Serikat Pekerja Dukung DPR Gunakan Hak Interpelasi
Berita

Serikat Pekerja Dukung DPR Gunakan Hak Interpelasi

ADY
Bacaan 2 Menit
Serikat Pekerja Dukung DPR Gunakan Hak Interpelasi
Hukumonline
Persoalan praktik outsourcing di BUMN terus bergulir. Panja Outsourcing di DPR sudah menerbitkan rekomendasi, dan Kementerian BUMN dan Kemenakertrans sudah menerbitkan Surat Edaran. Tetapi kasus penggunaan tenaga kerja alih daya yang menyelimuti BUMN belum selesai. Misalnya di PLN dan Indofarma.

Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Said Iqbal, mengatakan sebagian pekerja outsourcing yang bekerja di BUMN itu bergabung dengan FSPMI. Rata-rata masa kerja mereka mencapai puluhan tahun.

Namun, Iqbal melanjutkan, selama puluhan tahun bekerja, status para pekerja masih outsourcing. Padahal, mengacu ketentuan UU Ketenagakerjaan hal itu tidak boleh dilakukan dan demi hukum status para pekerja beralih menjadi tetap. Ini selaras dengan amanat rekomendasi Panja Outsourcing di BUMN, Surat Edaran (SE) Kementerian BUMN dan Kemenakertrans, serta nota pengawasan Disnakertrans seperti di Bekasi.

Iqbal berpendapat jajaran direksi di BUMN itu tidak mematuhi rekomendasi dan edaran. Praktik penggunaan tenaga alih daya tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Permenakertrans No. 19 Tahun 2012 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain. Normatifnya, outsourcing dengan mekanisme penyedia jasa pekerja hanya dibatasi untuk lima jenis pekerjaan, yaitu pelayanan kebersihan, penyediaan makanan bagi pekerja, usaha tenaga pengaman, penyedia angkutan untuk pekerja dan jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan.

Sekretaris Umum Serikat Pekerja Elektronik Elektrik FSPMI, Yudi Winarno, mengatakan rekomendasi Panja Outsourcing di BUMN tidak dilaksanakan dengan baik oleh pemerintah. Misalnya, Menteri BUMN hanya menerbitkan SE kepada jajaran direksi BUMN agar menyelesaikan masalah outsourcing. Kemudian, sebagaimana rekomendasi Panja Outsourcing di BUMN, SE itu mengamanatkan agar dibentuk Satgas yang melibatkan serikat pekerja untuk menyelesaikan masalah outsourcing.

Sayangnya, Yudi menandaskan, serikat pekerja yang diajak untuk membahas penuntasan masalah outsourcing lewat Satgas itu anggotanya bukan pekerja outsourcing tapi pekerja tetap. Ujungnya, persoalan outsourcing tidak dapat diselesaikan. Selain itu, Dirjen PHI dan Jamsos Kemenakertrans juga menerbitkan SE, namun khusus kepada direksi PT PLN. “Intinya hanya mengamanatkan agar penyelesaian outsourcing di PLN mengacu rekomendasi Panja Outsourcing di BUMN,” ujarnya.

Bagi Yudi, persoalan outsourcing yang dialami BUMN bukan saja merugikan pekerja outsourcing yang bersangkutan tapi juga masyarakat umum. Misalnya, pekerja outsourcing yang mengerjakan pekerjaan administrasi dan pencatat meteran di area Bekasi diputus hubungan kerjanya (PHK). Alhasil, SDM yang tersisa tidak bisa mengatasi semua pekerjaan yang ditinggalkan. Sehingga para pekerja di bagian sekuriti dan kebersihan ditugaskan oleh manajemen untuk membantu pekerjaan administratif.

Akibat dipaksakan untuk mengerjakan pekerjaan yang tidak sesuai dengan bidang dan pengalamannya, para pekerja yang diperintah untuk membantu pekerjaan lainnya itu kewalahan. Sehingga, jumlah tagihan yang disodorkan kepada pelanggan tidak sesuai dengan besaran penggunaan. Hal tersebut menurut Yudi merugikan masyarakat, khususnya di area Bekasi yang merupakan pelanggan PT PLN karena jumlah tagihan lebih besar ketimbang listrik yang digunakan.

Untuk segera menyelesaikan persoalan tersebut, Yudi mendukung upaya sejumlah fraksi di DPR yang bakal menggunakan hak interpelasi terkait persoalan outsourcing di BUMN. Walau masa pemerintahan periode ini tak lama lagi akan berakhir, Yudi melihat jika hak interpelasi itu digulirkan dapat berdampak positif. Sebab, pemerintahan di masa yang akan datang akan mendapat pelajaran berharga jika tidak menjalankan rekomendasi DPR. “Kami berharap bulan Maret 2014 Presiden SBY dipanggil DPR karena lalai menjalankan rekomendasi Panja Outsourcing BUMN,” ucapnya.

Menambahkan Yudi, pekerja outsourcing PT PLN area Bekasi sekaligus Ketua PUK FSPMI Outsourcing PLN, Deddy Chandra, persoalan outsourcing di PLN bukan hanya merugikan pekerja outsourcing dan masyarakat. Tapi juga pekerja yang diperbantukan atau yang baru direkrut untuk menggantikan posisi pekerja outsourcing yang sudah di-PHK sepihak oleh manajemen. Misalnya, Deddy mengatakan, pekan lalu ada kerusakan instalasi listrik milik PLN, kemudian pekerja yang baru direkrut itu ditugasi untuk memperbaiki. Karena keahlian dan pengalamannya kurang, pekerja tersebut tersengat arus listrik dari instalasi yang diperbaiki itu.

Pria yang sebelumnya menjabat sebagai koordinator teknik di PLN area Bekasi itu menjelaskan jenis kegiatan yang dikerjakan pekerja outsourcing adalah inti. Mengacu peraturan yang ada jenis pekerjaan inti itu tidak boleh di-outsourcing. Pelanggaran atas ketentuan itu menurut Deddy demi hukum para pekerja outsourcing beralih menjadi pekerja tetap di PT PLN. “Kami mengerjakan pekerjaan inti. Kalau mati lampu, kami terjun ke lapangan melakukan perbaikan,” ucapnya.

Anggota Komisi IX DPR, Poempida Hidayatulloh, menilai pemerintah belum menjalankan sepenuhnya rekomendasi Panja DPR tentang Outsourcing di BUMN. “Pemerintah justru jelas-jelas mengabaikan rekomendasi Panja. Dalam konteks ini, pemerintah telah mengkhianati kesepakatan dengan Panja,” ujar politisi partai Golkar itu.

Pengawasan yang dilakukan pemerintah juga terbilang minim. Praktek alih daya nyaris ada di semua BUMN. Poempida menengarai petugas pengawas tidak berani melakukan penyidikan hukum ketenagakerjaan. Poempida mengatakan interpelasi adalah hak DPR untuk meminta keterangan pemerintah, dalam hal ini kebijakan outsourcing di BUMN.“Interpelasi adalah langkah yang konstitusional,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait