MK Batalkan UU Penetapan Perppu MK
Utama

MK Batalkan UU Penetapan Perppu MK

Putusan MK ini karena mengembalikan marwah MK dan tegakknya konstitusi.

AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
MK akhirnya mengabulkan permohonan uji materi UU No. 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua UU MK yang diajukan sejumlah advokat konstitusi dan dosen FH Universitas Jember. Dengan putusan ini, maka seluruh ketentuan yang mengatur pelibatan KY dalam pengajuan calon hakim konstitusi melalui panel ahli dan pengawasan hakim konstitusi melalui MKHK termasuk syarat hakim konstitusi batal.

“Mengabulkan permohon untuk seluruhnya dan menyatakan UU Penetapan Perppu MK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK sebagaimana telah diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011 berlaku kembali,” tutur Ketua Majelis MK, Hamdan Zoelva saat membacakan putusan bernomor 1-2/PUU-XII/2014 di ruang sidang utama MK, Kamis (13/2).

Para pemohon menganggap UU No. 4 Tahun 2014 bertentangan dengan UUD 1945. Sebab, UUD 1945 tak mengamanatkan pelibatan KY dalam pengajuan calon hakim konstitusi melalui panel ahli dan pengawasan hakim konstitusi. Penambahan syarat calon hakim konstitusi tidak menjadi anggota parpol dalam waktu tujuh tahun pun tidak dikenal dalam UUD 1945. Selain itu, syarat anggota tim panel ahli berpendidikan minimal magister pun dipersoalkan pemohon II.

Mahkamah menilai salah satu materi UU No. 4 Tahun 2014 mengatur proses pengangkatan hakim konstitusi, Sementara, Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 menyebut “MK mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh MA, DPR, dan Presiden.” Karena itu, pengajuan calon hakim konstitusi melalui Panel Ahli yang dibentuk oleh KY bersama perwakilan MA, DPR, dan Presiden dianggap telah nyata-nyata mereduksi kewenangan konstitusional ketiga lembaga tersebut.

Mahkamah mencontohkan jika pengajuan RUU termasuk RAPBN oleh Presiden harus melalui Panel Ahli yang dibentuk oleh lembaga negara lain juga pasti mereduksi kewenangan Presiden. Begitu pula, kewenangan KY dalam mengusulkan calon hakim agung jika harus melalui Panel Ahli yang dibentuk lembaga negara lain juga akan mereduksi kewenangan KY.

“Lain halnya, apabila lembaga negara yang bersangkutan membentuk panitia yang akan menyeleksi secara internal untuk melaksanakan kewenangan konstitusionalnya dalam mengajukan calon hakim konstitusi. Hal demikian tidak bertentangan dengan konstitusi karena tidak ada kewenangan konstitusional lembaga negara yang direduksi,” tutur Hakim Kontitusi Arief Hidayat saat membacakan pertimbangan putusan.   

Mahkamah mempertanyakan penggunaan kata “ahli” pada kata “panel” yakni keahlian dalam bidang apa sebenarnya yang diperlukan. Mahkamah berpendapat syarat keahlian pada panel ahli haruslah terukur secara rasional karena Hakim Konstitusi memiliki karakteristik khusus, yang dalam UUD 1945, disebutkan sebagai seorang negarawan.

Meski syarat “negarawan” sulit untuk ditentukan kriterianya secara pasti. Namun, hal itu haruslah dipahami betapa pembentuk UUD 1945 secara sadar mengidealkan diri seorang Hakim Konstitusi sekurang-kurangnya layak untuk diharapkan memiliki kepribadian dimaksud.

Terkait pelibatan KY dalam pembentukan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK), menurut Mahkamah checks and balances suatu mekanisme yang diterapkan untuk mengatur hubungan antara kekuasaan legislatif dan eksekutif. Namun, checks and balances tidak ditujukan kepada kekuasaan kehakiman karena antara kekuasaan kehakiman dan cabang kekuasaan yang lain berlaku pemisahan kekuasaan.

Prinsip utama yang harus dianut oleh negara hukum maupun rule of law state adalah kebebasan kekuasaan yudisial atau kekuasaan kehakiman. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 dengan tegas menyatakan kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

“Terlebih lagi, Mahkamah telah memutus dalam putusan Nomor 005/PUU-IV/2006, bertanggal 23 Agustus 2006, bahwa Hakim MK tidak terkait dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 24B UUD 1945,” ujar Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati.

Terkait syarat hakim konstitusi harus tujuh tahun telah lepas dari ikatan partai politik seperti tertuang dalam Pasal 15 ayat (2) huruf i UU No. 4 Tahun 2014, Mahkamah berpendapat peraturan itu diterbitkan lebih karena penangkapan Akil Mochtar sehingga menjadi stigma. “Stigma biasanya menggeneralisasi, apa yang telah terjadi pada M. Akil Mochtar kemudian dijadikan dasar setiap anggota partai politik pastilah tidak pantas menjadi hakim konstitusi atau dicap calon koruptor,” lanjut Hakim Konstitusi Harjono.

Stigmatisasi seperti ini menciderai hak-hak konstitusional seorang warga negara yang terkena stigmatisasi. Padahal, hak menjadi Hakim Konstitusi bagi setiap orang adalah hak dasar untuk ikut dalam pemerintahan yang dijamin UUD 1945. Karena itu, lanjut Harjono, setiap pembatasan hak haruslah memiliki landasan hukum yang kokoh dan valid.

Menurut Harjono, Mahkamah pernah memutus satu ketentuan dalam undang-undang yang didasarkan atas suatu stigma, yakni larangan bagi seorang warga negara untuk menjadi calon anggota DPR, DPD, dan DPRD provinsi/kabupaten/kota yang terlibat tidak langsung dalam peristiwa G30S/PKI.

“Korupsi haruslah diberantas adalah benar, tetapi memberi stigma dengan menyamakan semua anggota partai politik sebagai calon koruptor, karenanya berkepribadian tercela dan tidak dapat berlaku adil sehingga tidak memenuhi syarat menjadi Hakim Konstitusi adalah suatu penalaran yang tidak benar,” tegasnya.

Tegakkan Konstitusi
Salah satu pemohon Andi M Asrun mengapresiasi putusan MK ini karena mengembalikan marwah MK dan tegakknya konstitusi. Sebab, konstitusi harus dijaga semua pihak dari serangan manuver politik yang bertujuan untuk memperlemah MK sebagai upaya inkonstitusional.  

Dia menegaskan melalui putusan itu semua materi UU No. 4 Tahun 2014 bertentangan dengan semangat menegakkan kekuasaan kehakiman yang mandiri. Misalnya, putusan itu mempertegas pengajuan tiga hakim konstitusi hanya wewenang Presiden, DPR, MA karena panel ahli tidak dikenal dalam konstitusi.

“Yang pasti putusan ini untuk semua pihak, bukan untuk kepentingan para pemohon dan MK. Apalagi, parpol seolah sarang penjahat, kotor, nista, jangan hanya karena satu orang semua dipukul rata. Padahal demokrasi dibangun oleh parpol. Karena itu, putusan MK ini sudah tepat,” kata Asrun.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Constitutional and Electroral Reform Centre (CORRECT) Refly Harun berpendapat seharusnya MK tidak membatalkan keseluruhan dari UU Penetapan Perppu MK itu. Baginya, keberadaan MKHK seharusnya masih bisa dipertahankan untuk menjamin hak masyarakat.  

“Apa bedanya dengan Dewan Etik, tidak ada bedanya. Kalau ada keterlibatan KY dalam proses pembentukan, kan KY bisa ‘dipotong’. Kalau MKHK tidak ada, kita sebagai masyarakat, kalau ada perilaku  hakim yang menyimpang mau lapor kemana,” kata Refly sejak awal menyaksikan pembacaan putusan MK ini.

Begitu pula dengan keberadaan panel ahli sebenarnya tidak mengambil wewenang dari lembaga MA, DPR dan Presiden. Panel ahli bentukkan KY itu justru sifatnya hanya membantu ketiga lembaga itu untuk melakukan fit and proper test. Baginya, jika MK perhatian terhadap kualitas hakim konstitusi seharusnya ketentuan panel ahli tidakperludibatalkan.

”Mana yang lebih baik, tidak ada proses seleksi di MA, di DPR ‘pura-pura’ fit and propers test-nya, dan Presiden main tunjuk. Padahal,UUMK mensyaratkan seleksi hakim konstitusi harustransparan, akuntabel, objektif, dan partisipatif. Tetapi, selama ini prinsip ini tidak pernah dilakukan,” imbuhnya.  
Tags:

Berita Terkait