Ketua Majelis Kasasi kasus Labora, Artidjo Alkostar menjelaskan bahwa Labora terbukti menyamarkan identitasnya sebagai anggota Kepolisian aktif, dengan mengaku sebagai pengusaha saat membuka rekening untuk menikmati duit “haram” hasil kejahatannya. Lalu, Labora menampung uang hasil BBM dan kayu ilegal itu ke lalu lintas keuangan PT Rotoa dan PT Seno Adiwijaya.
“Bayangkan saja dia menampung dua rekening PT itu tapi dia bukan pengurus di situ. Dia kendalikan perusahaan itu,” jelas Artidjo di ruang kerjanya di Gedung MA, Kamis (18/9).
Lebih lanjut, Artidjo dkk tidak menilai bahwa denda Rp5 Miliar adalah denda yang berat untuk Labora. “Nggak masalah. Di UU TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) itu masih dibawah maksimal,” ujarnya.
Majelis kasasi yang memutus perkara ini adalah Artidjo Alkostar selaku ketua majelis, serta Sri Murwahyuni dan Prof. Surya Jaya masing-masing sebagai anggota. Putusan yang mengabulkan kasasi jaksa, dan menolak kasasi terdakwa ini dibuat secara bulat oleh majelis hakim.
Vonis yang dijatuhkan kepada Labora ini lebih berat dari vonis yang dijatuhi oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi. Begitu juga, hukuman denda yang diperberat 100 kali lipat dari vonis sebelumnya.
Di Pengadilan Negeri Sorong, pada Februari lalu, majelis hakim hanya menghukum Labora dengan dua tahun penjara dan denda Rp50 juta subsider enam bulan kurungan. Pasca putusan ini, Labora dan jaksa penuntut umum mengajukan banding.
Ketua Komisi Yudisial (KY) Suparman Marzuki bahkan sempat menilai bahwa vonis ringan terhadap Labora di PN Sorong ini sebagai putusan yang “ajaib”.
Lalu, Pengadilan Tinggi Papua memperberat hukuman Labora menjadi delapan tahun penjara dan denda Rp50 juta subsider enam bulan kurungan. Kini, MA melalui majelis kasasi hampir “menggandakan” hukuman pidana penjara Labora dan menjatuhkan denda 100 kali lipat dari vonis sebelumnya.
Kebebasan Hakim Memutus
Dimintai komentarnya seputar hukuman di putusan PN dan MA yang berbeda jauh, Artidjo enggan berkomentar banyak. Ia menilai bahwa pengadilan atau hakim bebas memutus berdasarkan alat bukti dan keyakinannya. Kebebasan hakim dalam memutus itu dijaga oleh UUD 1945 dan Konvensi PBB.
“Pimpinan MA tidak boleh memberi instruksi ke hakim PT atau PN seputar penanganan kasus,” ujar Ketua Kamar Pidana MA ini.
Namun, lanjut Artidjo, para hakim agung bisa memberikan sinyal melalui putusannya kepada para hakim di bawah. Ia menyerahkan sepenuhnya “penangkapan” sinyal itu kepada hakim yang bersangkutan, dan masyarakat yang akan menilai.
“Jadi, terserah dia (hakim,-red). Masyarakat yang menilai. Masyarakat punya common sense. Loh kok bebas? Kok hukuman rendah? Masyarakat berhak bertanya. Mengapa begitu? Saya hanya ingin hakim memerankan peran protektifnya bagi rakyat dan marwah negara,” pungkasnya.