Pembiaran Bencana Lingkungan Langgar Konstitusi
Berita

Pembiaran Bencana Lingkungan Langgar Konstitusi

Mantan Menteri Lingkungan Hidup dan Guru Besar Hukum Administrasi Negara menjadi ahli di sidang MK.

ASH
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES
Sidang lanjutan pengujian sejumlah pasal dalamUU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) kembali digelar. Sidang kali ini, giliran Mahkamah Konstitusi (MK) mengagendakan pemeriksaan ahli yang dihadirkan pemerintah yakni mantan Menteri Lingkungan Hidup Sonny Keraf dan Guru Besar Hukum Administrasi  Philipus M Hadjon.

Dalam keterangannya,Sonny mengungkapkan saat perumusan UU PPLH sejumlah pihak sepakat bencana lingkungan hidup merupakan persoalan yang serius yang membutuhkan penanganan serius termasuk memberi sanksi pidana bagi pelakunya. Karena itulah, UU PPLH ini dilahirkan untuk mengatasi, mengurangi bencana lingkungan hidup yang menimbulkan penyakit hingga merenggut nyawa manusia.

Ditegaskan Sonny, menjadi tugas pemerintah untuk melindungi ancaman bahaya yang ditimbulkan dari bencana lingkungan. “Justru pemerintah melanggar konstitusi jika membiarkan siapapun yang berbuat menimbulkan bencana lingkungan hidup termasuk limbah bahan berbahaya dan beracun (B3),”ujarnya dalam sidang pleno yang dipimpin Hamdan Zoelva, Selasa (09/9).

Dia mengutip Pasal 28 UUD 1945 yang menyebutkan setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, dan berhak memperoleh pelayanan kesehatan. “Ini berarti pemerintah menjamin hak  atas lingkungan hidup yang baik dan hak hidup sejahtera lahir dan batin dari tindakan yang membahayakan nyawa orang lain,” katanya.

“Jadi beralasan jika pelanggaran perizinan dan pengelolaan limbah B3 dikategorikan sebagai tindak pidana. Bahkan, Pasal 97 UU PPLH yang menyebut tindak pidana dalam UU ini merupakan kejahatan karena mengancam keselamatan, kesehatan dan kehidupan umat manusia,” tegasnya.

Karenanya, dia berharap MK menolak pengujian UU PPLH yang diajukan terhukum dua tahun penjara korupsi bioremediasi Bachtiar Abdul Fatah.

PhilipusMHadjonmenilai sangat tidak tepat mempertentangkan Pasal 59 ayat (1) mengenai fungsi izin limbah B3 dengan Pasal 102 UU PPLH terkait sanksi pidana. Sebab, fungsi izin limbah ini bersifat mutlak yang memiliki konsekuensi jika dilanggar.    

Menurutnya, diskresi yang terkandung dalam kata ‘dapat’ dalam Pasal 95 ayat (1) UU PPLH bukan artinya boleh iya, boleh tidak. Akan tetapi, seorang yang memiliki diskresi memiliki choice (pilihan) berdasarkan peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Sebelumnya, terhukum 2tahun penjara korupsidan UU PPLH dalam kasus  bioremediasiitu memohon pengujian Pasal 59 ayat (4), Pasal 95 ayat (1), dan Pasal 102 UU PPLH terkait kewajiban izin pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), beserta ancaman sanksinya.

Pasal 59 ayat (1) dan (4) UU PPLH dinilai kontradiktif. Satu sisi, penghasil limbah B3 diwajibkan untuk mengelolanya, jika tidak bisa dikenai sanksi pidana. Sisi lain pengelolaan limbah wajib memperoleh izin menteri, gubernur/walikota/bupati. Pasal 59 ayat (4) memungkinkan terjadi kondisi alasan tertentu instansi berwenang belum memberi izin penghasil limbah B3 untuk wajib mengelola limbahnya.

Sementara keberadaan kata “dapat” dalam Pasal 95 ayat (1) UU PPLH menciptakan ketidakpastian karena membuka kemungkinan “penegakkan hukum terpadu” hanya sekadar slogan tanpa pelaksanaan. Hal ini juga memberi peluang aparat penegak hukum jalan sendiri-sendiri dengan mengabaikan semangat UU PPLH menegakkan hukum terpadu di bawah koordinasi Menteri Lingkungan Hidup. Karenanya, kata “dapat” dinyatakan batal.

Frasa “tindak pidana lingkungan hidup” Pasal 95 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk ‘tindak pidana terkait dengan lingkungan hidup’, seperti tindak pidana korupsi. Selain itu, frasa “di bawah koordinasi Menteri" Pasal 95 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai di bawah koordinasi Menteri kecuali Menteri berdasarkan bukti permulaan yang cukup diduga terlibat pidana yang sedang disidik. Pemohon juga meminta MK membatalkan Pasal 59 ayat (4) jo Pasal 102 UU PPLH.

Untuk diketahui, Bachtiar selaku General Manager Sumatera Light South (SLS) PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) telah dihukum 2 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta karena terbukti melanggar UU PPLH. Bachtiar terbukti melanggar Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Tags:

Berita Terkait