Tak Hanya Suap, Anggota Komisi III DPR Didakwa Terima Gratifikasi Rp2,7 Miliar
Berita

Tak Hanya Suap, Anggota Komisi III DPR Didakwa Terima Gratifikasi Rp2,7 Miliar

Suap dan gratifikasi diterima Putu melalui sejumlah pihak.

Oleh:
NOV
Bacaan 2 Menit
Anggota DPR komisi III Fraksi Demokrat I Putu Sudiartana berjalan seusai diperiksa di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (3/8).
Anggota DPR komisi III Fraksi Demokrat I Putu Sudiartana berjalan seusai diperiksa di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (3/8).
Penuntut umum KPK Herry BS Ratna Putra mendakwa anggota Komisi III DPR I Putu Sudiartana bersama-sama Noviyanti dan Suhemi (dilakukan penuntutan terpisah) menerima suap sebesar Rp500 juta dari Direktur PT Faktanusa Ciptagraha, Yogan Askan dan Kepala Dinas Prasarana Jalan Tata Ruang dan Pemukiman Provinsi Sumatera Barat (Sumbar).

"Terdakwa mengetahui atau patut menduga hadiah Rp500 juta itu diberikan untuk menggerakan terdakwa selaku anggota DPR membantu pengurusan penambahan Dana Alokasi Khusus (DAK) Kegiatan Sarana dan Prasarana Penunjang TA 2016 untuk Provinsi Sumbar pada APBN-P tahun 2016," katanya membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (16/11).

Kasus ini bermula pada Juli 2015. Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumbar mengusulkan DAK kegiatan pembangunan dan perawatan jalan di wilayah Sumbar pada APBN-P 2016 kepada Menteri Keuangan dan Menteri BAPPENAS sebsar Rp76 miliar dari total usulan anggaran DAK Provinsi Sumbar TA 2016, yaitu sebesar Rp340,854 miliar.

Terkait pengusulan anggaran tersebut, lanjut Herry, sekira Agustua 2015, Suhemi menemui Desrio Putra dan menyampaikan dapat membantu mengusulkan anggaran DAK yang berhubungan dengan infrastruktur publik di daerah-daerah, karena dia kebetulan berteman dengan Putu yang merupakan anggota DPR dari Partai Demokrat. (Baca Juga: Putu Sudiartana Akui Minta Bantuan Anggota Banggar)

Kemudian, Suhemi meminta dipertemukan dengan Suprapto. Desrio menyampaikan kepada Suprapto bahwa Suhemi sebagai teman Putu dapat membantu pengalokasian anggaran DAK kegiatan pembangunan dan perawatan jalan di wilayah Sumbar pada APBN-P 2016. Lalu, Suprapto meminta Desrio menemui Kabid Pelaksana Jalan pada Dinas Prasarana Jalan Tata Ruang dan Pemukiman Provinsi Sumbar Indra Jaya guna mendiskusikan bantuan DAK.

Berselang beberapa hari, Desrio, Suhemi, Indra, dan Jefrianto bertemu di Hotel Ibis Padang. Dalam pertemuan itu, Suhemi menyampaikan bahwa Putu dapat membantu penambahan DAK sekaligus memberi contoh proposal kepada Indra. Hasil pertemuan tersebut dilaporkan Indra kepada Suprapto. Dimana, selanjutnya Indra memperkenalkan Suprapto kepada Suhemi.

Herry menyatakan, pada pertengahan November 2015, Suhemi mempertemukan Suprapto dan Indra kepada Putu di ruang kerjanya di Gedung DPR. Permintaan Suprapto dan Indra untuk membantu pengalokasian anggaran DAK disanggupi oleh Putu. Bahkan, Putu menyarankan agar dimasukan juga anggaran untuk kegiatan pembangunan gedung dan air bersih.

Alhasil, dibuat lah usulan penambahan alokasi anggaran DAK kepada Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat melalui Surat Gubernur Sumbar tanggal 24 November 2015 dengan nilai usulan secara keseluruhan sejumlah Rp620,76 miliar. Copy surat Gubernur Sumbar itu diserahkan Suprapto kepada Putu melalui staf Putu, Noviyanti.

Pada Januari 2016, Suprapto dan Indra memperkenalkan Suhemi kepada pengusaha di Sumbar yang bernama Yogan Askan. Suhemi menyampaikan, Putu sedang berupaya membantu agar dapat terealisasi atau disetujui DPR. Hal sama juga diungkapkan Putu saat bertemu Yogan dan Indra di lapangan golf Pondok Indah, Jakarta pada 29 Mei 2016.

Selanjutnya, menurut Herry, pada 6 Juni 2016, Yogan bersama Suhemi menemui Putu di Gedung DPR, menanyakan pengalokasian DAK Provinsi Sumbar. Putu menjawab, usulan masih dalam proses pembahasan. Lalu, pada 10 Juni 2016, Putu menyampaikan akan mengusahakan pengalokasian anggaran DAK proyek pembangunan dan perawatan ruas jalan di Provinsi Sumbar dari APBN-P minimal Rp50 miliar.

"Namun, Suprapto meminta terdakwa menambah alokasi menjadi Rp100 miliar sampai dengan Rp150 miliar. Atas permintaan itu, terdakwa bersedia membantu dan meminta fee atau imbalan sebesar Rp1 miliar. Pada 15 Juni 2016, terdakwa menghubungi Suhemi menanyakan fee Rp1 miliar dan meminta agar secepatnta direalisasikan," ujarnya. (Baca Juga: Saksi Sebut Pengusaha Menyumbang Rp500 Juta untuk Partai Demokrat)

Keesokan harinya, Putu kembali menghubungi Suhemi menanyakan realisasi fee dan dijawab uang fee sedang diusahakan Yogan. Putu meminta Suhemi menemui Yogan dan Suprapto. Suhemi pun menemui Suprapto di Padang pada 20 Juni 2016. Dilakukan lah pertemuan antara Suhemi, Suprapto, Yogan, Indra, Suryadi Halim alias Tando, Hamnasri Hamid, dan Johandri.

Herry mengungkapkan, dalam pertemuan itu, disepakati fee Putu sejumlah Rp500 juta yang merupakan iuran dari Yogan sebesar Rp125 juta, Suryadi Rp250 juta, Johandri Rp75 juta, dan Hamnasri Rp50 juta. Lalu, Suhemi menyampaikan kepada Noviyanti bahwa Yogan akan menyerahkan uang sebesar Rp500 juta dengan istilah "kaleng susu 500 kotak".

Akhirnya, pada 23 Juni 2016, Putu melakukan pertemuan di Cafe Bistro Garcon Plaza Senayan dengan Yogan yang dihadiri pula oleh Noviyanti dan Ippin Mamonto. Yogan menanyakan soal perkembangan usulan alokasi DAK dan meminta penambahan Rp100 miliar sampai Rp150 miliar, serta menyampaikan fee Rp500 juta telah disiapkan.

Setelah itu, Putu menuliskan angka 100 pada tissue dan memerintahkan Noviyanti menyerahkan kepada anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR Rinto Subekti selaku guna memastikan apakah alokasi anggaran untuk Sumbar dapat disetujui sebesar Rp100 miliar. Noviyanti menyerahkan tissue tersebut kepada Rinto di Gedung DPR dan mendapat jawaban pengajuan sudah terlambat. Informasi pun disampaikan kepada Putu.

Mengingat pengajuan anggaran sudah terlambat, pada 24 Juni 2016, Putu meminta Noviyanti menyampaikan bahwa alokasi DAK Sumbar menggunakan kuota anggota Banggar Wihadi Wiyanto. Putu juga meminta Noviyanti untuk menerima uang dari Yogan. Pada hari yang sama, Putu menghubungi Yogan memberitahukan alokasi DAK Sumbar sudah "Oke" dan meminta Yogan menghubungi Noviyanti untuk proses pengiriman uang.

Penyerahan uang dilakukan secara bertahap. Pada 25 Juni 2016, Yogan memberikan Rp100 juta kepada Putu melalui dua kali transfer ke rekening Ni Luh Putu Sugiani, masing-masing Rp50 juta. Bukti transfer diserahkan kepada Noviyanti. Selanjutnya, pada 27 Juni 2016, Yogan menransfer kekurangannya sebesar Rp400 juta ke beberapa rekening sesuai permintaan Noviyanti.

"Sebesar Rp50 juta ke rekening Bank Mandiri atas nama Muchlis, sebesar Rp100 juta ke rekening BCA atas nama Djoni Garyana, sebesar Rp200 juta ke rekening Bank Mandiri atas nama Ni Luh Putu Sugiani dengan keterangan 'sewa villa' sebagaimana arahan Noviyanti," beber Herry.

Setelah pemberian uang, sambung Herry, pada 28 Juni 2016, Putu menghubungi Yogan dan menyampaikan bahwa pengalokasian anggaran penambahan alokasi DAK kegiatan sarana dan prasarana penunjang TA 2016 untuk Provinsi Sumbar pada APBN-P 2016 sebesar Rp50 miliar sudah disetujui. (Baca Juga: Nego-Nego Anggota DPR Putu Sudiartana ke Banggar Lewat ‘Tisu’)

Selain suap, Putu juga didakwa menerima gratifikasi yang seluruhnya berjumlah Rp2,7 miliar. Herry mengatakan, gratifikasi tersebut diterima Putu dalam rentang waktu April 2016 hingga Mei 2016 melalui sejumlah pihak. "Bertempat di Restauran Sari Ratu Plaza Senayan, Jakarta dan di stasiun kereta api Pasar Turi Surabaya," terang Herry.

Penerimaan pertama, yaitu uang sebesar Rp2,1 miliar dari Salim Alaydrus diterima Putu melalui stafnya, Noviyanti pada April 2016 di stasiun kereta api Pasar Turi Surabaya. Kedua, penerimaan uang sebesar Rp300 juta dari Mustakim yang ditransfer secara bertahap, masing-masing Rp100 juta ke rekening suami Noviyanti yang bernama Muchlis.

Ketiga, Putu menerima uang sebesar Rp300 juta dari Ippin Mamonto melalui Noviyanti secara tunai di Restauran Sari Ratu Plaza Senayan, Jakarta Selatan pada Mei 2016. Ippin sendiri adalah staf Partai Demokrat. Menurut Herry, sejak menerima uang-uang itu, Putu tidak melaporkan ke KPK sampai dengan bataa waktu 30 hari sebagaimana ketentuan UU Tipikor.

"Padahal, penerimaan itu tidak ada alasan yang sah menurut hukum. Dari keseluruhan uang tersebut, telah digunakan oleh terdakwa untuk kepentingan pribadi dan sekitar Rp375 juta telah ditukarkan dalam bentuk dolar Singapura sebanyak Sing$40 ribu yang kemudian ditemukan petugas KPK ketika melakukan penangkapan terhadap terdakwa pada 28 Juni 2016," tutur Herry.

Herry menganggap perbuatan Putu yang menerima gratifikasi sejumlah Rp2,7 miliar sebagai suap. Sebab, penerimaan itu berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban Putu selaku penyelenggara negara sebagaimana diatur dalam UU No.28 Tahun 1999, UU No.17 Tahun 2014, serta Peraturan DPR No.1 Tahun 2014.

Atas kedua perbuatan Putu, penuntut umum mendakwa politikus Partai Demokrat ini dengan Pasal 12 huruf a UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 11 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP untuk penerimaan suap, serta Pasal 12 B UU Tipikor untuk perbuatan penerimaan gratifikasi.

Menanggapi dakwaan penuntut umum, Putu dan tim pengacaranya akan mengajukan nota keberatan atau eksepsi. Putu menyatakan, ada beberapa poin dalam surat dakwaan yang harus diklarifikasi. Oleh karena itu, majelis hakim yang diketuai Ibnu Basuki Widodo mengagendakan pembacaan eksepsi pada pekan depan.

Tags:

Berita Terkait