Sutiyoso akan Digugat Lagi
Banjir Jakarta

Sutiyoso akan Digugat Lagi

Upaya hukum yang ditempuh sejumlah ornop terkait banjir di Jakarta pada 2002 lalu belum membuahkan putusan akhir. Strategi apa lagi yang akan ditempuh untuk banjir kali ini?

CRH
Bacaan 2 Menit
Sutiyoso akan Digugat Lagi
Hukumonline

LBH Jakarta dan sejumlah ornop, termasuk WALHI, akan menggugat  para pihak yang bertanggung jawab terhadap banjir yang kini menenggelamkan Jakarta. Sebagaimana diungkapkan ketua LBH Jakarta Asfinawati (05/02), sudah terbesit niat di antara ornop untuk menggugat Gubernur Jakarta dan pejabat terkait karena dinilai lalai dalam mengantisipasi banjir. Hanya, niat itu masih terbentur persoalan yang tak mudah dipecahkan.

 

Ya, bersama sejumlah ornop, LBH Jakarta pada 2002 lalu juga pernah menggugat class action Gubernur Jakarta karena dinilai kurang sigap dalam mengantisipasi banjir yang melanda ibu kota pada waktu itu. Gugatan itu mentah di PN Jakarta Pusat. Majelis hakim saat itu mendalilkan, tanggung jawab terjadinya banjir di Jakarta berada di tangan para wali kota, bukan pada gubernur.

 

Tak puas dengan putusan itu, LBH Jakarta lantas mengajukan banding. Tapi upaya banding kandas pula. Majelis hakim Pengadilan Tinggi Jakarta malah menguatkan putusan PN Jakarta Pusat. Lantas, upaya kasasi akhirnya menjadi pilihan terakhir. Pada akhir 2005 lalu, kasasi itu telah diajukan. Sayang, berkas kasasi dengan register No. 2414K/PDT/2005 itu kini masih bersemayam di gedung MA bersama ribuan berkas perkara yang lain. Hasil penelusuran hukumonline dari SIMARI perkara itu baru masuk register perkara saja.

 

MA memang payah. Kasusnya artis saja bisa diselesaikan dalam beberapa bulan. Mestinya penyelesaian kasus seperti ini harus lebih dipercepat, harus diprioritaskan, keluh Hermawanto, aktivis LBH Jakarta, sembari  memberi contoh putusan rebutan hak asuh anak antara Tamara Bleszinsky dengan suaminya.

 

Temukan Hal Baru

Belum adanya putusan kasasi tersebut membuat LBH Jakarta harus memeras otak untuk menemukan sesuatu yang baru yang akan dijadikan materi gugatan. Karena itulah, kami sekarang terus memantau keadaan, mempelajari berita di media massa dan melakukan investigasi untuk menemukan hal-hal baru yang sebelumnya belum pernah kami jadikan materi gugatan di samping mendirikan posko untuk korban banjir, ujar Asfinawati. Hal baru itu, lanjut Asfin, salah satunya adalah kebohongan publik yang dilakukan Gubernur DKI Sutiyoso sebelum dan saat banjir melanda.

 

Termasuk dalam kebohongan publik itu, lanjut Asfinawati, adalah tiadanya transparansi dalam pembangunan fasilitas-fasilitas yang diproyeksikan untuk mengantisipasi banjir. Hal itu misalnya tampak pada proyek Banjir Kanal Timur yang menelan biaya besar.

 

Dengan adanya kebohongan publik ini, LBH Jakarta berharap para penegak hukum terbuka mata hatinya untuk tidak segan-segan memvonis bersalah para pihak yang bertanggung jawab terhadap banjir di Jakarta kali ini. Kita ingin hakim berpihak pada korban banjir, tandas Asfinawati.

 

Maju Mundur

Upaya antisipasi banjir dan penanganan korban banjir, diakui LBH Jakarta, mengalami kemajuan dan kemunduran. Sistem peringatan dini (early warning system), misalnya, pada 2002 lalu tidak ada. Sekarang ada, tapi patut disayangkan kurang berjalan secara optimal. Misalnya, dibuat sejumlah posko untuk mengantisipasi banjir, namun kualitas kinerjanya sangat dipertanyakan, ujar Asfinawati.

 

Namun, di sisi lain, kemunduran secara nyata justru terlihat pada cara gubernur dan aparat terkait merespons banjir. Sutiyoso mengatakan sudah tahu akan adanya banjir lima tahunan. Dia menganggap itu sebagai bencana alam. Seakan-akan sesuatu yang memang harus terjadi. Itu pola pikir yang terbalik. Mestinya dia berusaha mengantisipasi banjir semaksimal mungkin, tandas Asfinawati.

 

Gatot, aktivis LBH Jakarta yang lain, menambahkan, terjadinya banjir lima tahunan ini tak lepas dari tidak beresnya Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW). Pemerintah bersama pengusaha, kata Gatot, tak peduli terhadap RTRW dan lebih mementingkan pemanfaatan lahan untuk mengeruk uang.

 

Lebih dari itu, lanjut Gatot, minimnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) tak bisa diabaikan. Dibanding lima tahun silam dimana banjir besar juga melanda Jakarta, RTH yang ada saat ini berkurang drastis. Hal itu berpengaruh besar terhadap sistem penyerapan dan drainase air, kata Gatot. Sementara ia menilai budaya buang sampah sembarangan, sebetulnya hanya faktor kecil yang terlalu dibesar-besarkan.

Tags: