Menkumham Tolak Pembatasan Penanganan Perkara oleh KPK, Ini Alasannya
Berita

Menkumham Tolak Pembatasan Penanganan Perkara oleh KPK, Ini Alasannya

Pemerintah memberikan persetujuan terhadap revisi sepanjang penguatan kelembagaan KPK.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Menkumham Yasonna Laoly. Foto: RES
Menkumham Yasonna Laoly. Foto: RES
Dalam draf Revisi UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang diusulkan DPR, kewenangan KPK dalam menangani perkara akan dibatasi berdasarkan jumlah kerugian negara. Namun, pemerintah menolak hal tersebut.  

“Tidak ada itu, tidak bisa itu,” ujar Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Yasonna H Laoly, di Gedung DPR, Rabu (3/2).

KPK sebagai lembaga terdepan dalam pemberantasan korupsi sejatinya mesti diperluas kewenangannya dalam melakukan pemberantasan korupsi. Dengan membatasi ruang gerak KPK, bakal ‘memangkas’ kewenangan yang dimiliki KPK sebagai lembaga antirasuah itu. Dalam draf usulan yang diajukan, pihak pengusul ada 45 orang anggota dewan yang terdiri dari 6 fraksi.

Pasal 11 huruf b  draf  usulan pengusul menyatakan, “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang  melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang: b. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima milyar rupiah).

Bila merujuk pasal itu, maka KPK hanya dapat menyelidik dan menyidik perkara dengan nilai kerugian minimal Rp25 miliar. Sementara nilai kerugian negara  bawah Rp25 miliar, maka ditangani oleh kepolisian dan kejaksaan.

Namun lagi-lagi, Yasonna menampiknya. Meski mengaku belum menerima resmi draf usulan DPR, namun Yasonna menegaskan bakal menolak. Menurutnya, pemerintah masih menunggu draf resmi dari DPR. Pasalnya, bukan tidak mungkin draf usulan dari pihak pengusul dapat berubah ketika di boyong dalam rapat paripurna. “Tidak ada batasan kerugian. No,” ujarnya.

Mantan anggota DPR periode 2009-2014 dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) itu mengatakan, prinsipnya pemerintah memberikan persetujuan terhadap revisi sepanjang penguatan kelembagaan KPK. Sebagaimana diketahui, empat poin yang disepakati perubahan dalam UU KPK terkait dengan keberadaan dewan pengawas, aturan perizinan penyadapan, kewenangan menghentikan perkara dengan menerbitkan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3), dan kewenangan mengangkat penyidik dan penyelidik independen.

“Kalau untuk penguatan kelembagaan itu bagus, kita tunggu draf resminya,” ujarnya.

Ketua Badan Legislasi (Baleg) Supratman mengatakan, usulan perubahan sejumlah pasal dalam RUU KPK belum bersifat pasti. Pasalnya, draf usulan mesti diboyong ke rapat paripurna untuk dimintakan persetujuan. Dengan begitu, amat dimungkinkan masih terjadi perubahan draf  sebagaimana usulan PDIP.

Anggota Komisi III itu belum dapat memastikan poin-poin dalam draf RUU KPK yang diusulkan dapat diterima, atau sebaliknya dalam rapat paripurna. Soalnya, belum masuk dalam rahap pembahasan di tingkat pertama. Menurutnya, setelah harmonisasi di tingkat Baleg, pembahasan bukan tidak mungkin dilakukan dengan membentuk Pansus atau Panja.

Anggota Baleg Al Muzzamil Yusuf berpendapat, Baleg bakal menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) terlebih dahulu dengan KPK dan kalangan akademisi. Hal itu merupakan tahapan untuk kemudian mengetahui apakah draf RUU KPK menguatkan atau melemahkan lembaga antirasuah dalam pemberantasan korupsi. Menurutnya, KPK dan kalangan akademisi pun bakal memberikan masukan terkait dengan naskah akademik yang dibuat oleh pengusul. 

“Jadi fikus membahas naskah RUU yang ada di kita. Di luar ada usulan, ya kita bahas, bukan angkat dari yang tidak ada,” pungkas politisi PKS itu.

Tags:

Berita Terkait