Pengangkutan Batu Bara Berujung ke Pengadilan
Berita

Pengangkutan Batu Bara Berujung ke Pengadilan

Dinilai wanprestasi terhadap perjanjian pengangkutan batu bara, perusahaan jasa transportasi laut digugat mitra kerjanya.

IHW
Bacaan 2 Menit
Pengangkutan Batu Bara Berujung ke Pengadilan
Hukumonline

 

Dalam kurun waktu tersebut HTC hanya mampu mengangkut batu bara sebanyak 157.967 metrik ton dari yang semestinya 350.000 metrik ton. Dengan perkataan lain, pihak tergugat praktis hanya mampu mengangkut kurang dari separuh berat angkutan yang seharusnya. Dengan demikian terbukti bahwa pihak tergugat telah wanprestasi, tegas Darwin.

 

Parahnya lagi, masih seperti terdapat dalam gugatan, sejak November 2006, tergugat malah menghentikan kapal dan tongkangnya untuk mengangkut batu bara. Artinya, sejak itu tergugat telah menghentikan kewajibannya, padahal kerja sama itu berakhir pada 31 Desember 2007.

Namun sebagaimana tertuang  dalam berkas jawabannya, HTC menolak tegas jika dituduh telah wanprestasi. Melalui kuasa hukumnya dari kantor hukum Amali & Associates, HTC  menyatakan telah memenuhi semua kewajiban yang tertuang dalam setiap perjanjian. Disebutkan juga, justru pihak penggugat lah yang tidak mampu menyediakan batu bara sesuai dengan volume yang telah disepakati dalam perjanjian.

 

Namun dalam berkas repliknya, Darwin kembali membantah jika kliennya dinyatakan tidak mampu menyediakan batu bara sebanyak 50 ribu metrik ton. Buktinya, lanjut Darwin, GMP kemudian mengadakan perjanjian dengan pihak ketiga tatkala mengetahui ketidakmampuan HTC dalam mengangkut batubara sesuai kesepakatan.

 

Gugat Balik

Belakangan, HTC malah menggugat balik (gugatan rekonpensi) dengan alasan bahwa GMP lah yang nyata-nyata melakukan wanprestasi dengan menahan pembayaran biaya pengangkutan sebesar Rp3,153 milyar. 

 

Terhadap gugatan rekonpensi tersebut, GMP mengembalikannya kepada perjanjian awal, dimana GMP hanya melakukan pembayaran kepada HTC atas jasa pengangkutan sesuai dengan jumlah volume batu bara yang diangkut. Namun karena tergugat dinilai tidak mampu mengangkut batu bara untuk periode mei-november 2006, maka penggugat merasa berhak untuk menahan biaya pembayaran jasa sebesar Rp3,15 miliar agar penggugat tidak mengalami kerugian lebih besar lagi.

 

Tindakan menahan pembayaran tersebut, kata penggugat, sesuai dengan asas umum yang berlaku dalam hukum, yaitu asas exceptio non adempleti contractus, yang pada intinya mengatur bahwa hak menuntut dari salah satu pihak dalam suatu perjanjian akan hilang pada saat pihak tersebut melakukan wanprestasi.

 

HTC pun tidak tinggal diam. Dalam berkas dupliknya, HTC menyatakan tindakan menahan biaya pembayaran jasa angkutan oleh penggugat tidaklah berdasar. Tidak ada dasar hukum maupun hak retensi pada penggugat untuk menahan pembayaran karena uang tersebut ada bukan karena wanprestasi, tetapi justru karena prestasi yang telah dilaksanakan oleh tergugat, begitu tulis tergugat dalam dokumen dupliknya.  Ujungnya, tergugat malah melaporkan penggugat ke Polda Metro Jaya atas tuduhan tindak pidana penggelapan dan penipuan.

 

Hubungan bisnis ternyata tak selamanya berjalan mulus. Salah sedikit, relasi bisnis tersebut hampir dapat  dipastikan terganggu. Bahkan tidak tertutup kemungkinan akan berujung di pengadilan. Seperti itulah kini hubungan antara PT Humpuss Transportasi Curah (HTC) dengan PT Genta Multi Perdana (GMP) saat ini.

 

Keduanya saling berhadapan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, setelah lama seiring sejalan dalam menjalin ikatan bisnis. HTC yang merupakan salah satu anak perusahaan Humpuss Intermoda Transportasi digugat GMP karena dinilai cidera janji alias wanprestasi.

 

Perkaranya bermula ketika GMP bersepakat menjalin kerja sama di bidang pengangkutan batu bara dengan HTC. Kesepakatan itu tertuang dalam sebuah perjanjian yang ditandatangani pada 2 Mei 2006 dan berlaku hingga 31 Desember 2007. Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa HTC diwajibkan untuk menyediakan sarana pengangkutan laut bagi GMP.

 

Seperti diuraikan dalam berkas gugatan, HTC berkewajiban mengangkut batu bara dari Kalimantan Selatan dengan tujuan Lampung. Jumlah yang harus diangkut mencapai 50 ribu metrik ton per bulan. Kontraprestasinya, GMP berkewajiban membayar biaya angkut sebesar Rp97.500 per metrik ton.

 

Penggugat berpendapat kurun waktu Mei hingga November 2006, ternyata HTC tidak mampu melaksanakan kewajibannya dengan baik. Tergugat tidak mampu mengangkut batu bara sebanyak 50 ribu metrik tiap bulannya, kata Darwin Aritonang, kuasa hukum GMP.

Halaman Selanjutnya:
Tags: