Penegakan Hukum Pemilu Perlu Dibenahi
Berita

Penegakan Hukum Pemilu Perlu Dibenahi

Penguatan sanksi administratif atau kode etik juga penting.

ADY
Bacaan 2 Menit
Dekan FHUI Prof. Topo Santoso. Foto: RES.
Dekan FHUI Prof. Topo Santoso. Foto: RES.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Topo Santoso, menilai persoalan penegakan hukum dalam Pemilu 2014 lalu sama seperti Pemilu periode sebelumnya. Misalnya, sikap aparat penegak hukum yang tidak menganggap pelanggaran Pemilu sebagai kasus yang serius. Serta perdebatan defenisi kampanye. Ujungnya, penegakan hukum terhadap pelanggaran Pemilu tidak maksimal.

Padahal dalam UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD banyak pasal tentang tindak pidana Pemilu. Undang-Undang ini memuat 19 pasal pelanggaran  dan 29 pasal kejahatan. Begitu pula dengan UU sebelumnya yaitu UU No. 10 Tahun 2008 yang memuat 54 tindak pidana Pemilu. Banyaknya pidana Pemilu, kata Topo, tidak menjamin penegakan hukum Pemilu dengan baik.

Penggunaan pidana dalam proses Pemilu menurut Topo tidak mudah. Pengawas Pemilu, penyidik Polri, Jaksa dan hakim masih berdebat beberapa bentuk kasus pidana Pemilu. Terutama ketentuan yang defenisinya kabur, bisa diartikan sempit atau luas. “Perdebatan defenisi kampanye itu sudah terjadi dari dulu,” katanya dalam diskusi yang digelar Perludem di Jakarta, Kamis (13/11).

Atas dasar itu Topo mengusulkan agar berbagai ketentuan pidana Pemilu dibahas lebih mendalam. Sehingga dapat menghasilkan ketentuan yang lebih jelas, tidak ambigu dan mudah dipahami semua pihak. Ahli pidana berperan penting bagi pembuat kebijakan dalam merumuskan tindak pidana pemilu.

Menurut Topo ada sejumlah hal yang harus diperhatikan dalam menegakan hukum Pemilu. Diantaranya, harus dilihat secara materil mana pelanggaran yang perlu dikenakan pidana, administratif atau etik. Unsur-unsurnya harus dibahas lebih lanjut. Kemudian, penjatuhan sanksinya apakah penjara, denda atau alternatif (penjara dan denda). Selain itu bisa saja diperkuat dengan pidana tambahan. Misalnya, mencabut hak dipilih atau memilih dalam 10 tahun ke depan.

Untuk kelembagaan, Topo mengatakan masing-masing lembaga harus konsisten dengan kewenangannya. Baik itu Bawaslu, DKPP atau penyidik Polri. Semua lembaga yang menangani pelanggaran Pemilu itu harus punya visi dan misi yang sama sehingga tidak ada persepsi yang berbeda dalam menangani kasus.

Penguatan kapasitas setiap lembaga itu menurut Topo juga penting. Misalnya, petugas kepolisian, jaksa dan hakim yang menangani harus paham soal Pemilu. Ia menyebut di sejumlah negara, terdapat unit khusus di Kepolisian yang menangani pidana Pemilu. Begitu pula dengan kejaksaan dan kehakiman.

Komisioner Bawaslu, Nelson Simanjuntak, berpendapat lemahnya penegakan hukum Pemilu karena hukum materil dan formil yang ada bermasalah. Kemudian, mekanisme penegakan hukum Pemilu dalam Gakumdu tidak efektif. Akibatnya, banyak laporan masyarakat terkait pidana Pemilu mandek. “Maka ke depan untuk menegakan hukum pidana Pemilu instrumen materil dan formil perlu dibenahi. Aparat penegak hukum Pemilu harus berada dalam satu atap (lembaga khusus,-red),” usulnya.

Nelson melihat ego sektoral masing-masing aparat penegak hukum mengakibatkan penegakan hukum Pemilu terhambat. Setiap kasus yang dilaporkan masyarakat, terutama berkaitan dengan pidana Pemilu seolah bola panas. Oleh karenanya jika proses penegakan hukum Pemilu itu dilakukan oleh satu lembaga maka masalah ego sektoral itu dapat diputus.

Ketua Komisi Yudisial (KY), Suparman Marzuki, menilai tidak semua pelanggaran Pemilu  perlu dipidanakan. Adakalanya yang lebih pas sanksi administratif dan atau etika. Apalagi pengadilan tindak pidana Pemilu punya waktu yang terbatas untuk menangani perkara.

Aparat penegak hukum juga belum terbiasa dengan pengadilan pidana Pemilu sehingga melahirkan perbedaan paradigma dengan pegiat Pemilu. Aparat penegak hukum menganggap kasus yang ada dalam Pemilu itu isu politik, sehingga ada kesan pengadilan dan kejaksaan tidak mau terseret konflik politik.

Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, menyebut penegakan Pemilu di Indonesia dipengaruhi banyak faktor mulai dari regulasi sampai implementasi. Terkait pula desain kelembagaan dan penegakan hukum Pemilu yang belum tuntas. Misalnya, penyelesaian sengketa tahapan Pemilu sebelumnya lewat penyelenggara Pemilu. Namun dalam Pemilu 2014 sengketa Pemilu itu diselesaikan Bawaslu.

Titi mengusulkan agar setiap lembaga yang mengurusi Pemilu bertindak sesuai kewenangannya. Untuk pidana Pemilu ia mengusulkan agar ditangani oleh kepolisian. Tapi di setiap lembaga penegak hukum yang bersinggungan dengan Pemilu itu harus membentuk unit khusus. Sehingga paham bagaimana memproses kasus yang berkaitan dengan Pemilu termasuk tindak pidananya. “Kapasitas aparat yang membidangi kepemiluan harus diperkuat,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait