Regulasi Perjanjian Anjak Piutang Harus Diperkuat
Berita

Regulasi Perjanjian Anjak Piutang Harus Diperkuat

Advokat Fauzie Yusuf Hasibuan menyarankan agar membentuk Undang-Undang mengenai perjanjian anjak piutang yang diharmonisasi dengan prinsip hukum kontrak internasional. Selama ini ada beberapa pihak yang berlindung di balik rezim 'kebebasan berkontrak'.

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
Regulasi Perjanjian Anjak Piutang Harus Diperkuat
Hukumonline

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dinilai belum memberi perhatian khusus terhadap praktek perjanjian anjak piutang di Indonesia. Padahal, lembaga anjak piutang sangat berguna untuk masyarakat lapisan menengah ke bawah. Anjak piutang, biasa disebut factoring, bisa membantu orang-orang yang tidak punya uang tunai saat bertransaksi.

 

Regulasi anjak piutang inilah yang disoroti Fauzie Yusuf Hasibuan dalam disertasinya yang bertajuk 'Harmonisasi Prinsip UNIDROIT ke dalam Sistem Hukum Indonesia untuk Mewujudkan Keadilan Berkontrak dalam Kegiatan Anjak Piutang'. Fauzi, pria kelahiran Medan 3 Mei 1954, sehari-hari menjabat sebagai Ketua Komisi Pendidikan Profesi Advokat Indonesia (KP2AI) Peradi. Ia mempertahankan disertasi doktor dalam bidang ilmu hukum dengan mengangkat tema tersebut. 

 

Anjak piutang atau factoring adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk pembelian dan/atau pengalihan serta pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek suatu perusahaan atas transaksi perdagangan dalam atau luar negeri. Intinya, adalah adanya pengalihan piutang salah satu pihak ke pihak lain.  

 

Fauzie berpendapat selama ini pengaturan anjak piutang masih terpaku pada asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Kontrak anjak piutang dianggap sah bila sudah memenuhi persyaratan Pasal 1320 KUH Perdata.

 

Masalahnya, transaksi yang menggunakan anjak piutang dirasa belum memberikan keadilan jika semata-mata didasarkan pada rezim kebebasan berkontrak. “Dalam praktek, kontrak yang dilaksanakan berdasarkan asas kebebasan berkontrak ternyata belum memberikan keadilan kepada para pihak, sehingga berakibat sering menimbulkan masalah dalam pelaksanaan,” ujarnya dalam sidang promosi doktor ilmu hukum di Universitas Jayabaya, Jakarta Kamis (17/12). Ia menilai posisi antara perusahaan anjak piutang (factor) tidak setara dengan posisi pengguna jasa anjak piutang (clien).

 

Fauzie mengatakan, dalam kegiatan anjak piutang, tingkat kepercayaan factor terhadap clien sangat rendah. Namun, karena posisi factor yang kuat maka dalam kontrak anjak piutang banyak dituangkan klausul-klausul yang merupakan perwujudan kehendak factor guna memberikan perlindungan kepada factor dari resiko kerugian usaha. “Bila seperti ini maka kontrak anjak piutang tidak memberi rasa keadilan yang dicita-citakan oleh hukum,” jelasnya.

Tags:

Berita Terkait