Kejaksaan Kritik Eksistensi Pengadilan Tipikor
Utama

Kejaksaan Kritik Eksistensi Pengadilan Tipikor

MA tawarkan dua solusi.

NOVRIEZA RAHMI
Bacaan 2 Menit
Jampidsus Andhi Nirwanto (paling kanan) dalam acara diskusi yang diselenggarakan ICW. Foto: Nov
Jampidsus Andhi Nirwanto (paling kanan) dalam acara diskusi yang diselenggarakan ICW. Foto: Nov

Eksistensi Pengadilan Tipikor di tingkat ibukota provinsi dinilai sangat menyulitkan jaksa dalam melakukan penuntutan. Pasalnya, jaksa harus mengeluarkan biaya ekstra besar ketika menghadirkan saksi, ahli, maupun terdakwa yang berada dalam rumah tahanan (Rutan) yang berada sangat jauh dari lokasi Pengadilan Tipikor.

Dalam sebuah diskusi, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejagung Andhi Nirwanto mengatakan, Pasal 3 UU No 46 Tahun 2009 mengamanatkan Pengadilan Tipikor berkedudukan di setiap ibukota Kabupaten/Kota. Namun, hingga kini, Pengadilan Tipikor baru beroperasi di ibukota provinsi karena berbagai alasan.

Selama periode 2010 sampai 2012, Kejagung dan Kejaksaan di daerah telah melimpahkan 4716 perkara ke Pengadilan Tipikor. Dalam menyidangkan ribuan perkara itu, para jaksa merasa azas peradilan cepat dan biaya ringan seringkali tidak terpenuhi karena Pengadilan Tipikor hanya berada di ibukota provinsi.

Letak geografis serta sarana dan prasarana Pengadilan Tipikor merupakan salah satu permasalahan yang dikritik Kejaksaan. Andhi mengungkapkan, permasalahan lainnya yang cukup mengemuka adalah mengenai kualitas hakim ad hoc dan masih banyak hakim karier Pengadilan Tipikor yang menangani perkara lain.

Keberadaan Pengadilan Tipikor di setiap ibukota provinsi tidak sebanding dengan jumlah Kejaksaan Tinggi (Kejati) yang hanya ada di 31 provinsi. Dua provinsi termuda, Sulawesi Barat dan Papua Barat belum memiliki Kejati. Bentuk wilayah kepulauan, seperti Maluku, Sulawesi Tenggara, Kepri, dan NTT juga cukup menyulitkan jaksa.

Menurut Andhi, jaksa di Kejaksaan Negeri sering mengalami kesulitan jika harus bersidang di ibukota provinsi, terlebih lagi menghadirkan saksi, ahli, dan terdakwa yang ditahan berjauhan dengan Pengadilan Tipikor. Dalam beberapa kasus, waktu, tenaga, dan biaya penanganan perkara tidak sebanding dengan nilai kerugian negara.

Kemudian, menumpuknya perkara di Pengadilan Tipikor, sering membuat pemeriksaan di persidangan dilakukan hingga larut malam. Di Jawa Tengah misalnya, ada 36 Kejari. Apabila masing-masing Kejari melimpahkan satu perkara perbulan, dengan dua majelis hakim dan ruang sidang terbatas, tentu membuat antrian yang panjang.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait