Sukma Violetta: Dari Aktivis Lingkungan, Peradilan Hingga Pengawas Hakim
Srikandi Hukum 2018

Sukma Violetta: Dari Aktivis Lingkungan, Peradilan Hingga Pengawas Hakim

Bagi wanita yang berkarier di dunia hukum, seperti hakim, jaksa, lawyer, harus mampu memainkan peran ganda baik di rumahnya maupun di komunitas profesinya.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

 

Rindu dunia aktivis, ia bergabung di Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) sejak 2000 hingga 2006. Dan pernah menjabat sebagai Ketua II LeIP sejak tahun 2003 hingga 2006. Di sela-sela kesibukannya di LeIP, penggemar film dokumenter seperti film NAZI ini tercatat sebagai konsultan pembaruan hukum dan peradilan di Patnership for Governance Reform in Indonesian (PGR)-UNDP pada 2003 hingga 2006.

 

Kemudian ia bergabung dengan Indonesian Center for Invironmental Law (ICEL), sebuah LSM di bidang penegakan hukum lingkungan hidup sebagai peneliti senior sejak tahun 2006. Dunia hukum lingkungan memang bidang yang memang disukai bagi ibu, tiga orang anak ini. Pasalnya sejak awal, ia pernah mengikuti pelatihan Enviromental Law Course for Indonesian Jurists pada tahun 1998 di Van Vollenhoven Institute, Leiden, Belanda.

 

“Selama tujuh tahun di ICEL, saya terbiasa merancang peraturan yang pro lingkungan, me-training para hakim, jaksa, PNS, penyidik PPNS di bidang lingkungan di Pusdiklat Kejaksaan Agung. Di sini (ICEL) saya juga meneruskan kerja-kerja di LBH yang pro kepentingan publik,” ujar wanita yang tercatat sebagai Dosen Pascasarjana Ilmu Lingkungan IPB ini.

 

Tak heran, karena keilmuan dan pengalamannya di bidang hukum lingkungan, Sukma pernah dipercaya menjadi Tim Pemerintah dalam penyusunan RUU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tahun 2008-2009. Dan juga menjadi tim ahli menteri lingkungan hidup pada 2010-2014.   

 

Dia menceritakan sejak munculnya program Law Summit pertama sekitar awal tahun 2000-an, ini menjadi titik awal mula sejumlah lembaga hukum melakukan pembenahan institusi, seperti Kepolisian, Kejaksaan, Mahkamah Agung (MA). Namun, setelah Law Summit II, sekitar tahun 2002, masing-masing institusi bertekad memiliki program pembaruan.     

 

“Di dunia peradilan (MA) dan Kejaksaan, saya punya peran menggerakkan kedua lembaga itu untuk berpikir reformis. Tahun 2003, MA memiliki Blue Print Pembaruan Peradilan yang telah disusun MA bersama LeIP. Tahun 2006, Blue Print Pembaharuan Kejaksaan. Saat itu, saya sebagai advisor spesialis di PGR-UNDP,” tutur Sukma.  

 

Sukma juga tercatat sebagai anggota Tim Task Force Anti Korupsi pada Dewan Pertimbangan Presiden tahun 2010-2011. Lalu, anggota Tim Pengembangan Peradilan Hijau (Green Bench) di MA tahun 2010-2015. Khusus di Kejaksaan, Tim Reformasi Birokrasi Kejaksaan RI dijabatnya sejak 2006 hingga 2015.

Tags:

Berita Terkait