Musdah Mulia: 'Kesalahan' Kami Hanya karena Menuangkannya dalam Bentuk CLD
Utama

Musdah Mulia: 'Kesalahan' Kami Hanya karena Menuangkannya dalam Bentuk CLD

Belakangan ini, masyarakat muslim Indonesia dihebohkan dengan terbitnya naskah penelitian yang bertajuk counter legal draft (CLD) Kompilasi Hukum Indonesia (KHI). Beberapa bagian naskah yang disusun dalam cetakan seukuran buku tulis itu dinilai telah menyimpang dari ajaran Islam.

Zaenal Arifin
Bacaan 2 Menit
Musdah Mulia: 'Kesalahan' Kami Hanya karena Menuangkannya dalam Bentuk CLD
Hukumonline

 

Jadi kesalahan apa yang dimaksud Musdah Mulia? Untuk mengetahuinya, berikut ini hasil wawancara Musdah Mulia dengan reporter hukumonline, beberapa waktu yang lalu. Dalam wawancara ini juga akan diungkap upaya aktivis perempuan untuk membentuk jaringan gerakan perempuan dalam rangka ikut mengadvokasi isi dari draf CLD ini.

 

Usul pembentukan jaringan perempuan ini datang dari siapa?

Usul (pembentukan jaringan gerakan perempuan, red) ini dari aktivis perempuan yang punya pengalaman dalam mengadvokasi RUU KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga, red). Pengalaman itu mungkin akan digunakan juga pada draf ini. Saya sendiri tidak tahu apa-apa. Memang tidak direncanakan. Jadi tidak ada set up dari awalnya.

 

Pendapat ibu soal pembentukan jaringan ini?

Ini suatu hal positif untuk mengadvokasikan sesuatu, termasuk mengadvokasikan kepentingan perubahan KHI di Indonesia

 

Apa ini respon dari larangan menteri agama untuk sosialisasi CLD?

Itu kesalahpahaman. Menteri Agama bukannya melarang, tapi mengatakan bahwa kerjaannya PUG sudah selesai. Memang sudah selesai kerjaan kita. Kerjaannya PUG itu melaksanakan penelitian, kajian, menyusun draf, lalu launching. Cuma segitu kok kontraknya. Sekarang sudah milik publik, jadi larangan Menteri Agama itu adalah jangan lagi menggunakan nama Depag ketika bicara soal CLD KHI.

 

Yang jelas, sebelum ada CLD KHI ini pun, kegiatan itu sudah menggulir di masyarakat. Misalnya organisasi KAPAL perempuan sudah lama mengadvokasikan perkawinan beda agama. Koalisi Perempuan Indonesia juga sudah lama menekuni perubahan terhadap UU Perkawinan.  Perlunya adanya kesetaraan gender dalam rumah tangga itu juga sudah mulai dikerjakan berbagai organisasi masyarakat sepuluh tahun yang lalu.

 

Jadi apa yang salah sehingga terbentuk persepsi masyarakat begitu?

Yang "salah" yaitu karena PUG ini mengemas penelitiannya dalam CLD, itu saja. Andaikata dikemas dalam laporan ilmiah, nggak ada yang akan ribut. Misalnya sejumlah disertasi dan tesis di perpustakaan tidak ada yang mengutak-utik, padahal isinya itu sangat mengecam KHI tapi nggak ada yang baca jadi nggak ada yang ribut.

 

Kami menganggap kalau kami kemas penelitian kami dalam laporan ilmiah, nggak ada yang baca bisa percuma. Jadi kita buat saja dalam CLD biar mata orang semua membelalak. Padahal kita hanya memindahkan hasil penelitian di perpustakaan ke dalam satu bundel CLD itu.

 

Upaya membelalak itu berhasilkah?

Sangat berhasil. Jadi membelalak kan? Bahkan orang jadi tahu apa itu KHI sebetulnya.

 

Penelitian ini dilakukan selama dua tahun. Tidak main-main itu. Menggunakan survei lapangan, membandingkan dengan undang-undang keluarga di seluruh negara Islam.

 

Draf ini juga atas masukan hakim-hakim agama. Kami melakukan survei  lapangan. Mereka mengeluh bahwa KHI yang lama itu sudah tidak relevan. Sudah  tidak mencukupi untuk menampung persoalan-persoalan yang muncul. Misalnya KDRT, itu tidak ada dalam KHI. Keresahan mereka tidak dibaca siapa-siapa, mereka hanya mengeluh. Kami datang mengumpulkan keluhan mereka dan kami tulis dalam bahasa CLD.

 

Rencana soal CLD KHI itu selanjutnya?

Nggak ada. Kita lepas saja kepada masyarakat.

 

Kalau tak ada rencana sosialisasi, kelanjutan draf ini bisa mandek?

Draf ini nggak perlu sosialisasi. Itu sudah menjadi milik publik. Kalau publik merasa penting itu harus diperjuangkan, silakan mereka berjuang. Tidak perlu ada apa-apa dari kita. Kita sudah menyelesaikan tugasnya. Kalau mereka merasa penting ya perjuangkan, kalau tidak ya tidak usah. Bukan siapa-siapa yang akan rugi. Biarkan saja.

Misalnya, CLD mengharamkan dilakukannya poligami dengan alasan apa pun. Padahal sebagian masyarakat menilai, meski dilengkapi dengan persyaratan yang berat, praktek poligami masih diperbolehkan oleh ajaran Islam. Dalam rumusan lain CLD membolehkan perkawinan antar agama, yang menurut penilaian sebagian masyarakat sudah dengan tegas dilarang dalam Al-Qur'an.

 

Penyusun draf CLD ini adalah tim Pengarus Utamakan Gender (PUG) Departemen Agama. Menurut tim PUG, KHI yang berlaku sejak 1991 (KHI 1991) dinilai sudah tidak relevan lagi dengan realitas dinamika masyarakat. Selain itu, KHI 1991 juga dinilai banyak memuat ketentuan yang tidak ramah terhadap perempuan, anak-anak, dan kaum minoritas.

 

Tapi itu tadi, peluncuran hasil penelitian yang dilakukan lebih dari dua tahun ini langsung mengundang kritik dan protes dari sebagian masyarakat. Hasil pemikiran tim PUG ini dinilai telah jauh dari konteks ajaran agama Islam yang sudah digariskan dengan tegas dalam Al Qur'an dan Hadist. Begitu besar respons negatif dari masyarakat, sehingga menteri agama akhirnya melarang sosialisasi lebih lanjut draf CLD tersebut mengatasnamakan Departemen Agama.

 

Menanggapi hal tersebut, Ketua tim PUG Siti Musdah Mulia mengatakan bahwa sebenarnya yang terjadi di masyarakat adalah kesalahpahaman terhadap apa yang telah dilakukan oleh timnya. Masyarakat, menurutnya, menganggap bahwa rumusan yang diajukan timnya sudah merupakan rumusan yang akan mengikat layaknya undang-undang. Padahal, rumusan yang ditawarkan timnya itu bukan harga mati, dan terbuka untuk didiskusikan lebih lanjut.

 

Terhadap semua kesalahpahaman itu, Musdah Mulia memang mengakui adanya satu 'kesalahan' yang telah dilakukan oleh timnya, meski ditegaskan kemudian bahwa 'kesalahan' itu memang disengaja.

Halaman Selanjutnya:
Tags: