Pemerintah Bantah Diskriminasi Guru PNS dan Non-PNS
Berita

Pemerintah Bantah Diskriminasi Guru PNS dan Non-PNS

Pemerintah minta agar pengujian kedua UU ini ditolak atau tidak diterima.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES
      Dalam sidang sebelumnya, pengujian UU Guru dan Dosen yang teregister nomor 10/PUU-XIII/2015 ini dimohonkan enam guru non-PNS yang telah bertahun-tahun mengajar di sekolah negeri di Banyuwangi diantaranya Fathul Hadie Utsman, Sanusi Afandi, Saji, Ahmad Aziz Fanani. Mereka memohon pengujian Pasal 13 ayat (1), Pasal 14 ayat (1) huruf a, Pasal 15 ayat (1), (2) UU Guru dan Dosen terkait sertifikasi guru, sertifikat pendidik, penerimaan gaji dan tunjangan profesi.          Ketentuan itu dinilai diskriminasi (perlakuan berbeda) dan menimbulkan ketidakadilan antara guru PNS dan guru non-PNS terkait hak mendapatkan sertifikasi guru, sertifikat pendidik, penerimaan gaji, penerimaan tunjangan profesi. Soalnya, hanya guru PNS yang bisa memperoleh hak-hak itu, sementara guru non-PNS tidak berhak. Karenanya, mereka menilai pasal-pasal itu bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.       Sementara perkara register 11/PUU-XIII/2015 terkait pengujian Pasal 49 ayat (2) UU Sisdiknas dimohonkan oleh Fathul Hadie Utsman, Sumilatun, Aripin, Hadi Suwoto, Sholehudin yang berstatus sebagai guru kontrak sekolah swasta. Ketentuan itu juga dinilai diskriminasi antara guru tetap, guru negeri, dan guru swasta. Padahal, aturan itu menyebut anggaran gaji guru dan dosen yang diangkat oleh pemerintah dialokasikan melalui APBN.    

Ainun melanjutkan aturan gaji guru dan dosen PNS dalam UU APBN bukanlah bentuk diskriminasi hukum terhadap guru non-PNS, melainkan kewajiban pemerintah membiayai penyelenggaraan pemerintahan umum dan pelayanan publik. Dalam praktiknya, pemerintah mengklaim telah memberikan hak yang sama bagi guru PNS dan non-PNS, kecuali jaminan pensiun bagi guru non-PNS didasarkan perjanjian kerja. Lagipula, negara tidak mungkin membiayai guru dan dosen non-PNS karena tidak ada hubungan kedinasan publik.    

“Hubungan negara dan guru/dosen non-PNS adalah hubungan kontraktual, sehingga alokasi gajinya tidak dapat dituangkan dalam APBN,” lanjut Ainun.       

Menurutnya, dalil para pemohon berkaitan masalah kasus konkrit dan implementasi norma Pasal 49 ayat (2) UU Sisdiknas. Alasannya, tidak ada hubungan sebab-akibat antara pasal yang diuji dengan kepentingan para pemohon yang terhalang menjadi CPNS.  “Pembedaan gaji guru PNS dan guru non-PNS yang tidak ditetapkan dalam APBN logis, bukan diskriminasi. Karenanya, pengujian kedua UU ini harus ditolak atau tidak diterima,” harapnya. 
Tak beroleh hak sertifikasi dan tunjangan profesi guru, sejumlah guru non-PNS yang berstatus guru tidak tetap (honorer) dan guru kontrak/bantu asal Banyuwangi, Jawa Timur “menggugat” UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kedua UU itu dinilai mengandung perlakuan diskriminasi antara guru PNS dan guru non-PNS terkait hak mendapatkan sertifikasi guru, sertifikat pendidik, penerimaan gaji dan tunjangan profesi.        

Menanggapi permohonan pengujian itu, pemerintah membantah telah bersikap diskriminasi terhadap semua profesi guru. Dia tegaskan, UU Guru dan Dosen dan peraturan lainnya memang membedakan antara guru tetap dan guru tidak tetap. Menurutnya, guru yang mendapatkan gaji dan tunjangan profesi adalah guru yang telah memiliki sertifikat guru dan berstatus guru tetap baik yang diangkat pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat.         

“Suatu keadaan yang berbeda, diperlakukan berbeda bukanlah bentuk diskriminasi. Dalam teori keadilan hukum pun prinsipnya perlakuan sama untuk keadaan yang sama,” ujar Sekjen Kemendikbud Prof Ainun Na’im saat menyampaikan pandangan pemerintah dalam sidang pengujian UU Guru dan Dosen dan UU Sisdiknas di Gedung MK, Senin (2/3).







Selain itu, terbitnya PP Nomor 74 Tahun 2008 menyebut yang berhak memperoleh sertifikasi guru hanya guru tetap, guru negeri dan guru swasta. Sementara guru tidak tetap dan guru kontrak tidak berhak memperoleh sertifikasi. Karenanya, mereka berharap MK menafsirkan Pasal 49 ayat (2) UU Sisdiknas sepanjang dimaknai termasuk guru kontrak/bantu ditetapkan sebagai CPNS, sehingga berhak mendapatkan tunjangan profesi guru.
Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait