Konstitusi Tak Amanatkan DPR Rekrut Pejabat Publik
Berita

Konstitusi Tak Amanatkan DPR Rekrut Pejabat Publik

Pengisian jabatan anggota KY dan KPK merupakan pilihan kebijakan pembentuk undang-undang.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Konstitusi Tak Amanatkan DPR Rekrut Pejabat Publik
Hukumonline
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto mengatakan tidak ada satu pasalpun dalam konstitusi yang secara eksplisit dan tegas bahwa DPR mempunyai kewenangan melakukan rekrutmen atau pemilihan pejabat atau penyelenggara negara. Merujuk Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 20A ayat (1) UUD 1945, DPR mempunyai fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.

“Karenanya, proses rekrutmen atau pemilihan pejabat atau penyelenggara negara termasuk pimpinan KPK yang dilakukan KPK tidak sesuai dengan tiga fungsi DPR itu,” kata Bambang saat memberi keterangan dalam sidang lanjutan pengujian UU No. 18 Tahun 2011 tentang KYdan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (15/4).

Dia mengatakan selama ini proses rekrutmen calon pimpinan KPK didasarkan pada UU KPK melalui dua tahapan yaitu seleksi yang dilakukan panitia seleksi (pansel) dan seleksi yang dilakukan DPR. Awalnya, pemerintah membentuk pansel yang anggotanya terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat.

Satu hal penting, kata Bambang, pansel juga mengundang keterlibatan LSM dan komunitas masyarakat sipil untuk terlibat dalam memberi masukan dan mengawal proses rekrutmen yang dilakukan pansel. “Pansel ini sudah melibatkan rakyat sebagai sang pemilik kedaulatan seperti diamanatkan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, sehingga hasil dari pansel tidak bisa diabaikan begitu saja oleh DPR,” kata Bambang.

Terlebih, lanjut Bambang, proses rekrutmen yang dilakukan DPR selama ini lebih bersifat techinical selection yang disertai dengan potensi konflik kepentingan dan political invation. Karenanya, proses rekrutmen lembaga independen jika seleksinya melibatkan eksekutif dan atau legislatif potensi pengaruh politik baik laten maupun manifest seharusnya ditiadakan.

Menurutnya, kewenangan DPR dalam melakukan seleksi pimpinan KPK dapat mendorong terjadinya potensi intervensi yang dapat mempengaruhi independensi KPK melalui proses seleksi pimpinan KPK. “Potensi intervensi ini juga bisa dilakukan pemerintah, tetapi adanya unsur masyarakat dan bekerjanya kontrol sosial yang dikembangkan media dapat meminimalisir potensi penyalahgunaan yang dilakukan pemerintah”.

Dia juga menilai pola rekrutmen pimpinan lembaga negara di Indonesia terjadi ketidakseragaman, dimana beberapa lembaga negara menentukan sendiri ketuanya, seperti MK, Mahkamah Agung (MA), Komisi Yudisial (KY), Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Informasi Pusat (KIP), dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Sebaliknya ketua KPK dipilih oleh DPR. Fakta ini, semakin menegaskan adanya kebijakan yang diskriminatif, selain potensi dan fakta intervensi yang salah satunya melalui proses rekrutmen para pimpinan KPK.

“Kalaupun DPR tidak terlibat dalam proses pemilihan pimpinan KPK, DPR dapat menggunakan kewenangan konstitusionalnya di bidang pengawasan secara lebih optimal,” harapnya.

Pilihan pembentuk UU
Pemerintah berpendapat independensi lembaga hukum tidak hanya diukur melalui seleksi pengisian pimpinan pejabat negara. Tetapi, ukuran independensi sesungguhnya terletak pada pelaksanaan tugas dan kewenangan masing-masing lembaga.

“Pengisian jabatan anggota KY dan KPK yang tidak eksplisit diatur dalam UUD 1945. Itu merupakan pilihan kebijakan pembentuk undang-undang (legal policy),” ujar Plt Dirjen Peraturan Perundang-undanga Kemenkumham, Mualimin Abdi.    

Terkait dalil pemohon yang menyatakan UU KY menggunakan istilah “memilih”, sementara dalam Pasal 24B ayat (3) dan Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 menggunakan istilah “persetujuan”, Mualimin menegaskan persoalan ini sudah diputus MK lewat putusan No. 27/PUU-XI/2013 terkait pengujian UU MA dan UU KY.

“Pemerintah menghormati putusan MK itu, putusan itu sudah dilaksanakan dalam proses pemilihan calon hakim agung yang baru saja dilaksanakan DPR, sehingga pemerintah menyerahkan kepada majelis MK untuk menilai dan memutuskannya,” kata Mualimin.

Permohonan pengujian UU KY dan KPK ini diajukan oleh Rektor UII Yogyakarta Prof Edy Suandi Hamid dan dosen Fakultas Hukum UII Yogyakarta, Sri Hastuti Puspitasari. Mereka memohon pengujian Pasal 28 ayat (6) dan ayat (3) huruf c, Pasal 37 ayat (1) UU KY dan Pasal ayat (1), (10), (11) UU KPK terkait mekanisme pemilihan anggota KY dan KPK oleh DPR.

Menurutnya, banyaknya UU yang memberi wewenang DPR dalam rekrutmen pejabat publik telah mengakibatkan “pergeseran” fungsi DPR sebagai pembentuk UU dan pengawas pelaksanaan UU alias semi eksekutif. Apabila ini tidak diluruskan akan mengganggu pelaksanaan prinsip check and balances. Seharusnya, DPR cukup memberi “persetujuan” seperti rekrutmen Panglima TNI dan Kapolri.

Karena itu, para pemohon meminta MK membatalkan kata “memilih” dalam Pasal 28 ayat (6) UU KY dan kata “dipilih’ dan frasa “memilih dan menetapkan” dalam Pasal 30 ayat (1), (10), (11) UU KPK sepanjang dimaknai “persetujuan”. Selain itu, frasa “sebanyak tiga (tiga) kali” dalam Pasal 37 ayat (1) UU KY harus dimaknai “sebanyak sama dengan.” Demikian pula, frasa “sebanyak 21 (dua puluh satu)” dalam Pasal 28 ayat (3) huruf c UU KY bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat sepanjang tidak dimaknai sebanyak 7 (tujuh) calon.
Tags: