UU Narkotika Masih Berparadigma Penghukuman
Berita

UU Narkotika Masih Berparadigma Penghukuman

Akses pelayanan pelayanan kesehatan di rumah sakit atau panti rehabilitasi sebaiknya dipermudah.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
UU Narkotika Masih Berparadigma Penghukuman
Hukumonline
Lima tahun sudah Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika berlaku. Selama itu pula paradigma penghukuman bagi pengguna (pecandu) atau korban penyalahgunaan narkotika dijalankan. Alhasil, fungsi rehabilitasi medis dan sosial yang dimanatkan Pasal 54 UU Narkotika itu kurang berjalan efektif. Padahal, fungsi itu diharapkan dapat menurunkan tingkat kecanduan komsumsi atas barang haram itu.

Pernyataan itu disampaikan Deputi Bidang Hukum dan Kerja Sama BNN Darmawel Aswar dalam sebuah diskusi bertajuk “Refleksi Lima Tahun UU Narkotika: Mengurai Tantangan, Menyingkap Peluang” difasilitasi LBH Masyarakat di Jakarta, Rabu (15/10). Selain Darmawel, diskusi ini menghadirkan Direktur Bina Upaya Kesehatan Kemenkes dr. Eka Viora, dan Direktur LBH Masyarakat Ricky Gunawan.

Darmawel menegaskan selama ini aparat penegak hukum masih memandang UU  Narkotika berorientasi pada pemenjaraan bagi pengguna/pencandu narkoba, sehingga dianggap seperti penjahat. Padahal, tahun 2014 telah dicanangkan pemerintah sebagai tahun penyelamatan korban penyalahgunaan narkoba melalui rehabilitasi.   

Kondisi ini diperparah dengan lemahnya proses penegakan hukumnya. Sebab, masih banyak ditemukan berbagai kasus narkotika yang melibatkan oknum aparat penegak hukum yang mematok “tarif” bagi pengguna narkotika. Misalnya, di Jakarta saja untuk “membebaskan” pengguna dari jerat hukum harus mengeluarkan kocek sebesar Rp200 jutaan. Bahkan, ada yang sampai mengeluarkan uang hingga 1,5 miliar rupiah.    

Dia mengimbau kalau ada oknum aparat yang meminta uang jutaan rupiah segera laporkan ke lembaga pengawas. Pimpinan aparat penegak hukum saat ini sudah berkomitmen untuk menindak siapapun yang melanggar hukum. Misalnya, kalau pelakunya penyidik –termasuk petugas BNN- laporkan ke Divisi Propam atau Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Kalau hakim yang berbuat bisa lapor ke Komisi Yudisial.

“Jaksa Agung sekarang juga sudah berpesan laporkan kalau ada jaksa yang bermain-main dengan perkara, seperti menjual ganja, ekstasi yang menjadi barang bukti, menggelapkan barang bukti, dan sebagainya.  Laporkan ke Jamwas!” katanya.

Karenanya, paradigma UU Narkotika mesti diubah dari penghukuman (pemenjaraan) menjadi rehabilitasi yang harus diperkuat, khususnya bagi pengguna/pencandu narkotika. “Tetapi, mengubah paradigma tidak mudah, di negara Eropa membutuhkan waktu 15 tahun untuk mengubah paradigma seperti itu, kita baru setahun ini,” katanya.

Lebih jauh, dia mengungkapkan selama ini BNN melaksanakan konsep rehabilitasi bagi pengguna narkotika melalui proses hukum. Namun, proses hukum ini tidak dijalani dengan hukuman pidana, tetapi dengan proses rehabilitasi. Dalam upaya mengubah paradigma ini, pihaknya bersama Kejaksaan Agung, Kepolisian, Kemenkumham, MA, Kemensos, Kemenkes menandatangani Peraturan Bersama Tahun 2014 tentang Rehabilitasi Pecandu Narkotika.

“Peraturan bersama ini lebih mengarah pada proses rehabilitasi dalam proses hukum yang ditangani tim assesmen terpadu yang dibagi dalam dua tim yaitu tim hukum (Polri, Kejaksaan, BNN) dan tim dokter,” paparnya.

Melalui peraturan itu, tambahnya, jika seseorang ditangkap  penyidik Polri atau BNN menggunakan atau memiliki narkotika akan tetap diproses secara hukum dengan dakwaan Pasal 127 UU Narkotika yang putusannya menjatuhkan perintah rehabilitasi. “Pasal 127 UU Narkotika ancaman hukumannya di bawah 5 tahun, sehingga tidak perlu ditahan.”

Eka Viora mengungkapkan penanganan korban narkotika sudah dilaksanakan melalui Rumah Sakit Jiwa melalui PP No. 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika dan Kepmenkes No. 2171 Tahun 2011 tentang Tata Cara Lapor Pencandu Narkotika. Sebab, korban penyalahgunaan narkotika termasuk ke dalam kategori gangguan mental dan perilaku, seperti halnya ketergantungan alkohol dan kecanduan adiktif lainnya. “Kita di rumah sakit (jiwa) tidak hanya fokus narkotika, tetapi semua zat yang mengandung zat adiktif,” kata Eka.

Ricky Gunawan memandang meski sudah beberapa ketentuan masih pencandu masih kesulitan mengakses pelayanan kesehatan di rumah sakit atau panti rehabilitasi untuk merehabilitasi dirinya. “Salah satunya faktor biaya yang cukup tinggi,” katanya.

Dia berharap agar akses pelayanan kesehatan bagi pecandu narkotika lebih dipermudah dengan biaya yang terjangkau karena tidak semua pencandu berasal dari keluarga mampu. “Ini agar tidak ada diskriminasi,” harapnya.
Tags:

Berita Terkait