Rumusan Pidana Lembaga Survei Dinilai Tak Relevan
Pengujian UU Pemilu

Rumusan Pidana Lembaga Survei Dinilai Tak Relevan

Ahli menilai ketentuan pidana dalam Pasal 282 dan Pasal 307 UU Pemilu Legislatif tidak memenuhi kriteria umum sebuah perbuatan yang dapat dipidana.

Ali
Bacaan 2 Menit
Rumusan Pidana Lembaga Survei Dinilai Tak Relevan
Hukumonline

 

Kedua, lanjut Chairul, telah terjadi perubahan organisasi sosial dalam masyarakat atau adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga perbuatan yang tadinya normal berkembang menjadi perbuatan pidana. Contohnya, tindak pidana teknologi dengan berlakunya UU ITE, ujarnya.

 

Selain itu, perbuatan tersebut dapat merugikan kepentingan global dan melanggar norma-norma etik. Chairul mencontohkan sanksi pidana bagi perusak lingkungan yang terkait dengan kepentingan global.

 

Berdasarkan kriteria-kriteria tersebut, Chairul melihat tindakan mengumumkan hasil survei maupun quick count sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Tak ada satu pun dari kedua pasal ini yang masuk ke dalam kriteria perbuatan bisa dikriminalisasi, tambahnya.

 

Lagipula, menurut Chairul tak ada bukti empiris yang menunjukan pengumuman hasil survei dalam masa tenang dan pengumuman quick count pada hari pemungutan suara sebagai tindakan berbahaya. Pada Pemilu 2004 lalu, lembaga survei bebas mengumumkan hasil survei dan quick count nya kapan saja. Saat itu tak ada masalah, ujarnya.

 

Staf Ahli Mendagri Agung Mulyana mengatakan pembatasan pengumuman tersebut untuk menghindari agar tidak terjadi kericuhan di masyarakat. Ia mengatakan pengumuman quick count pada hari pemungutan suara berpotensi dapat mengganggu ketertiban umum.

 

Chairul kembali angkat bicara mendengar penjelasan Agung ini. Dalam dua pasal tersebut, yang dilarang dan terancam sanksi pidana adalah tindakan mengumumkan. Itu delik formil, ujarnya. Seharusnya, bila pemerintah khawatir tindakan itu bisa menimbulkan kekacauan maka rumusan diganti dengan delik materiil.

 

Artinya, rumusan pidana itu menjadi dilarang mengumumkan hasil survei saat masa tenang dan quick count pada hari pemungutan suara yang dapat mengakibatkan kekacauan di masyarakat. Dengan begitu, yang harus dibuktikan adalah kekacauan di masyarakat, bukan tindakan mengumumkan hasil survei atau quick count. Kalau rumusannya seperti ini, masih bisa diterima, tegasnya.

 

Tak ada kerugian

Bila ahli dari pemohon mengkritik penjatuhan sanksi pidana, wakil pemerintah justru mempertanyakan kerugian konstitusional yang dialami pemohon. Agung Mulyana menegaskan pasal-pasal itu bukan melarang survei atau quick count. Pasal-pasal itu hanya mengatur tenggat waktu, ujarnya.

 

Tenggat waktu yang diatur pun tak terlalu lama. Survei tak boleh diumumkan dalam masa tenang, selama tiga hari. Sedangkan, quick count baru bisa diumumkan sehari setelah pemungutan suara. Lewat jam dua belas malam sudah boleh diumumkan, tutur Agung.

 

Agung menjelaskan aturan tenggat waktu pengumuman survei ini bukan hanya berlaku untuk lembaga survei, tapi juga untuk seluruh peserta pemilu. Ia mengatakan seluruh partai politik tak boleh melakukan kampanye dalam masa tenang. Karena hasil survei berpotensi dijadikan alat kampanye, maka sudah sewajarnya bila pengumumannya juga dilarang dalam masa tenang.

Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif yang diajukan oleh Ketua dan Sekjen Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI), Denny Yanuar Ali dan Umar S Bakry. Para pemohon menghadirkan sejumlah ahli dari berbagai bidang untuk mendukung permohonannya.

 

Sekedar mengingatkan, pemohon menguji tiga pasal dalam UU Pemilu Legislatif, yakni Pasal 245 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan Pasal 282 serta Pasal 307. Pasal 245 memuat larangan pengumuman hasil survei pada masa tenang dan pengumuman hasil quick count (penghitungan cepat) pada hari pemungutan suara. Sedangkan Pasal 282 dan Pasal 307 memuat sanksi pidana bagi setiap orang atau lembaga yang melanggar larangan tersebut.

 

Ahli Hukum Pidana dari Universitas Muhamadiyah Jakarta, Chairul Huda, mengatakan rumusan pidana dalam Pasal 282 dan Pasal 307 tidak relevan. Ini over criminalism, ujarnya di ruang sidang MK, Selasa (17/3). Menurutnya, pengumuman hasil survei saat masa tenang dan pengumuman quick count pada hari pemungutan suara bukanlah perbuatan yang pantas dipidana.

 

Lebih lanjut, Chairul memaparkan teori hukum pidana yang mengatur sebuah perbuatan bisa dikategorikan sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Ada ukuran umumnya untuk mengatakan perbuatan sebagai perbuatan pidana, ujarnya. Pertama, perbuatan itu harus bersifat berbahaya, keterlaluan, dapat dapat merusak. Sehingga tak ada lagi sanksi lain yang bisa menghambatnya selain sanksi pidana, tuturnya.    

 

Chairul mengingatkan ada istiilah pidana, ultimum remedium. Artinya, sanksi pidana merupakan sarana paling akhir untuk diterapkan. Ini tak terlihat dalam kedua pasal tersebut, tegasnya.

Tags: