​​​​​​​Sepakat dan Permasalahannya
Catatan Hukum J. Satrio

​​​​​​​Sepakat dan Permasalahannya

​​​​​​​Sepakat yang sah adalah sepakat yang diberikan tanpa ada unsur kesesatan, paksaan dan penipuan.

RED
Bacaan 2 Menit

 

Sekalipun “sepakat”, menurut redaksi yang ada, nampak merupakan esensialia untuk sahnya perjanjian -- bukankah merupakan syarat untuk sahnya perjanjian -- namun pembuat undang-undang lupa untuk memberikan perumusan, apa itu yang disebut sebagai sepakat ?[2]

 

Karena undang-undang tidak memberikan perumusan apa itu “sepakat”, padahal sepakat itu penting sekali untuk menentukan sahnya perjanjian, maka kita akan mencoba untuk mencari tahu apa itu sepakat dari ketentuan-ketentuan lain dalam B.W. dan dari pendapat doktrin serta dari keputusan-keputusan Pengadilan.

 

Untungnya B.W. mengatur “perjanjian” -- yang didasarkan atas sepakat -- dalam banyak pasal, sehingga kita akan mencari tahu hal itu dari ketentuan-ketentuan yang ada dan juga dari doktrin dari yurisprudensi.

 

Pasal 1321 B.W. mengatakan:

“Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperoleh  dengan paksaan atau penipuan”.

 

Jadi sepakat yang sah adalah sepakat yang diberikan tanpa ada unsur kesesatan, paksaan dan penipuan. Sepakat yang diberikan atas dasar adanya kesesatan, paksaan dan penipuan disebut sebagai sepakat yang mengandung cacat dalam kehendak.

 

Dari ketentuan-ketentuan yang mengatur masalah “cacat dalam kehendak”, bisa kita simpulkan, bahwa “sepakat” itu berkaitan erat dengan masalah “kehendak” dan “pernyataan kehendak”.

 

“Kehendak” adanya di dalam hati atau benak seseorang, yang orang lain tidak bisa tahu dan hukum pada asasnya tidak mengatur apa ada dalam hati seseorang. Hukum baru mengatur -- memberikan akibat hukum -- pada kehendak seseorang, kalau kehendak itu dinyatakan keluar. Karena perjanjian ditutup oleh dua pihak yang saling berhadap-hadapan, maka kita bisa menyimpulkan, bahwa :

Tags:

Berita Terkait