Masalah Kesetaraan Gender Berakar Pada Budaya
Berita

Masalah Kesetaraan Gender Berakar Pada Budaya

Berbagai peraturan perundang-undangan yang menjamin perlindungan bagi perempuan sudah kita miliki. Namun, hal itu tidak otomatis menjamin kesetaraan gender sudah terwujud.

CR-7
Bacaan 2 Menit
Masalah Kesetaraan Gender Berakar Pada Budaya
Hukumonline

Seandainya Marsinah masih hidup pada masa sekarang, sudah ada Komnas Perempuan dan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, saya yakin putusannya akan lebih adil. Seuntai kalimat yang menghadirkan kenangan pada sosok aktivis pejuang hak buruh itu muncul dari Sution Usman Aji, dalam peluncuran dan diskusi publik buku referensi Penanganan Kasus-Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan di Lingkungan Peradilan Umum, Jumat (20/11).

 

Sution yang pernah menjadi jaksa dalam kasus Marsinah, menyayangkan akhir dari kasus Marsinah, yang berujung pada putusan bebas terhadap para pelaku di tingkat Mahkamah Agung. Padahal, di Pengadilan Negeri, Yudi Susanto, majikan Marsinah yang diyakini sebagai pelaku sempat diputus 17 tahun penjara, sementara pelaku lainnya divonis hingga 12 tahun penjara.

 

Sebagai Direktur Upaya Hukum, Eksekusi, dan Eksaminasi Kejaksaan Agung pada saat ini, Sution menyoroti, bahwa penegak hukum, termasuk kejaksaan memiliki peran penting dalam upaya penegakan hukum kasus kekerasan terhadap perempuan.

 

Sution mengungkapkan bahwa sebenarnya sudah banyak undang-undang yang mengatur hak atas perempuan. Namun, tidak semua penegak hukum memahami dan memiliki perspektif yang sama dalam upaya penanganan kekerasan terhadap perempuan. “Belum ada kesepahaman antara penyidik, penuntut umum, hingga hakim dalam menerapkan metode pembuktian,” ujarnya.

 

Sementara Machmud Rahimi, Panitera Muda Pidana Mahkakmah Agung, memiliki pandangan khusus terhadap tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Menurut Machmud, KDRT merupakan tindak pidana yang memiliki kekhasan karena menimpa kelompok rentan, tersubordinasi, dan lemah yang harus dilindungi.

 

“Kasus KDRT terjadi akibat tidak seimbangnya relasi antara korban dengan pelaku dimana suami atau laki-laki memiliki relasi kekuasaan yang kodratnya mengaplikasikan perilaku mengontrol, mendominasi, dan upaya lainnya untk mempertahankan otoritas di dalam dirinya, lingkunganya, rumah tangganya,” urai Machmud.

Tags: