Puluhan Partai Gurem “Gugat” UU Pemilu Terbaru
Berita

Puluhan Partai Gurem “Gugat” UU Pemilu Terbaru

Aturan verifikasi parpol dan parliamentary threshold bertentangan dengan UUD 1945

Oleh:
ASh
Bacaan 2 Menit
Puluhan Partai Gurem “Gugat” UU Pemilu Terbaru
Hukumonline

Partai Nasional Demokrat (NasDem) dan 22 partai kecil berbondong-bondong menyambangi  gedung Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mendaftarkan permohonan pengujian UU Pemilu baru. Padahal RUU ini baru disetujui untuk disahkan menjadi Undang-Undang dalam rapat paripurna DPR pada Kamis (12/4) pekan lalu. Partai NasDem hendak menguji Pasal 8 ayat (1), sedangkan 22 partai kecil menguji Pasal 8 dan Pasal 208 UU Pemilu 2012 yang belum bernomor ini.

Sebagian partai yang ikut mengajukan permohonan adalah PPN, Partai Merdeka, Partai Indonesia Sejahtera, Partai Pelopor, Partai Buruh, Partai Republika, PKNU, PKPB, Partai Demokrasi Pembaharuan, Partai Matahari Bangsa, Partai Bulan Bintang, Partai Kedaulatan Rakyat, Partai Patriot, PDS, PKPI, PPPI dan PPDI.

“Kami datang ke sini untuk mendaftarkan uji materiil Pasal 8 ayat (1) UU Pemilu yang mengatur verifikasi parpol,” ujar Ketua Badan Advokasi Hukum Partai NasDem, Effendy Syahputra di gedung MK Jakarta, Kamis (19/4).

Pasal 8 ayat (1) UU Pemilu itu menyebutkan parpol peserta pada Pemilu terakhir (2009) yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional ditetapkan sebagai partai peserta pemilu berikutnya. Sedangkan Pasal 208 menyebutkan parpol peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara minimal 3,5 persen dari jumlah suara sah secara nasional (parliamentary threshold) untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten.

Effendy menilai Pasal 8 ayat (1) itu sangat diskriminatif, tidak adil, dan bertentangan dengan UUD 1945 karena hanya partai nonparlemen yang diwajibkan untuk verifikasi parpol. Menurut dia, UU Pemilu yang baru disetujui itu hanya menguntungkan sembilan partai yang berada di Senayan. “Jadi mereka meloloskan diri mereka sendiri tanpa harus melewati tahapan verifikasi parpol. Ini  memberatkan partai baru yang ingin ikut Pemilu 2014.”

Dalam permohonan, NasDem tidak ingin membatalkan Pasal 8 ayat (1) UU Pemilu. Namun, mereka meminta MK mengubah redaksi pasal itu agar semua partai harus diverifikasi. “Kami beranggapan Pasal 8 ayat (1) ini tidak perlu dibatalkan, tetapi verifikasi parpol diberlakukan terhadap semua partai Pemilu biar fair play,” katanya.

Salah seorang kuasa hukum ke-22 partai kecil, Yusril Ihza Mahendra mengatakan berdasarkan Pasal 8, kalau mau ikut pemilu 2014 parpol di luar DPR harus diverifikasi Kemenkumham dan KPU. “Seharusnya aturan ini tidak diatur dalam UU Pemilu, tetapi diatur dalam UU Parpol. Sepertinya DPR tidak kapok memasukkan aturan ini dalam UU Pemilu, padahal aturan seperti ini dalam UU Parpol pernah dibatalkan MK,” katanya.

Menurut Yusril, dengan aturan verifikasi ini terkesan bahwa parpol yang ada di DPR mau menang sendiri. “Mereka yang duduk di DPR sebagai parpol yang punya wakil di sana dan ketika membuat undang-undang mereka mau seenaknya sendiri, orang lain dihalangi untuk ikut pemilu, ini tidak fair. Aturan ini potensial akan kembali dibatalkan MK karena bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” ujar Yusril optimis.

Menurut Yusril, aturan parliamentary threshold (PT) dalam UU Pemilu sebelumnya mirip dengan yang ada dalam Pasal 208. “Kami optimis dikabulkan, karena UU Pemilu 2008 sudah diterapkan dan sudah ada pengalaman empiris di lapangan akibat ketentuan parliamentary threshold ini pada Pemilu 2009,” katanya.

Dijelaskan Yusril, PT dalam UU Pemilu 2008 jauh berbeda dengan PT yang diatur pasal 208 UU Pemilu 2012. “Kalau dulu PT minimal 2,5 persen hanya untuk DPR dan calon DPRD bisa dilantik meski Parpolnya tidak mencapai PT 2,5 persen. Dengan UU Pemilu yang baru, PT minimal 3,5 persen dan ini diberlakukan untuk DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten. Jika tidak mencapai 3,5 persen secara nasional, parpol tidak bisa menempatkan wakilnya di DPR dan DPRD.”

Ia memperkirakan bisa saja perolehan suara parpol tidak bisa mencapai 3,5 persen untuk pembagian kursi di DPR. Tetapi, di kabupaten/kota Parpol yang bersangkutan memperoleh 70 persen suara. “Apakah wakil Parpol di DPRD itu tidak bisa dilantik? Lantas apa mereka mau digantikan sama orang yang sebetulnya tidak dipilih?”

Ia mengkritik perancang UU Pemilu ini yang dinilai tidak memahami komposisi penduduk Indonesia yang lebih besar berada di Pulau Jawa. “Kalau satu partai katakanlah terpilih hanya 2 orang anggota DPR, tetapi mereka memenuhi angka 3,5 persen karena kursi itu diperoleh dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat.”

Namun, lanjutnya, ada satu Parpol yang mendapat 30 kursi, tetapi dipilih dari provinsi-provinsi yang sedikit suaranya, tetapi tidak mencapai 3,5 persen, sehingga tidak bisa dilantik menjadi anggota DPR. “Ini model kedaulatan rakyat seperti apa yang kita pakai? Ini juga bisa menimbulkan kegoncangan politik dan kekacauan di daerah-daerah. Ini tidak diperhitungkan oleh para perancang angka Parliamentary Treshold.”

Karena itu, aturan ambang batas 3,5 persen ini bertentangan dengan asas kedaulatan rakyat yang diatur Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengatur prinsip keadilan, persamaan hak di depan hukum dan pemerintahan, sehingga potensial juga dibatalkan MK. “Kita anggap ini tidak adil dan bertentangan dengan asas kedaulatan rakyat,” tegas Mantan Menkumham ini.

Tags:

Berita Terkait