Ketua KHN Pesimis Pemerintahan Baru Akan Amandemen Konstitusi
Berita

Ketua KHN Pesimis Pemerintahan Baru Akan Amandemen Konstitusi

Amandemen konstitusi akan berimplikasi kepada peraturan perundang-undangan di bawahnya.

ALI
Bacaan 2 Menit
Foto: KHN
Foto: KHN
Ketua Komisi Hukum Nasional (KHN) Prof. JE Sahetapy mengaku pesimis amandemen konstitusi dapat dilakukan dalam waktu dekat.

“Saya kira mungkin kita membutuhkan seorang presiden yang berani berhadapan dengan DPR. Kalau dalam konstelasi politik yang ada sekarang ini, saya belum begitu yakin,” ujarnya dalam diskusi bersama komunitas hukum yang diselenggarakan KHN, Ikatan Alumni FHUI dan Hukumonline di Jakarta, Selasa (3/6).

Sahetapy mengatakan bila ingin kembali melakukan amandemen konstitusi maka Indonesia membutuhkan seorang presiden yang tegas. “Presiden yang to be or not to be,” tuturnya.

Lebih lanjut, Sahetapy menuturkan dirinya belum mendengar dua capres yang sudah terdaftar – Prabowo Subianto dan Joko Widodo – berdebat mengenai persoalan ini. “Kalau nanti mereka berdebat seperti di luar negeri, diharapkan moderator melontarkan pertanyaan ini (seputar amandemen). Baru saya bisa jawab,” ujarnya.

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) La Ode Ida juga mengaku pesimis parlemen periode mendatang mau kembali mengubah UUD 1945. Pria yang getol memperjuangkan amandemen konstitusi kelima selama dua periode ini menegaskan bahwa perubahan UUD 1945 baru bisa dilakukan bila ada keinginan politik yang kuat dari presiden.

“Saya pesimis. Tak ada pemikiran politis yang berkuasa untuk amandemen. Dahulu, Partai Demokrat sudah setuju. Mereka tanda tangan jam 11, tapi jam 1 sudah ditarik kembali. Sampai hari ini tidak ada respon lagi,” ujarnya.

La Ode mengatakan padahal sejumlah lembaga, seperti DPD, Komisi Konstitusi, hingga Forum Rektor sudah memberikan banyak masukan seputar pentingnya amandemen kelima konstitusi ini.

Sekretaris Umum Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (ILUNI FHUI) Mohammad Kadri mengatakan amandemen konstitusi merupakan hajatan nasional yang tidak mudah dilakukan. “Perlu willingness (kemauan,-red). Butuh 2/3 angggota MPR,” ujarnya. 

“Kita juga nggak mau kalau perubahan konstitusi terlalu sering dilakukan,” tambahnya.

Kadri menjelaskan bahwa kajian atau usulan amandemen konstitusi harus melihat aspek hingga paling bawah. Ia menuturkan sebagai hukum tertinggi, perubahan konstitusi tentu juga akan berpengaruh kepada peraturan perundang-undangan yang ada di bawahnya.

“Poin saya, kita juga harus membuat analisa sampai ke level bawah. Kalau ada perubahan konstitusi, maka harus berubah semua (peraturan perundang-undangan di bawahnya,-red),” tegasnya lagi.

La Ode setuju dengan pandangan Kadri. Karenanya, ia menuturkan bahwa perubahan konstitusi harus dilakukan se komprehensif dan sedetil mungkin. “Memang harus dibuat secara detik,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait