Soal Kesejahteraan Petani, Pemerintah Dinilai Belum Laksanakan UU PPP
Berita

Soal Kesejahteraan Petani, Pemerintah Dinilai Belum Laksanakan UU PPP

Hal ini terlihat dari belum rampungnya aturan turunan dari UU PPP.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Foto: Sgp (Ilustrasi)
Foto: Sgp (Ilustrasi)
Sejak UU No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (PPP) diteribitkan, pemerintah dinilai belum melaksanakan regulasi tersebut. Padahal, kaum petani beharap dengan adanya aturan itu, kesejahteraan dan pengelolaan pertanian bisa menjadi baik.

“Pemerintah belum melaksanakan sama sekali UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani,” ujar anggota Komisi IV Firman Subagyo kepada hukumonline, Jumat (2/1).

Ia berpandangan, dalam UU PPP sudah diatur jelas bagaimana memberikan kesejahteraan terhadap petani, mulai penyediaan lahan oleh pemerintah bagi petani, kewajiban pemerintah mengutamakan produksi pertanian dalam negeri dalam memenuhi kebutuhan pangan nasional, hingga pendanaan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).

Ironisnya, menginjak tahun kedua terhadap UU PPP, aturan turunan berupa peraturan pemerintah (PP) tak juga kunjung rampung disusun pemerintah. Padahal konsekuensi pemerintah terhadap UU yang telah disepakati antara DPR dan pemerintah mesti segera dibuat aturan turunan. Dengan begitu, implementasi penerapan pelaksanaan UU tersebut dapat dilakukan dengan segera.

Mantan Wakil Ketua Komisi IV DPR periode 2009-2014 itu cukup memahami UU No.19 Tahun 2003. Soalnya, ia mengkuti perkembangan pembahasan pasal demi pasal hingga pengesahan UU tersebut. Ia berharap pemerintah konsisten dengan segera menyelesaikan penyusunan PP agar dapat menjadi payung hukum.

“Peraturan pemerintah ini menjadi kebutuhan mendasar,” ujarnya.

Dikatakan Firman, kondisi petani di nusantara kian lemah. Soalnya, pemerintah belum membuat kebijakan yang menyentuh langsung kepada kaum petani. Misalnya, terkait dengan penyediaan lahan dan pendanaan. Padahal, dengan pemerintah melaksanakan UU PPP yang sudah komprehensif dapat memberikan angin segar bagi petani.

“Semua harus ada sistem pembangunan pertanian dari hulu ke hilir, dan harus dipikirkan pemasaran produk petani. Kebijakan itu harus terintegrasi lintas sektor dan pemerintah harus konsisten terhadap pelaksanaan UU tersebut,” ujar politisi Golkar itu.

Ketua Komite Pertimbangan Indonesia Human Rights Committee for Sosial Justice (IHCS), Gunawan, menambahkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah memiliki tanggung jawab dalam perlindungan terhadap petani dalam UU tersebut. Sayangya, realisasi pemerintah belum terlihat.

Menurutnya, pemberian redistribusi tanah kepada petani belum dilaksanakan pemerintah. Sebaliknya, justru terjadi alih fungsi lahan pertanian dan gagalnya desa menjadi pertahanan bagi lahan abadi pertanian pangan. “(Ini) disebabkan kegagalan pemerintah dan pemerintah daerah dalam menjalankan amanat undang-undang penataan ruang dan UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan berkelanjutan,” ujarnya.

Ia berpandangan kewajiban pemerintah dan Pemda dalam penyediaan sarana produksi pertanian masih menggunakan pola lama, yakni subsidi benih dan pupuk. Padahal anggaran yang digunakan adalah anggaran negara yang diperuntukan pembelian benih dan pupuk dari pabrik.

“Bukan mensubsidi petani pemulia tanaman,” katanya.

Gunawan yang juga Presidium Bamus Petani Indonesia itu menyoroti ganti rugi gagal panen dan fasilitas pembiayaan dan pendanaan. Pertama, belum tersedianya mekanisme ganti rugi akibat kejadian luar biasa.

Semestinya, kata Gunawan, pemerintah wajib menyiapkan mekanisme ganti rugi. Kedua, belum adanya penugasan dari pemerintah dan Pemda kepada bank BUMN dan BUMD  dalam rangka fasilitas asuransi pertanian dan membentuk unit khusus pertanian. “Tanpa redistribusi tanah kepada petani dan perlindungan petani pemulia tanaman, swasembada dan kedaulatan pangan sulit terwujud,” ujarnya.

Minta Pertanggungjawaban
Firman Subagyo yang juga Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR mengatakan, dalam penyusunan RUU Proleglasi Nasional (Prolegnas), Baleg akan mengusulkan kepada komisi-komisi agar melakukan pembahasan implementasi UU yang sudah disahkan pada tahun sebelumnya. Menurutnya, fungsi pengawasan DPR terhadap pemerintah sudah dituangkan dalam UU No.17 Tahun 2014. Namun, oleh partai pendukung pemerintah Jokowi kemudian diusulkan dilakukan revisi.

Terlepas dari perseteruan dua kubu kekuatan di parlemen, Firman meminta komisi mengundang pemerintah. Setidaknya, komisi dapat mempertanyakan atas realisasi pelaksanaan UU. Soalnya, UU yang disahkan merupakan hasil kesepakatan pemerintah dan DPR.

“Bagaimana realisasi pemerintah terhadap UU yang sudah disahkan oleh DPR periode lalu,” ujarnya.

Ia menilai perlu ada pertanggungjawaban pemerintah terhadap implementasi sejumlah UU yang sudah disahkan. Setidaknya dengan begitu, ada kontrol parlemen terhadap pemerintah. “Jangan begitu saja disahkan, harus ada pertanggungjawabannya dan UU yang sudah disahkan oleh DPR tidak menguap begitu saja,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait