Makna ’Ganti Rugi’ Lahan Multitafsir
Berita

Makna ’Ganti Rugi’ Lahan Multitafsir

Delapan orang warga mempersoalkan aturan ganti rugi dalam UU Pengadaan Tanah.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Makna ’Ganti Rugi’ Lahan Multitafsir
Hukumonline
Penggantian ganti rugi pembebasan tanah untuk kepentingan umum selama ini dinilai belum memenuhi rasa keadilan dan layak bagi masyarakat. Acapkali oknum tim pembebasan menghargai rendah tanah dan bangunan, serta mekanisme pembebasan dan tujuan pembangunan yang tidak jelas.

Atas dasar itu, delapan warga negara negara mempersoalkan Pasal 1 ayat (10) UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum melalui uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka adalah R. Soedarno, Zulhasril Nasir, Soetopo Ronodihardjo, Benggol Martonohadi, Purwoko, Pekik Denjatmiko, Surya Gunawan, dan Hidayat.

Para pemohon menilai aturan pembebasan lahan multitafsir, terutama mengenai sudut pandang keadilan dalam pembebasan lahan. “Pasal itu multitafsir, yakni adil dan layak menurut siapa? Sebab selama ini kami berhadapan dengan pembebas tanah yang ukuran dan tujuannya berbeda,” kata salah satu pemohon, Soetopo Ronodihardjo saat sidang pemeriksaan pendahuluan yang diketuai Patrialis Akbar di ruang sidang MK, Rabu (07/5).

Pasal 1 ayat (10) UU Pengadaan Tanah menyebutkan ganti kerugian adalah penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam proses pengadaan tanah.

Soetopo mengungkapkan, pada praktiknya seringkali pembebasaan tanah justru dipaksakan dengan harga rendah, jauh dari kata adil dan layak. Hasil penilaian tim penaksir tak obyektif, dan kredibilitas mereka diragukan. Sebab, bukan hal yang tidak mungkin penilaian tersebut dipengaruhi pesanan si pemberi order yang cenderung menjatuhkan harga lebih murah dari yang seharusnya.

Dia menilai frasa ”adil dan layak” dalam Pasal 1 ayat (10) yang seyogyanya melindungi dari kesewenang-wenangan penguasa, justru tidak memberikan jaminan atas hak ganti rugi yang layak. Bahkan tak jarang, masyarakat yang memiliki wawasan dan pendidikan rendah seringkali menjadi korban intimidasi atas pembebasan tanah.

“Kami merasa MK bisa memberi kejelasan tentang pasal itu, terutama terkait ganti rugi yang adil itu yang bagaimana,” tukasnya sambil menangis.

Untuk itu, para pemohon meminta MK untuk memberikan tafsir terhadap Pasal 1 ayat (10) UU Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum itu. “Kami meminta penggantian dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari sebelum terkena pengadaan tanah,” harapnya.

Dalam sidang perdananya, MK menilai alasan pengujian UU yang diajukan masih belum jelas. Belum jelas kerugian konstitusional para pemohon atas berlakunya Pasal 1 ayat (10) UU yang dimohonkan diuji. tersebut. MK hanya melihat pemaparan kasus konkrit atas penerapan suatu norma dalam UU Pengadaan Tanah. “Yang diadili MK adalah norma, norma itu konstitusional apa nggak, bukan kasus konkrit. Itu pertanyaan besarnya. Jadi yang harus dijelaskan apakah berlakunya Pasal 1 ayat (10) merugikan secara konstitusional. Ini yang harus diuraikan,” saran anggota majelis Ahmad Fadlil Sumadi.

Untuk itu, para pemohon diminta memperbaiki materi permohonan selama jangka waktu 14 hari.
Tags:

Berita Terkait