Dephukham Susun Payung Hukum Daktiloskopi
Berita

Dephukham Susun Payung Hukum Daktiloskopi

Di tengah proses persidangan kasus korupsi proyek pemindai sidik jari, dikenal sebagai kasus AFIS, Dephukham mencoba menyusun payung hukum bagi pemeriksaan sidik jari. Meski dianggarkan tahun ini, target penyelesaian payung hukumnya tidak terlalu mendesak.

Mys/Mon
Bacaan 2 Menit
Dephukham Susun Payung Hukum Daktiloskopi
Hukumonline

 

Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (Dirjen AHU) Syamsudin Manan Sinaga menegaskan bahwa pembangunan AFIS harus jalan terus meski bertahap. Setiap tahun ada penambahan memori akan kuat menyimpan data sidik jari penduduk. Sang Dirjen memastikan dana untuk pengembangan AFIS sudah dianggarkan. Kalau tidak ada (dananya –red), pekerjaan tidak bisa jalan, kata mantan hakim PN Jakarta Pusat itu.

 

Berdalih tidak tahu pasti, Syamsudin enggan mengungkap angka yang dianggarkan untuk Automatic Fingerprint Identification System (AFIS). Tetapi seorang sumber hukumonline memberi gambaran bahwa pada 2007 ini dana yang disediakan mencapai Rp18,5 miliar. Satu hal yang ditegaskan Syamsudin terkait dana itu: jangan ada mark-up. Untuk keperluan itu, Ditjen AHU sudah berkonsultasi dengan BPK dan Lembaga Elektronik Nasional di Bandung.

 

Titah Syamsudin tampaknya berkaca pada pengalaman yang terjadi selama ini. Proyek AFIS telah mengantarkan mantan Dirjen AHU Zulkarnain Yunus dan beberapa pengelola proyek AFIS ke kursi terdakwa di Pengadilan Tipikor. Hingga saat ini, perkaranya masih disidangkan. Lantaran dugaan korupsi itu, mesin pengolah data sidik jari mandeg. Sekarang, pendataan terpaksa dilakukan secara manual.

 

Nah, agar tak lagi bisa dimainkan seenaknya, sekaligus memberi landasan yuridis yang kuat, proyek pendataan sidik jari akan diatur dalam undang-undang tersendiri. Tentu ada landasan hukum lain seperti Undang-Undang Administrasi Kependudukan. Tetapi, yang disusun Dephukham sekarang lebih pada daktiloskopinya.

 

Cuma, harapan Nazaruddin Bunas dan jajarannya agar RUU bisa kelar secepat mungkin tampaknya sulit terealisir. Direktur Perancangan Peraturan Perundang-Undangan Dephukham Suhariyono menegaskan RUU Daktiloskopi tidak termasuk prioritas legislasi. Meskipun demikian, Dephukham akan terus melakukan pembahasan karena data sidik jari disadari betul cukup penting. RUU-nya akan dibahas lagi, kata Suhariyono.

 

Sidik jari merupakan identitas seseorang yang bersifat alamiah, tidak berubah, dan berbeda setiap orang. Identifikasi seseorang, misalnya korban pembunuhan, sering terbantu melalui pemeriksaan sidik jari. Lantaran alamiah dan tidak berubah, pembuktian diri seseorang melalui sidik jari dipandang dapat dijamin kebenarannya dari segi hukum.

 

Sayang, Indonesia belum memiliki data sidik jari penduduknya. Meskipun setiap tahun Pemerintah menerapkan kewajiban memiliki identitas bagi warga negara seperti KTP, SIM, STNK, dan paspor data mengenai sidik jari di Indonesia justeru menyedihkan. Bayangkan, hingga saat ini baru 550 ribuan sidik jari yang tersimpan dalam AFIS. Itu pun kebanyakan dari database imigrasi.

 

Tidak terintegrasi dan terkoordinasi. Mungkin itulah sebutan yang pas untuk menggambarkan proses pengumpulan data sidik jari warga negara. Masing-masing Departemen jalan sendiri seolah mengabaikan betapa pentingnya data dimaksud, terutama untuk kepentingan yang berhubungan dengan hukum. Misalnya, dalam kasus perampokan dimana pelaku meninggalkan sidik jari. Kerja polisi akan terbantu bila sudah ada data sidik jari warga negara yang lengkap.

 

Untuk memperkuat basis yuridis pengumpulan data sidik jari itulah Pemerintah menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) Daktiloskopi. Direktur Daktiloskopi Ditjen Administrasi Hukum Umum Dephukham, Nazaruddin Bunas, menjelaskan RUU tersebut sudah disusun sejak 2000 dan disosialisasikan dua tahun kemudian. Dalam RUU dirancang suatu pusat lembaga daktiloskopi, ujar Bunas kepada hukumonline. Oh ya, daktiloskopi yang dimaksud dalam RUU ini adalah cara mengidentifikasi seseorang melalui pengamatan dan penelitian sidik jari.

Tags: