Merasa Tak Curi Uang Negara, Akil Tak Mau Potong Jari
Berita

Merasa Tak Curi Uang Negara, Akil Tak Mau Potong Jari

“Aku bukan nyuri uang negara. Uang nenek moyangmu pun bukan,” ujarnya.

ANT/Ali
Bacaan 2 Menit
Mantan Ketua MK M Akil Mochtar usai mengikuti sidang pembacaan vonis terhadap dirinya, Senin (30/6). Foto: RES.
Mantan Ketua MK M Akil Mochtar usai mengikuti sidang pembacaan vonis terhadap dirinya, Senin (30/6). Foto: RES.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) M Akil Mochtar emoh membuktikan pendapatnya bahwa koruptor seharusnya dihukum potong jari, pasca divonis bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Koruspsi (Tipikor) Jakarta, Senin (30/6).

Walau sudah divonis bersalah, Akil bersikeras bahwa ia tidak mengambil uang negara. “(potong jari) itu untuk koruptor yang nyuri uang negara. Aku bukan nyuri uang negara. Uang nenek moyangmu pun bukan,” jawab Akil saat ditanya mengenai pernyataannya tentang usulan untuk memotong jari bagi orang yang terbukti melakukan korupsi.

Selain itu, Akil juga tak menyesal dengan perbuatannya hingga divonis penjara seumur hidup oleh majelis hakim. “Nggak, untuk apa nyesal?” ujarnya usai sidang pembacaan vonis terhadap dirinya.

Berdasarkan catatan hukumonline, Akil –saat masih menjabat sebagai hakim dan juru bicara MK- pernah melontarkan perlunya sanksi pemiskinan dan bentuk pencatatan terhadap bagian tubuh koruptor. Ide ini muncul lantaran persoalan korupsi tak kunjung selesai di negeri ini.

“Ini ide saya, daripada harus dihukum mati, kenapa tidak dikombinasikan pemiskinan dan memotong salah satu jari tangan koruptor agar jera,” ujarnya pada Maret 2012 lalu.

Kala itu, Akil menegaskan memotong jari koruptor dinilai dapat memberikan efek jera bagi pelaku lain baik itu yang berniat akan melakukan korupsi maupun yang sudah melakukan, sehingga tidak diulang kembali. Kalau hanya memiskinkan akan percuma karena negara sendiri seringkali tidak mengetahui sejak kapan korupsi itu dilakukan.

“Saya pikir hukuman seperti ini (potong jari,-red) yang pantas diterapkan. Sekarang ada yang namanya memiskinkan koruptor. Tetapi kalau benar benar semua hartanya didapat oleh negara. Kalau dipotong jarinya itu kan membuat malu juga, sehingga memberikan efek jera bagi pelaku lainnya,” tambahnya.

Bahkan, masih pada Maret 2012 lalu itu, Akil keukeuh dengan pendapatnya meski diingatkan adanya konvensi internasional pelarangan mutilasi. Ia berpendapat masing-masing negara memiliki kebijakan sendiri-sendiri terhadap penghukuman bagi koruptor.

“Tidak usah dipotong tangannya, cukup jarinya saja nantinya. Tergantung pada putusan hakim, misalnya bila hakim memvonis potong dua jarinya, daripada harus divonis tembak mati. Lebih baik dimiskinkan dan dipotong jarinya. Sehingga ketika berbaur di masyarakat, masyarakat tahu kalau dia adalah koruptor,” tukasnya.

Sebelumnya, penuntut umum KPK juga memasukan pernyataan Akil mengenai potong jari ini ke dalam tuntutannya. "Publik tentunya masih ingat apa yang diucapkan terdakwa di MK pada tanggal 9 Maret 2012 yang menyatakan: 'Ide saya dibanding dihukum mati lebih baik dikombinasi pemiskinan dan memotong salah satu jari tangan koruptor saja cukup'," ujarnya, Senin (16/6) lalu.

KPK menilai Akil dikenal sebagai praktisi hukum sekaligus doktor di bidang ilmu hukum serta sebagai pegiat anti korupsi yang pernah melontarkan gagasan konsep pemberian hukuman kombinasi antara pemiskinan dan potong salah satu jari tangan bagi pelaku tindak pidana korupsi.

Dalam putusannya, majelis hakim menilai Akil bersalah dalam enam dakwaan yaitu pertama adalah pasal 12 huruf c Undang-undang No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP tentang hakim yang menerima hadiah yaitu terkait penerimaan dalam pengurusan sengketa pilkada Gunung Mas (Rp3 miliar), Lebak (Rp1 miliar), Pelembang (Rp19,9 miliar) dan Empat Lawang (Rp10 miliar dan 500 ribu dolar AS).

Dakwaan kedua juga berasal dari pasal 12 huruf c Undang-undang No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP yaitu penerimaan dalam pengurusan sengketa pilkada Buton (Rp1 miliar), Morotai (Rp2,99 miliar), Tapanuli Tengah (Rp1,8 miliar).

Dakwaan ketiga berasal dari pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Koruspi Jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP tentang penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji dalam sengketa pilkada Jawa Timur (Rp10 miliar) dan kabupaten Merauke, kabupaten Asmat dan kabupaten Boven Digoel (Rp125 juta).

Dakwaan keempat juga berasal dari pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Koruspi Jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP dalam pengurusan sengketa pilkada Banten (Rp7,5 miliar).

Dakwaan kelima adalah pasal 3 UU No 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP mengenai tindak pidana pencucian uang aktif hingga Rp129,86 miliar saat menjabat sebagai hakim konstitusi periode 2010-2013.

Dakwaan keenam berasal dari pasal 3 ayat 1 huruf a dan c UU No 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana diubah dengan UU No 25 tahun 2003 jo pasal 65 ayat 1 KUHP karena diduga menyamarkan harta kekayaan hingga Rp22,21 miliar saat menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari fraksi Golkar 1999-2009 dan ketika masih menjadi hakim konstitusi di MK pada periode 2008-2010.

Secara total Akil terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang sebesar Rp152,07 miliar.
Tags:

Berita Terkait