Kepekaan Hakim Menerapkan PK
Resensi

Kepekaan Hakim Menerapkan PK

Penulis memandang Mahkamah Agung telah terjebak ke dalam sejumlah peradilan sesat. Buku ini mencoba membuat argumentasi.

Mys
Bacaan 2 Menit
Kepekaan Hakim menerapkan PK, Foto: Sgp
Kepekaan Hakim menerapkan PK, Foto: Sgp

Dari 286 pasal yang terdapat pada KUHAP, bisa jadi rumusan tentang Peninjauan Kembali (PK) yang paling banyak mengundang perdebatan. Hingga kini, beda pendapat tentang pasal-pasal herziening itu tak lekang oleh waktu. Malah, lingkup perdebatannya terus meluas. Bukan semata siapa yang berhak mengajukan PK, tetapi juga kapan saatnya PK boleh diajukan.

 

Tidak mengherankan, literatur hukum pidana banyak menyinggung PK. Setahun sebelum KUHAP berlaku, K. Wantjik Saleh malah sudah menulis buku “Peninjauan Kembali Putusan yang Telah memperoleh Kekuatan Hukum yang Tetap” (Sumur Bandung, 1980). ‘Buku wajib’ KUHAP yang ditulis mantan hakim agung M. Yahya Harahap juga memberikan porsi besar membahas upaya hukum luar biasa itu. Ketika membacakan pidato pengukuhan sebagai Guru Besar di Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Manado 8 November 2008, advokat senior O.C. Kaligis mengaitkan upaya hukum ini dengan miscarriage of justice yang terjadi di Indonesia selama ini. Ini menunjukkan perhatian yang begitu besar dari para ahli hukum di Tanah Air.

 

Para hakim yang duduk Mahkamah Agung (MA), sebagai pelaku kekuasaan kehakiman dan benteng terakhir peradilan, pun tak sepenuhnya sepaham sependirian memandang PK. Dalam setahun terakhir saja ada dua putusan yang mengundang perdebatan mengenai PK. Pertama, pengajuan PK oleh pengacara tanpa dihadiri kliennya. Kedua, boleh tidaknya mengajukan PK langsung setelah putusan pengadilan tingkat pertama berkekuatan hukum tetap. Dengan kata lain, bolehkah mengajukan PK tanpa terlebih dahulu memanfaatkan upaya hukum banding dan kasasi.

 

Ironisnya, menurut penulis buku ini, MA telah terjebak dalam peradilan sesat. Hakim yang mengadili perkara terjebak oleh sesat fakta, sesat hukum, dan akibatnya sesat putusan. Dalam sejarah peradilan di Indonesia pasca kemerdekaan, peradilan sesat umumnya terjadi karena bahan mentah yang diperoleh penyidik bukan kebenaran sejati, niet materiele waarheid. Lalu, jaksa dan hakim menjadikan bahan itu untuk menghukum orang. Kasus yang paling umum dijadikan rujukan adalah pekara Sengkon dan Karta (hal. 132-133).

 

Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana

Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktik dan Peradilan Sesat

 

Penulis: Drs. H. Adami Chazawi, SH.

Kata Pengantar: Prof. Dr. O.C. Kaligis, SH.

Penerbit: Sinar Grafika

Tahun: Cet-1, Februari 2010

Halaman: xvi + 234

 

 

Peradilan sesat bisa saja terjadi karena hakim tak terlalu memahami esensi dasar PK. Menurut penulis, pembentukan PK semata-mta ditujukan untuk kepentingan terpidana, bukan untuk kepentingan negara. Upaya hukum PK berpijak pada dasar bahwa negara telah salah memidana warga yang tidak berdosa yang tidak dapat lagi diperbaiki lewat upaya hukum biasa (hal. 8). Dalam konteks ini, penulis menunjukkan sikap keperpihakan pada landasan historis dan filosofis kelahiran PK. Pandangan ini, seperti diketahui banyak ahli hukum, tertantang oleh putusan Mahkamah Agung yang menghukum Muchtar Pakpahan pada tingkat PK berdasarkan permohonan jaksa penuntut umum. Kasus Muchtar ini sering dianggap malapetaka dan sumber kerancuan pihak yang berhak mengajukan PK.

 

Penulis berusaha membeberkan landasan filosofis dan historis PK sejak zaman Belanda, yakni ketika herziening diatur dalam Reglement op de Strafvordering (1847) hingga proses pembahasan KUHAP. Secara historis kasus Sengkon dan Karta melahirkan Perma No. 1 Tahun 1980, yang akhirnya menjiwai rumusan norma pasal 263 ayat (1) KUHAP. Bagi penulis PK disediakan semata-mata untuk memulihkan keadilan dan hak-hak terpidana yang dirampas negara secara tidak sah. Bukan digunakan oleh negara untuk membongkar kasus yang telah diputus bebas dan lepas dari tuntutan hukum yang tetap (hal. 23).

Halaman Selanjutnya:
Tags: