kepentingan dalam pembahasan Revisi Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Pro kontra masih terus terjadi. Koalisi Masyarakat Sipil yang dimotori Indonesia Corruption Watch (ICW) tetap menegaskan sikapnya menolak RUU tersebut. Sejumlah catatan ICW diutarakan saat audiensi dengan Badan Legislasi (Baleg) di Gedung DPR, Selasa (9/2).

Setidaknya, ada 10 catatan yang menjadi perhatian terhadap keberlangsungan pembahasan RUU KPK. Koordinator Divisi Politik ICW, Donal Fariz, mengatakan 10 catatan itu menjadi alasan koalisi menolak perubahan UU KPK. Pertama, pembentukan dewan pengawas dipilih dan diangkat oleh presiden. Draf RUU KPK per Februari 2016 mengatur keberadaan dewan pengawas sebanyak 6 pasal. Keenam Pasal itu adalah 37A, 37B, 37C, 37D, 37E, dan 37F.

Menurut Donal, persoalan terbesar yakni ketentuan terkait pengangkatan dan pemilihan anggota Dewan Pengawas. Meski diangkat oleh presiden, namun tidak diatur secara rinci mekanisme pemilihan anggota dewan pengawas. “Dengan demikian dapat diartikan bahwa kewenangan memilih anggota dewan pengawas adalah murni menjadi hak prerogratif presiden. Metode demikian maka Dewan Pengawas bertanggungjawab langsung kepada presiden sebagai pemberi mandat,” ujarnya.

Kedudukan Dewan Pengawas yang demikian dipandang sebagai bentuk campur tangan eksekutif terhadap KPK. Donal khawatir besarnya campur tangan presiden akan memudahkan intervensi politik istana terhadap KPK. Padahal, KPK melekat kemandirian dan independensi dalam penegakan hukum.

Kedua, ketentuan penyadapan mendapatkan izin dari Dewan Pengawas. Bila naskah RUU KPK per 2015 lalu, mekanisme penyadapan mesti mendapatkan izin dari ketua pengadilan, namun draf teranyar mesti mengantongi izin dari Dewan Pengawas. Pasal 12A intinya penyadapan dapat diberlakukan setelah adanya bukti permulaan yang cukup dan atas izin dari Dewan Pengawas. Donal berpandangan kewenangan Dewan Pengawas tersebut bentuk intervensi eksekutif terhadap KPK. Bahkan, draf RUU pun tidak mengatur prosedural bila yang disadap adalah anggota Dewan Pengawas itu sendiri.

Ketiga, penyadapan hanya dapat diberlakukan di tingkat penyidikan. Ketentuan Pasal 12A menyatakan,”Proses penyadapan dilakukan setelah terdapat bukti permulaan yang cukup”. Dengan kata lain, penyadapan hanya dapat dilakukan di tingkat penyidikan, bukan di penyelidikan sebagaimana praktik yang dilakukan KPK selama ini. Kondisi tersebut menjadikan KPK terhambat. Bahkan menyulitkan KPK dalam melakukan reaksi cepat atas informasi praktik penyuapan maupun operasi tangkap tangan.

Pasal itu berbeda dengan Pasal 12 UU KPK, intinya menyatakan penyadapan dan merekam pembicaraan dapat dilakukan ditahap penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dan tidak mensyaratkan adanya bukti permulaan yang cukup. “Dengan pembatasan penyadapan pada tahap penyidikan, dapat dipastikan KPK tidak bisa lagi melakukan operasi tangkap tangan yang sebagian besarnya menyasar anggota DPR. Dengan rancangan baru ini, penindakan akan kembali ke model investigasi konvensional,” kata Donal.

Keempat, RUU KPK menimbulkan munculnya dualisme pimipinan KPK terkait dengan langkah penyadapan yang dilakukan lembaga antirasuah itu. Pasalnya, pertanggungjawaban penyadapan tak saja diberikan kepada pimpinan KPK, namun juga Dewan Pengawas. Ia menilai campur tangan Dewan Pengawas atas fungsi penindakan KPK yang terlampau jauh memunculkan konflik otoritas. Bahkan, pengebirian hak dan kewenangan pimpinan KPK.

Kelima, RUU KPK menyebabkan hilangnya kemandirian dalam melakukan rekruitmen penyelidik dan penyidik. Pasal 43 ayat (1) menyatakan, “Penyelidik KPK merupakan penyelidik yang diperbantukan dari Kepoliisan Negara Republik Indonesia selama menjadi pegawai pada KPK”. Sedangkan Pasal 45 ayat (1) menyebutkan, “Penyidik KPK merupakan penyidik yang diperbantukan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang diberi wewenang oleh Undang-Undang”.

Berdasarkan kedua Pasal itulah, KPK tidak dimungkinkan merekrut penyidik independen. “Dengan rumusan ini, DPR sedang memberikan akses besar bagi kepoliisan ‘menguasai’ KPK, sehingga ke depan KPK akan banyak menemui hambatan dalam melakukan kerja-kerja penindakan di sektor penegakan hukum,” ujar Donal.

Keenam, ketentuan Pasal 38 ayat (2) UU KPK dihapus oleh DPR melalui naskah RUU KPK. Sedangkan Pasal 38 ayat (2) menyebutkan, “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP tidak berlaku bagi penyidik tindak pidana korupsi sebagaimana ditentukan dalam UU ini”. Menurutnya penghapusan pasal itu memberikan konsekuensi hanya penyidik KPK yang berasal dari kepolisian dan kejaksaan yang dapat melakukan penyidikan. Sebaliknya, pegawai KPK yang tidak berasal dari kepolisian dan kejaksaan tidak dapat melakukan proses penyelidikan.

Ketujuh, RUU KPK menghapus keberadaan Pasal 46 ayat (1) UU KPK yang intinya pemeriksaan tersangka yang diatur dalam peraturan perundangan lain (KUHAP), tidak berlaku berdasarkan UU KPK.  Sedangkan dalam Pasal 46 ayat (1) RUU KPK yang intinya pemeriksaan tersangka mesti berdasarkan ketentuan yang diatur dalam KUHAP. Namun Pasal tersebut mengharuskan adanya prosedur khusus yakni adanya kewajiban memperoleh izin terhadap tersangka pejabat negara tertentu untuk dapat dilakukan pemeriksaan.

“Selama ini KPK memiliki prosedur khusus pemeriksaan tersangka. Dengan keharusan bahwa prosedur khusus pemeriksaan tersangka mengacu pada KUHAP, maka dapat menjadikan proses pemeriksaan menjadi berlarut-larut karena harus mendapat izin dari pejabat berwenang,” imbuhnya.

Kedelapan, keistimewaan KPK dibandingkan dengan kepolisian dan kejaksaan adalah tidak memiliki kewenangan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dan penuntutan. Langkah ini menjadi kekuatan kualitas KPK dalam penanganan perkara mesti memiliki bukti kuat untuk dibuktikan di pengadilan. Sebaliknya dalam RUU KPK kewenangan SP3 diberikan terhadap KPKdalam pemberantasan korupsi. Akibatnya, hal tersebut jauh dari semangat pembentukan KPK.

Kesembilan, Pasal 47 RUU KPK mengatur ketentuan penyitaan dapat dilakukan setelah adanya bukti permulaan yang cukup dan setelah mengantongi izin Dewan Pengawas. Hal tersebut dipandang Donal upaya menghambat dan memperlembat proses penindakan KPK. Pasal sebelumnya dalam Pasal 47 UU KPK memberikan kewenangan penyitaan yang dilakukan KPK tanpa seizin ketua pengadilan negeri. “Keharusan adanya izin penyitaan dari Dewan Pengawas yang bersifat mutlak menjadi persoalan apabila Dewan Pengawas menolak memberikan izin penyitaan dengan alasan subjektif,” katanya.

Kesepuluh, naskah RUU KPK per Februari 2016 tidak mengatur ketentuan tentang masa peralihan. Sebaliknya, Pasal II RUU KPK hanya menyebutkan UU ini berlaku pada tanggal diundangkan. Nah menjadi persoalan tiada ketentuan masa peralihan akan memberikan konsekuensi ketika RUU KPK disahkan  sebelum Dewan Pengawas terbentuk. “Maka KPK tidak dapat melakukan proses penyadapan dan penyitaan dalam perkara korupsi,” ujar Donal.

Alasan Gerindra menolak
Ketua Baleg Supratman Andi Agtas mengatakan masukan Koalisi dan ICW bakal ditampung untuk diberikan kepada seluruh anggotanya. Ia pun akan objektif dalam melakukan harmonisasi RUU KPK di Baleg. Kendati demikian, hak memberikan penilaian berada di tangan masing-masing fraksi. Pasalnya dari 10 fraksi, hanya 6 yang menjadi pengusul. Sisanya terbelah antara menolak dan belum menentukan sikap. “Kalau kemarin yang nyata-nyata menolak itu Gerindra. Yang masih belum menentukan itu PKS. Tapi kami masih mendengarkan semua masukan,” ujarnya.

Anggota Komisi III ini mengatakan, penolakan Gerindra disebabkan materi RUU KPK berisi pelemahan. Kewenangan penyadapan yang diusulkan diperkuat, justru dilemahkan. Misalnya ketia pejabat publik usai dilantik langsung dilakukan penyadapan wajib untuk diumumkan agar menjadi alat pencegahan. Kemudian eksekutif dapat melaklukan intervensi dengan tangan Dewan Pengawas.

“Proses demokrasi bisa berbahaya lembaga eksekutif melakukan move-move yang membahayakan bagi yang berseberangan dengan KPK,” ujarnya.

Prinsipnya sepanjang Dewan Pengawas dibentuk oleh KPK dan tidak dicampuri oleh eksekutif, Gerindra akan memberikan persetujuan. Namun politisi Gerindra itu menilai bulan pembahasan dengan pemerintah ternyata melemahkan kewenangan KPK, ia menyarankan agar DPR menarik diri. “DPR harus menarik diri kalau itu melemahkan,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait