STHI Jentera: SEMA Bukan Peraturan Perundang-undangan, Tidak Akuntabel
Utama

STHI Jentera: SEMA Bukan Peraturan Perundang-undangan, Tidak Akuntabel

Surat Edaran adalah produk naskah dinas berisi pemberitahuan, penjelasan, atau petunjuk melaksanakan hal penting dan mendesak. Namun, isinya bukan peraturan perundang-undangan dan bukan pula keputusan administrasi pemerintahan.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Bivitri Susanti (kanan) bersama narasumber lain saat memaparkan uraian dalam diskusi publik berjudul 'Membangun Kemandirian Hakim dari Internal Institusi Perkawinan: Studi Kasus Pemeriksaan Putusan Pengesahan Pernikahan Beda Agama', Selasa (19/9/2023). Foto: NEE
Bivitri Susanti (kanan) bersama narasumber lain saat memaparkan uraian dalam diskusi publik berjudul 'Membangun Kemandirian Hakim dari Internal Institusi Perkawinan: Studi Kasus Pemeriksaan Putusan Pengesahan Pernikahan Beda Agama', Selasa (19/9/2023). Foto: NEE

Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera Bivitri Susanti menilai Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yang melarang pencatatan perkawinan beda agama bukan peraturan perundang-undangan dan tidak akuntabel. Pernyataan itu disampaikan dalam diskusi publik berjudul “Membangun Kemandirian Hakim dari Internal Institusi Perkawinan: Studi Kasus Pemeriksaan Putusan Pengesahan Pernikahan Beda Agama”, Selasa (19/9/2023) kemarin.

"SEMA tidak boleh melarang hakim menolak perkara dan bersifat mengatur. Hanya boleh memberi penjelasan administrasi dan kelembagaan yang tidak jelas dalam penanganan perkara," kata Pakar Hukum Tata Negara yang akrab disapa Bibip itu. Ia menjelaskan Surat Edaran adalah produk naskah dinas berisi pemberitahuan, penjelasan, atau petunjuk melaksanakan hal penting dan mendesak. Namun, isinya bukan peraturan perundang-undangan dan bukan pula keputusan administrasi pemerintahan.

Baca juga:

"Kami bahkan di tim percepatan reformasi hukum merekomendasikan level di bawah Peraturan Presiden seharusnya tidak lagi ada sebagai jenis peraturan perundang-undangan," kata Bibip mengungkapkan. Ia menentang Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.2 Tahun 2023 yang menjadi sorotan publik belum lama ini. SEMA itu melarang pengadilan mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan beda agama.

Bibip menjelaskan SEMA No.2 Tahun 2023 bukan memberikan panduan, tetapi mengatur bagaimana Hakim harus memutus perkara. Lebih dari itu, SEMA ini seolah-olah menganulir ketentuan dalam UU No. 23 Tahun 2006 jo. UU No. 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan (UU Administrasi Kependudukan). Dalam Pasal 34 dan Pasal 35 UU Administrasi Kependudukan mengakui pengesahan nikah beda agama.

"SEMA tentu saja tidak bisa mengubah peraturan," tegasnya.

Penting untuk membaca lengkap isi SEMA Nomor 2 Tahun 2023. Hanya ada dua pasal. Pertama, Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kedua, Pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar-umat yang berbeda agama dan kepercayaan.

Redaktur Senior Hukumonline Muhammad Yasin sependapat dengan Bibip. Ia menelaah sejumlah literatur akademik yang memastikan Surat Edaran tidak dimaksudkan sebagai peraturan perundang-undangan. Hanya saja, terjadi perkembangan dalam praktik yang membuat SEMA dan berbagai Surat Edaran di sejumlah lembaga negara berlaku seolah sebagai peraturan perundang-undangan.

"Mari ingat lagi Surat Edaran tentang Covid-19. Banyak aturan yang dipatuhi sebagai protokol kesehatan berlaku umum seperti hukum. Padahal itu kemasannya Surat Edaran," ujar Doktor Hukum Administrasi Negara ini.

Sementara itu, Tenaga Ahli Komisi Yudisial Imran juga mengakui fakta banyak putusan pengadilan yang menjadikan SEMA sebagai dasar pertimbangan putusan. "Hampir semua penafsiran Hakim merujuk SEMA," kata Imran. Kebiasaan ini sudah berlangsung lama di kalangan pengadilan.

Lalu, Yasin menambahkan bahwa SEMA awalnya memang petunjuk teknis pimpinan Mahkamah Agung ke seluruh jajaran peradilan di Indonesia. Isinya bimbingan dalam penyelenggaraan peradilan yang lebih bersifat administratif. "Hanya memuat pemberitahuan tentang hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak. Lalu belakangan juga berfungsi pengaturan yang dinilai efektif," ujarnya. Ia mencatat sejumlah SEMA yang akhirnya bersifat normatif atas hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang.

Tags:

Berita Terkait