Calon Incumbent Tak Harus Mundur Permanen
Putusan MK:

Calon Incumbent Tak Harus Mundur Permanen

Bila pimpinan DPRD yang mau ikut pilkada hanya diwajibkan non aktif dari jabatannya, maka kepala daerah yang jadi incumbent seharusnya diperlakukan sama. Tak perlu harus mundur secara permanen.

Ali
Bacaan 2 Menit
Calon <i>Incumbent</i> Tak Harus Mundur Permanen
Hukumonline

 

Selain ‘membatalkan' Pasal 58 huruf q UU Pemda, MK juga menyatakan penjelasan pasal tersebut tak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Penjelasan Pasal 58 huruf q itu menyebutkan ‘Pengunduran diri gubernur dan wakil gubernur dibuktikan dengan menyerahkan surat pernyataan pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali disertai dengan surat persetujuan Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden'. Artinya, bila ada incumbent yang sudah mengeluarkan surat pengunduran diri, maka surat tersebut tak bisa dicabut kembali.

 

Sjachroedin juga menggugat ketentuan ini. Pasalnya, bila ada calon incumbent yang sudah mengeluarkan surat pengunduran diri, maka tak ada lagi kesempatan bagi calon incumbent untuk berubah pikiran.  Penjelasan tersebut semakin menunjukan adanya pengaturan yang tidak proporsional yang menimbulkan ketidakpastian hukum, jelas Natabaya. Pada dasarnya, MK memang menyadari pentingnya syarat incumbent harus non aktif selama pilkada untuk menghindari konflik kepentingan, tapi pengaturannya harus proporsional.

 

Kemungkinan adanya pengaruh konflik kepentingan adanya pengaruh konflik kepentingan (conflict of interest) bagi calon yang sedang menjabat (incumbent) harus dihindari dalam pemilihan kepala daerah, tetapi hal itu tidak harus mengundurkan diri secara tetap dan tidak dapat ditarik kembali sehingga mengakibatkan berkurangnya masa jabatan yang merupakan hak konstitusionalnya, tutur Natabaya menjelaskan ketidakproporsionalan pengaturan tersebut.   

 

Ahli dari pemohon, Taufiqurrohman Syahuri yang hadir dalam sidang pembacaan putusan menyambut baik putusan MK ini. Mantan Staf Ahli MK ini menyarankan agar Sjachroedin mencabut kembali surat pengunduran diri yang sudah terlanjur dia ajukan. Pasal yang menyatakan tak boleh mencabut surat pengunduran diri kan telah ‘mati', ujar Taufiqurrohman. Kemudian, setelah pencabutan tersebut, keputusan akan diserahkan kepada Presiden apakah akan men-non aktif-kan atau memberhentikan sementara Sjachroedin atau tidak.

 

Kuasa hukum Sjachroedin, Susi Tur Andayani mengaku belum mengetahui langkah apa yang akan diambil kliennya pasca putusan ini. Susi malah menyerahkan masalah ini kepada pemerintah pusat. Ini tergantung sama pemerintah, katanya.

 

Pasal Kadaluarsa

Dalam putusan ini, MK tak mengabulkan seluruh petitum pemohon. MK menolak permintaan pemohon dalam pengujian Pasal 233 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004, UU Pemda yang lama. Natabaya mengatakan Pasal 233 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 itu telah mengalami perubahan dengan berlakunya Pasal 233 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2008. Mahkamah berpendapat bahwa permohonan pemohon tidak relevan untuk dipertimbangkan karena Pasal 233 ayat (2) UU 32/2004 sudah tidak berlaku lagi, sehingga tidak mungkin untuk dijadikan objek permohonan, jelas Natabaya. 

 

Putusan ini, juga menjadi ralat dari berita hukumonline yang lalu. Sebelumnya, hukumonline menyebutkan salah satu pasal yang diuji adalah Pasal 233 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2008. Ternyata dalam persidangan, yang dimohonkan uji oleh pemohon adalah Pasal 233 ayat (2) UU 32/2004, UU Pemda yang lawas.

 

Ketika menyampaikan keterangan dalam persidangan, ahli Taufiqurrohman tampaknya juga sempat kecele. Dalam sidang yang mengagendakan mendengar keterangan ahli, Taufiqurrohman secara gamblang menerangkan Pasal 233 ayat (2) UU 12/2008 yang dinilainya cacat hukum. Ternyata, yang diuji bukan pasal tersebut. Ia pun menyadari bila akhirnya MK menolak pengujian pasal ini. Ini kesalahan pemohon. Sudah diubah kok masih dikutip, pungkasnya.

 

 

Usaha Gubernur Lampung Sjachroedin ZP, calon incumbent pilkada Lampung, memperjuangkan hak konstitusionalnya agar diperlakukan sama dengan pejabat negara membuahkan hasil. Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Pasal 58 huruf q UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah yang mensyaratkan calon incumbent harus mengundurkan diri dari jabatannya bila ingin ikut lagi dalam pemilihan kepala daerah bertentangan dengan konstitusi, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

 

Hakim Konstitusi HAS Natabaya menjelaskan kewajiban calon incumbent dalam pilkada untuk mundur secara permanen bertentangan dengan prinsip perlakuan yang sama (equal treatment). Calon yang sedang menjabat (incumbent) seharusnya cukup diberhentikan sementara sejak pendaftaran sampai dengan ditetapkannya calon kepala daerah terpilih oleh KPU sebagaimana ketentuan yang diberlakukan bagi pimpinan maupun anggota DPRD, ucap Natabaya membaca pertimbangan hukum mahkamah di ruang sidang MK, Senin (4/8).    

 

Natabaya menyebut Pasal 59 ayat (5) huruf h dan i UU Pemda. Kedua pasal tersebut tak mewajibkan pimpinan dan anggota DPRD untuk mundur dari jabatannya bila mau mengikuti pilkada. Untuk pimpinan DPRD, Pasal 59 ayat (5) huruf h hanya mensyaratkan surat pernyataan tidak aktif (mundur sementara) dari jabatannya.

 

Sedangkan ketentuan untuk anggota DPR, DPD, maupun DPRD yang mau mencalonkan diri dalam pilkada lebih ringan lagi. Pasal 59 ayat (5) huruf i hanya mensyaratkan surat pemberitahuan kepada pimpinan masing-masing lembaga bagi anggota DPR, DPD, dan DPRD yang mau ikut serta dalam pilkada.

Tags: