Hakim Adhoc Cuma Bisa Gigit Jari
Tunjangan Khusus Hakim:

Hakim Adhoc Cuma Bisa Gigit Jari

Hakim Adhoc Pengadilan Tipikor dan PHI tidak kecipratan tunjangan khusus. Mereka khawatir MA mengabaikan eksistensinya sebagai pengadil. MA dianggap menerapkan standar ganda.

IHW/Ali
Bacaan 2 Menit
Hakim Adhoc Cuma Bisa Gigit Jari
Hukumonline

 

Dalam Perpres itu dilampirkan pula mengenai besaran remunerasi yang berhak diterima oleh hakim. Angka paling kecil harus rela diterima oleh hakim PN Kelas II, yaitu sebesar Rp4,2 juta. Sementara remunerasi bagi Ketua Mahkamah Agung (MA) mencapai Rp31,1 juta. Remunerasi ini akan diterima hakim tiap bulannya bersamaan dengan pendapatan mereka.

 

Sayang, tambahan 'amunisi' untuk membuat dapur terus mengepul ini tidak diterima oleh Hendra dan hakim adhoc yang saban harinya mengadili perkara korupsi di bilangan Kuningan, Jakarta ini. Kami, hakim adhoc Tipikor tidak mendapatkan remunerasi itu, keluh Hendra.

 

Hakim adhoc Pengadilan Tipikor tidak sendiri. Nasib hakim adhoc Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) tak jauh berbeda. Para hakim adhoc yang menangani perkara perburuhan itu juga cuma bisa gigit jari melihat hakim karir menerima remunerasi.

 

Kami, hakim adhoc PHI Palembang tidak mendapatkan tunjangan khusus atau remunerasi itu. Bukan hanya Palembang. Setahu kami, tidak ada satu pun hakim adhoc PHI yang menerimanya, tukas Hermawan, hakim PHI Palembang kepada hukumonline melalui telepon, Jumat (11/7).

 

Dihubungi terpisah, juru bicara MA, Djoko Sarwoko membenarkan perihal tidak diberikannya remunerasi bagi hakim adhoc. Hakim adhoc kan tidak dikenal dalam UU Kepegawaian atau UU Kekuasaan Kehakiman. tutur Djoko yang juga hakim agung itu, Senin (14/7). 

 

Tidak diberikannya remunerasi kepada hakim adhoc dikhawatirkan menambah masalah baru. Seperti diketahui, masalah 'kesejahteraan' bagi  hakim Adhoc, khususnya hakim PHI adalah masalah klasik. Dari mulai minimnya hingga kerap terlambatnya pembayaran uang kehormatan.

 

Masalah baru yang muncul ketika remunerasi tidak dibayarkan adalah kekhawatiran jatuhnya kredibilitas dan eksistensi hakim adhoc. Karena kami juga hakim yang melekat di peradilan umum, maka seharusnya kami juga berhak mendapatkan tunjangan ini. Kalau kami tidak dapat, jangan-jangan kami tidak dianggap sebagai hakim, keluh Hermawan.

 

Pendapat senada diungkapkan Hendra. Menurutnya, mengacu pada Perpres 19/2008, semua hakim, sepanjang berada dalam ruang lingkup kekuasaan MA, berhak mendapatkan remunerasi. Tidak ada pembedaan hakim karir atau adhoc.

 

Faktanya, sekali lagi, hakim adhoc cuma bisa gigit jari atas remunerasi itu. Mungkin kami ini tidak dianggap sebagai hakim, Hendra menyimpulkan.

 

Standar ganda

Bagi Hendra dan Hermawan, tidak dibayarkannya remunerasi kepada hakim adhoc dianggap sebagai sebuah 'diskriminasi'. Kami ingin jelas saja. Apakah kami ini hakim yang diakui MA atau tidak? Kalau iya, harusnya tidak ada diskriminasi kepada hakim adhoc lagi, gugat Hermawan.

 

Lebih jauh Hermawan menilai MA telah menerapkan standar ganda kepada hakim adhoc. Sama halnya dengan hakim karir, kami juga diikat oleh Pedoman Perilaku Hakim. Artinya di satu sisi kewajiban kami disamakan dengan hakim lain, tapi haknya dibedakan.

 

Demikian pula dengan Hendra. Kalau kita dianggap bukan hakim, kenapa kita selalu diberi perkara-perkara korupsi terus setiap hari untuk diadili?

 

Mengenai Pedoman Perilaku Hakim, kata Djoko Sarwoko, hakim adhoc memang harus terikat dan tunduk. Pedoman Perilaku Hakim itu adalah pengendalian operasionalnya. Sebenarnya, kalau ditanya hakim adhoc itu hakim atau bukan. Ya, dia hakim, tapi hakim adhoc.

 

Arsil, peneliti pada Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Indepedensi Peradilan (LeIP) senada dengan Djoko. Menurutnya, dalam beberapa hal, hakim adhoc tidak dapat disamakan dengan hakim karir.

 

Meski sama-sama terikat Pedoman Perilaku Hakim, ada beberapa kewenangan hakim karir yang tidak dimiliki hakim adhoc. Contohnya, hakim adhoc tidak bisa menjabat sebagai ketua atau wakil ketua pengadilan, ujar Arsil yang bersama-sama dengan LeIP ikut membantu MA menyusun Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct).

 

Perbaikan Uang Kehormatan

Terlepas dari itu, Arsil menyoroti jomplangnya kesenjangan kesejahteraan antara hakim adhoc PHI dengan hakim adhoc Tipikor maupun hakim karir lainnya. Berdasarkan Perpres No. 96 Tahun 2006, hakim adhoc PHI hanya beroleh uang kehormatan sebesar Rp3,75 juta tiap bulannya. Tidak ada lagi tunjangan maupun fasilitas lainnya. Negara memang kejam memperlakukan aparaturnya. Termasuk juga aparatur hukum.

 

Bandingkan dengan hakim adhoc Tipikor pada PN yang mendapat uang kehormatan sebesar Rp10 juta per bulannya. Itu pun masih ditambah dengan fasilitas perumahan, transportasi dan keamanan. 

 

Sebagai solusi, Arsil berharap agar pemerintah segera merevisi ketentuan uang kehormatan bagi hakim adhoc PHI. Solusinya bukan dengan memberikan remunerasi. Tapi Perpres tentang tunjangan kehormatan hakim adhoc itu harus diperbaiki.

 

MA juga bukannya menutup mata atas 'ketidakadilan' yang dirasakan hakim PHI. Sementara ini, tunjangan hakim Tipikor memang lebih besar dari hakim PHI. Padahal, kalau volume pekerjaan, hakim PHI lebih banyak. Jadi, saya kira kalau mau dinaikkan, PHI akan diprioritaskan. Setelah itu baru Tipikor, tandas Djoko Sarwoko.

Kita cuma bisa menyaksikan mereka membicarakan dan menerima remunerasi, ungkap I Made Hendra, hakim adhoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), lewat telepon, Sabtu (12/7).

 

Kata 'kita' dalam pernyataan Hendra merujuk pada hakim Adhoc Pengadilan Tipikor. Sedangkan kata 'mereka' menunjuk pada hakim karir Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.

 

Seperti diketahui, beberapa waktu lalu, hakim dan pegawai pengadilan beroleh kabar gembira. Tunjangan kinerja khusus atau remunerasi yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 19 Tahun 2008 akhirnya dapat dicairkan. Perpres itu berjudul Tunjangan Khusus Kinerja dan Hakim Pegawai Negeri di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan Yang Berada di Bawahnya.

Tags: