Sejumlah Substansi UU Cipta Kerja yang Dinilai Rugikan Buruh
Utama

Sejumlah Substansi UU Cipta Kerja yang Dinilai Rugikan Buruh

Arah kebijakan pengupahan menuju upah murah, dihapusnya batas waktu hubungan kerja secara kontrak, hilangnya pembatasan jenis pekerjaan yang bisa di outsourcing, berkurangnya kompensasi pesangon, dan semakin mudah melakukan PHK, serta masuknya TKA. KSPI dan KSPSI (pimpinan Andi Gani) sudah mendaftarkan uji materi UU Cipta Kerja ke MK.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Kedua, dihapusnya batas waktu hubungan kerja melalui perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) berpeluang menyebabkan status buruh akan terus menjadi PKWT selamanya. Iqbal mencatat UU Cipta Kerja menghilangkan batas waktu PKWT yang diatur sebelumnya dalam Pasal 59 UU Ketenagakerjaan. Tanpa batas waktu ini pemberi kerja bisa mengontrak buruh melalui mekanisme PKWT secara terus menerus.

“Dengan demikian PKWT bisa diberlakukan seumur hidup tanpa pernah diangkat menjadi karyawan tetap (PKWTT),” tegasnya.

Iqbal menerangkan dalam UU Ketenagakerjaan buruh berstatus PKWT dibatasi maksimal 5 tahun dengan 3 periode kontrak. Mengacu ketentuan itu setelah menjalani kontrak selama 5 tahun buruh PKWT yang bersangkutan berpeluang diangkat menjadi buruh tetap (PKWTT). Tapi semua peluang peralihan dari PKWT menjadi PKWTT itu dihilangkan UU Cipta Kerja.

Ketiga, tidak ada pembatasan jenis pekerjaan yang bisa di-outsourcing. Hal ini disebabkan UU Cipta Kerja menghapus Pasal 64 dan 65 UU Ketenagakerjaan. Serta menghapus 5 jenis pekerjaan yang dapat di-outsourcing yakni cleaning service, catering, security, driver, dan jasa penunjang perminyakan. Hal ini berarti seluruh jenis pekerjaan dapat di-outsourcing baik yang sifatnya pekerjaan penunjang dan utama.

Iqbal menjelaskan praktik outsourcing selama ini membuat buruh tidak memiliki kejelasan terhadap upah, jaminan kesehatan, jaminan pensiun, dan kepastian pekerjaan. Perusahaan outsourcing kerap tidak bertanggung jawab terhadap masa depan buruhnya. Mereka terkesan hanya sekedar mengejar success fee atau ongkos yang diterima dari perusahaan pengguna (user) dari setiap buruh yang disalurkan.

Keempat, kompensasi pesangon bagi buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) jumlahnya dipangkas. Iqbal menghitung UU Cipta Kerja mengurangi besaran kompensasi pesangon yang diterima buruh dari 32 menjadi 25 bulan upah.

Bagi Iqbal, hal ini tidak adil dan sangat merugikan buruh karena nilai jaminan hari tua (JHT) dan jaminan pensiun (JP) yang diterima buruh Indonesia jumlahnya relatif kecil dibandingkan negara lain di Asean. Misalnya, kompensasi pesangon di Malaysia hanya 5-6 bulan upah, tapi besaran iuran JHT jaminan hari tua dan pensiun di Malaysia totalnya 23 persen dari upah. Sementara besaran iuran JHT dan JP buruh Indonesia hanya 8,7 persen dari upah sebulan. Oleh karena itu wajar jika kompensasi pesangon di Indonesia jumlahnya lebih besar karena sebagai upaya negara melindungi buruh.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait