Tim Advokasi Minta Hakim Hentikan Sidang Kasus 26 Aktivis Demo Buruh
Aktual

Tim Advokasi Minta Hakim Hentikan Sidang Kasus 26 Aktivis Demo Buruh

ANT
Bacaan 2 Menit
Tim Advokasi Minta Hakim Hentikan Sidang Kasus 26 Aktivis Demo Buruh
Hukumonline
Tim Advokasi untuk Buruh dan Rakyat Tolak PP Pengupahan (Tim TABUR) meminta majelis hakim agar menghentikan persidangan terhadap 26 terdakwa terkait demo buruh, termasuk dua pengacara publik Tigor Gemdita Hutapea dan Obed Sakti.

"Kami minta proses persidangan supaya dihentikan karena persidangan ini bukan mengabdi untuk keadilan dan kebenaran tapi untuk kepentingan orang tertentu, dan dijamin di pasal 146 KUHAP bahwa penuntut umum harus menyampaikan kepada terdakwa mengenai hari dan jam sidang dan dan untuk perkara apa ini, tapi dalam surat yang dikirim tidak ditemukan penjelasan dalam perkara apa klien kami didakwakan, tentu ini melanggar hak-hak klien kami," kata salah satu anggota Tim TABUR Maruli Tua Rajaguguk di pengadilan negeri Jakarta Pusat, Senin.

Pada hari Senin diagedakan pembacaan dakwaan terhadap dua pengacara publik LBH Jakarta yaitu Tigor Gemdita Hutapea dan Obed Sakti, seorang mahasiswa dan 23 buruh yang ditetapkan menjadi terdakwa oleh jaksa penuntut umum karena melakukan demonstrasi menuntut dibatalkannya PP 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan pada 6 Februari 2016.

Namun pembacaan dakwaan itu ditunda oleh majelis hakim hingga Senin (28/3) karena tidak semua terdakwa hadir dalam sidang. Saat sidang berlangsung, ratusan buruh juga melakukan aksi di depan PN Jakarta Pusat sebagai bentuk dukungan, sehingga pihak kepolisian sempat menutup Jalan BUngur Raya, lokasi PN Jakarta Pusat.

"Mungkin ini kesalahan yang berulang kali dilakukan oleh pihak kejaksaan, maka kami mengoreksi kesalahan yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum," tambah Maruli.

Menurut Maruli, pasal 146 ayat 1 UU No 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menyatakan "Penuntut Umum menyampaikan surat panggilan kepada terdakwa yang memuat tanggal, hari serta jam sidang dan untuk perkara apa ia dipanggil yang harus diterima oleh yang bersangkutan selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang dimulai".

Maruli juga mengirimkan surat kepada Jaksa Agung HM Prasetyo untuk melakukan pemeriksaan terhadap jaksa yang menangani perkara ini.

"Hal lain yang kami minta ke majelis hakim, kami menilai kesalahan yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum sangat serius karena merugikan hak-hak klien kami, dan surat ini kami tembuskan ke Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda Pengawasan karena jaksa ini sepertinya tidak serius dan tidak menguasai prosedur hukum maka kami mengoreksi jaksa ini dan minta agar jaksa ini segera diperiksa dan bila perlu dia dicabut sebagai penuntut umum karena tidak layak mengadili perkara," ungkap Maruli.

Kriminalisasi Lebih lanjut, Maruli juga menilai bahwa apa yang terjadi pada dua pengacara LBH Jakarta adalah tindakan kriminalisasi.

"Ini juga kriminalisasi yang merupakan kemunduran dalam demokrasi. Kami minta pengadilan dihentikan karena pengadilan ini mengadili aspirasi demokrasi dan pemidanaan yang dipaksakan terhadap klien kami. Hakim sebagai wakil Tuhan harus berbuat keadilan dan kebenaran, kalau sudah salah untuk apa perkara ini disidangkan?" tegas Maruli.

Mantan Komisioner KPK Bambang Widjojanto yang juga menjadi salah satu tim kuasa hukum juga mempertanyakan keabsahan perkara tersebut.

"Coba pikir, kapan terakhir pengacara dipidanakan karena melakukan tugasnya? Terakhir itu saat zaman Bang Buyung (Adnan Buyung Nasution). Kalau pengacara yang ditangkap karena berbuat kejahatan sih banyak di KPK," kata Bambang.

Tigor dan Obed saat demo buruh sedang melakukan pendampingan sebagai kuasa hukum dan mendokumentasikan jalannya aksi. Keduanya ditangkap oleh aparat kepolisian karena dianggap sebagai massa aksi, padahal sebelumnya mereka telah memperkenalkan diri kepada aparat kepolisian sebagai kuasa hukum dari LBH Jakarta yang mendampingi aksi buruh.

Mereka ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya dengan Pasal 216 ayat (1) dan/atau 218 KUHP juncto Pasal 15 UU Kemerdekaan Menyatakan Pendapat, dan Pasal 7 ayat (1) butir a Perkap 7/2012, yang pada pokoknya dinyatakan melawan petugas.

Padahal keduanya sebagai advokat memiliki hak imunitas saat menjalankan profesinya untuk tidak dapat dituntut secara pidana. Hal tersebut diatur dalam Pasal 11 UU No 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum dan Pasal 16 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat Jo. Putusan Mahkamah Konstitusi No.26/PUU-XI/2013.
Tags: