Tinjauan Hukum Bancassurance di Indonesia
Ricardo Simanjuntak, SH LLM(*)

Tinjauan Hukum Bancassurance di Indonesia

Langkah para pelaku usaha asuransi untuk secara kreatif dan inovatif menyiasati pengembangan potensi pasar asuransi yang diyakini begitu besar di Indonesia, ternyata tidak hanya dilakukan dengan mengembangkan jenis serta kekhususan produk asuransi.

Bacaan 2 Menit
Tinjauan Hukum Bancassurance di Indonesia
Hukumonline

Sebenarnya, disadari atau tidak, selama ini bank-bank secara tidak langsung telah lama menjadi alat pengembangan pasar produk asuransi. Misalnya, dengan adanya kebutuhan untuk mengasuransikan potensi resiko pelunasan kredit yang telah  disalurkan kepada debiturnya, kebutuhan untuk mengasuransikan  jaminan-jaminan (collateral) yang menjadi jaminan pelunasan utang debitur bank tersebut. Termasuk juga asuransi untuk menjamin resiko kehilangan jiwa, dan bentuk-bentuk produk asuransi lain yang dibutuhkan oleh bank untuk perlindungan kepentingannya dari potensi kerugian.

Potensi pasar inilah yang menjadi alasan fundamental bagi perusahaan asuransi dalam mengembangkan kerjasama yang saling menguntungkan  dengan pihak bank yang lebih dikenal dengan bancasurance. Melalui kerjasama bancassurance ini, pelaku asuransi mengharapkan bank dapat menggali potensi pasar asuransi tersebut tidak saja melalui kebutuhan perlindungan terhadap kredit ataupun investasi yang disalurkannya, akan tetapi juga diharapkan akan berkembang kepada seluruh kebutuhan dan aktivitas hidup para nasabah bank  terlepas dari akibat perikatannya dengan bank itu sendiri.

Atau dengan kalimat lain, melalui hubungan ini, perusahaan asuransi telah membangun secara formal sebuah channel  baru sebagai penunjang usaha asuransi dalam mendistribusikan (channel distribution) dagangannya ke pembeli.

Sementara itu, dari sisi bank yang memang memiliki kedekatan termasuk juga kelekatan dengan para nasabahnya, bancasurance ini, dari sisi pertimbangan komersial juga sangat baik karena akan menjanjikan alternatif tambahan keuntungan yang cukup signifikan. Apalagi, keuntungan yang diperoleh bank dari bunga pinjaman yang cenderung sudah semakin menurun belakangan ini. 

Oleh karena itulah konsolidasi kekuatan antara perusahaan asuransi dengan pihak bank  semakin berkembang di Indonesia. Ini tidak saja terbatas hanya pada bank dan perusahaan asuransi yang berada dalam satu grup yang sama, akan tetapi juga yang berbeda kepemilikan. 

Dalam prakteknya, langkah untuk mengikutsertakan bank dalam pemasaran produk asuransi ini dapat dilakukan dengan cara membuka counter khusus perusahaan asuransi mitra di bank tersebut termasuk juga kantor-kantor cabangnya, atau dapat juga  dilakukan dengan mendidik ataupun mengkombinasikan kemampuan serta tugas penjualan produk tersebut pada staf bank yang  berhubungan langsung dengan para nasabah. Atau, dapat juga dilakukan dengan menghadirkan tenaga perencana keuangan yang akan memberikan nasehat-nasehat perencanaan keuangan serta paket perlindungan resiko melalui produk asuransi yang dijualnya.

Kontrak agensi, kontrak asuransi dalam mekanisme bancassurance

Dari sisi hukum, Bancassurance merupakan aktivitas hukum yang timbul dari perjanjian antara perusahaan asuransi dengan pihak bank  dimana bank sepakat untuk bertindak sebagai agen penjualan produk-produk asuransi di dalam wilayah jangkauan pasar yang dimiliki oleh bank tersebut. Dari hasil penjualan produk asuransi tersebut, bank akan mendapatkan pembayaran dalam bentuk fee ataupun komisi dalam jumlah yang telah disepakati.

Dari  pengertian di atas, terlihat bahwa hubungan hukum yang terbangun antara pihak perusahaan asuransi dengan pihak bank  lebih pada hubungan keagenan dimana pihak bank bertindak sebagai  agen (sales representative) yang menjual produk-produk asuransi mitra berkontraknya, di wilayah aktivitasnya sebagai bank. 

Sebagai agen, secara umum posisi bank akan lebih berhubungan dengan kepentingan pihak perusahaan asuransi yang mempekerjakannya untuk menjual produk asuransi, dibandingkan kepentingan para nasabah bank yang dengan skema bancassurance ini akan menjadi pembeli potensial terhadap produk asuransi yang dijualnya.

Dengan kata lain, walaupun pada awalnya hubungan hukum antara bank dan nasabahnya telah eksis berdasarkan kontrak yang timbul dari penggunaan produk perbankan seperti yang diatur  dalam Pasal 6-9 UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan, akan tetapi   dalam skema bancassurance ini, konsekuensi perikatan yang timbul dari penjanjian asuransi yang dijual bank terhadap nasabahnya tersebut bukanlah menimbulkan perikatan  antara si nasabah dengan bank tersebut. Tetapi, perikatan yang timbul tetap antara si nasabah (yang berubah menjadi tertanggung dalam kontrak asuransi) dengan perusahaan asuransi penerbit.

Jadi sebagai agen penjualan, secara hukum bank tidak menggantikan posisi perusahaan  asuransi sebagai pihak  penanggung  dalam bancassurance.

Akan tetapi, walaupun secara teori batasan-batasan hak dan tanggungjawab masing-masing pihak yang terlibat dalam bancassurance cukup jelas, tetap saja permasalahan-permasalahan hukum dapat muncul dalam pelaksanaannya di lapangan. Kesalahan itu bisa saja datang dari pihak perusahaan asuransi.

Contohnya, jika terjadi keterlambatan pembayaran klaim asuransi yang sebenarnya secara hukum telah jatuh tempo dan dapat ditagih oleh pihak penanggung, secara langsung ataupun tidak langsung akan menimbulkan kerepotan tersendiri bagi pihak bank. Sebagai pihak yang juga mempertaruhkan reputasi banknya ketika menawarkan produk asuransi tersebut kepada para nasabahnya, ketidakmampuan atau tindakan ingkar janji dari perusahaan asuransi untuk melunasi klaim asuransi akan menimbulkan citra buruk tidak saja pada perusahaan asuransi, tetapi juga akan berimbas pada reputasi bank tersebut.

Konsekuensinya,  peristiwa ini tidak saja akan menimbulkan persoalan hukum antara tertanggung dengan perusahaan asuransi yang tidak mampu melunasi pembayaran klaim tersebut, akan tetapi  juga berpotensi  menimbulkan persoalan hukum antara bank dengan perusahaan asuransi terhadap kerugian yang dialami oleh bank atas   hilang atau menurunnya kepercayaan dari tertanggung yang dikecewakan.

Belum lagi, bila tertanggung tersebut secara gelap mata melakukan gugatan perdata dan mendudukkan bank tersebut sebagai tergugat dua ataupun turut tergugat atas wanprestasi terhadap pemenuhan klaim asuransi yang dijual melalui bank tersebut.

Sebaliknya, bila alasan tidak dibayarnya klaim asuransi  disebabkan perusahaan asuransi dapat membuktikan bahwa tertanggung telah melanggar azas the utmost good faith, misalnya dengan menyembunyikan penyakit yang sebenarnya ketika polis asuransi ditandatangani. Atau, misalnya calon tertanggung  sebenarnya tidak mempunyai insurable interest kepada obyek yang akan diasuransikannya. Padahal, kesalahan tersebut terjadi karena bank tersebutlah yang justru tidak melakukan pengecekan keadaan dari tertanggung sebelum perjanjian asuransi ditandatangani, maka hal ini akan pula dapat menimbulkan persoalan tersendiri antara Perusahaan asuransi dan bank, selain dari perusahaan asuransi dan tertanggung.

Saling kontrol antara perusahaan asuransi dengan bank dalam kerjasama bancassurance inilah bagian yang cukup sulit untuk dilaksanakan secara baik. Ini dikarenakan , walaupun sama-sama lembaga keuangan, kedua lembaga ini memiliki jiwa aktivitas yang sangat berbeda. Bank yang dimasuki oleh produk asuransi akan memberikan perhatian pertama kepada stabilitas pasar dari produk-produk perbankannya, sehingga bank dapat saja hanya sekedar menjalankan upaya penjualan produk tanpa memahami prinsip-prinsip asuransi yang berlaku.

Sebaliknya, perusahaan asuransi sendiri sebagai pemilik produk yang akan dijual dan yang akan tetap bertanggungjawab terhadap resiko pertanggungan  , akan sangat menaruh perhatian dalam aktivitas kontrak asuransi melalui pemasaran bank tersebut. Hubungan hukum keagenan yang mendasari bancassurance secara umum lebih mendudukkan kedua belah pihak sebagai mitra yang sejajar yang membuat sulit bagi perusahaan asuransi untuk terus menerus memberikan instruksi kepada pihak bank.

Keadaan ini membuat beberapa pihak menganggap bahwa kordinasi pelaksanaan bancassurance ini sering lebih mudah dikendalikan dan mencapai sasarannya bila perusahaan asuransi dan bank tersebut datang dari suatu grup atau induk usaha yang sama. Pasalnya, dalam hubungan sister company  ataupun subsidiary, bank dapat lebih koperatif untuk memaksimalkan sasaran-sasaran  pasar dengan tetap berpegang pada kualitas dan legalitas produk dan pelayanan.

Tentu saja bancassurance tidak selalu dilakukan antara bank dan perusahaan asuransi dalam satu dalam hubungan darah atau grup. Karena kesadaran dan keyakinan bahwa alternatif penghasilan tersebut akan dapat membantu stabilitas laba bank akan membuat bank tersebut dapat juga mengkomodir semangat dari perusahaan asuransi untuk mengejar pasar asuransi di wilayah aktivitas bank. Oleh karena itu, pemahaman atas produk dan korelasinya dengan produk perbankan milik bank, akan menjadi dasar yang cukup penting bagi bank untuk membangun komitmen pasar yang jelas.

Untuk itu, selain pemberian training berkesinambungan yang akan dilakukan kepada orang-orang yang menjadi garda depan penjualan produk asuransi tersebut di lingkungan bank mitra, antara perusahaan asuransi dengan bank haruslah dibuat perjanjian bancassurance dalam mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak. Isi perjanjian tersebut juga harus mencakup langkah-langkah pelaksanaan kewajiban sebagai sales representative dari perusahaan asuransi dalam mengenali dan memilih calon-calon tertanggung.

Bancassurance dan Undang-undang Perbankan

Peran dari dunia perbankan untuk turut serta dalam memasarkan produk asuransi bukanlah merupakan  praktek baru. Bermula dari kesuksesan penerapan  bancassurance di Prancis, kolaborasi komersial antara perusahaan asuransi dengan bank dalam menjual produk asuransi ini menjadi sangat berkembang di Eropa dan juga di banyak negara di Asia. Artinya, berdasarkan alasan komersial, bancassurance sangat membantu perusahaan asuransi dan bank dalam meningkatkan penghasilannya masing-masing.

Sama seperti praktek sebelumnya di beberapa negara, keterlibatan bank dalam memasarkan produk non perbankan ini tidak diperbolehkan, karena produk pertanggungan memang telah dialokasikan sebagai produk usaha perasuransian. Akan tetapi, ketika masyarakat internasional semakin menyadari jangkauan pasar yang begitu kuat setelah menggabungkan kekuatan pasar asuransi dan bank, maka ramai-ramailah perusahaan asuransi mencari mitra bank, termasuk juga melakukan  akusisi pada bank-bank yang akan dibuat menjadi saluran distribusi produk bancassurance tersebut.

Menyadari dampak positif dari bancassurance tersebut, banyak negara yang kemudian mencabut larangan tersebut diatas. Contohnya di Amerika  Serikat, telah diberlakukan Billey Act of 1999  dan India yang memberlakuan  IRDA Bill  tahun 2000 yang telah memperbolehkan kolaborasi pemasaran antara bank dan perusahaan asuransi ini.

Memang, di Indonesia sampai saat ini keberadaan bancassurance masih belum diatur secara hukum. Dalam pasal 10 (b) Undang-undang Perbankan memang dengan tegas diatur bahwa bank tidak diperbolehkan  melakukan usaha perasuransian. Akan tetapi, dalam bancassurance pihak bank bukanlah sebagai pihak yang memproduksi jasa pertanggungan tersebut dan kemudian menjualnya kepada para konsumen atau nasabahnya, melainkan hanya sebagai alat ataupun agen yang merupakan perpanjangan tangan dari perusahaan asuransi kepada calon tertanggung.

Mengenai konsekuensi produk yang dijual tersebut, bukanlah merupakan kewajiban dari bank untuk memenuhinya, akan tetapi perusahaan asuransi yang menjadi mitra bank dalam perjanjian bancassurance tersebut.

Sebenarnya, aktivitas untuk mengageni produk untuk dijual kepada nasabah bank, bukan hanya terlihat dalam bancassurance, akan tetapi juga dalam penggunaan bank sebagai alat penjualan produk-produk yang dibungkus bersamaan dengan peluncuran produk-produk perbankan. Misalnya reksa dana, dan produk-produk kombinasi lainnya. Oleh karena itu, langkah Bank  untuk menjadi channel distribution produk asuransi tersebut seharusnya tidak mendapat larangan karena secara komersial mampu meningkatkan kinerja dan peningkatan pencapaian keuntungan dari kedua pelaku lembaga keuangan tersebut.

Kendatipun demikian, walaupun secara komersial keberadaan bancassurance tersebut memang dibutuhkan dan  tidak dilarang, sebaiknya peraturan yang mengatur tatacara bancassurance tersebut dalam UU Pokok Perbankan dan UU Asuransi haruslah merupakan agenda yang mutlak untuk segera diwujudkan dari sekarang.

Dalam posisinya sebagai agen dari produk asuransi, tentunya bank-bank yang akan menjadi mitra pelaksana bancassurance tersebut haruslah telah terlebih dahulu mendapatkan kualifikasi kelayakan untuk bertindak sebagai agen. Hal tersebut sangat dibuthkan untuk menjaga kewajiban dari seluruh pihak yang terlibat dalam bancassurance ini dapat secara jelas dan tegas terlindungi.

Akan tetapi ternyata juga telah berkembang pada upaya mengawinkan (mengkonsolidasikan) potensi perusahaan asuransi dengan pelaku pasar keuangan bank yang diyakini memiliki potensi pasar yang sangat kuat bagi produk asuransi.

Sebagai lembaga keuangan, kehadiran bank sebenarnya sangat lekat dengan kebutuhan hidup dan aktivitas bisnis manusia. Aktivitas bank mulai dari menyerap dana masyarakat (dalam bentuk simpanan atau pun deposito dan menjadi bagian dari media  pembayaran dalam aktivitas manusia) sampai dengan menyalurkan kembali dana tersebut kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman dan lain-lain membuat bank menjadi cukup lekat dan saling terkait dengan para nasabahnya. 

Fakta kebutuhan dan kelekatan  nasabah  dengan bank inilah yang semakin dilirik serta diformalisasikan oleh pelaku-pelaku asuransi dalam memaksimalkan penetrasi pasar produk-produk asuransinya melalui pasar bank.

Tags: