Kelonggaran Kebijakan LTV Diyakini Tumbuhkan KPR
Berita

Kelonggaran Kebijakan LTV Diyakini Tumbuhkan KPR

Kebijakan tersebut dapat meningkatkan daya beli masyarakat sehingga akhirnya membantu laju pertumbuhan ekonomi nasional.

ANT
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi BRI. Foto: SGP
Ilustrasi BRI. Foto: SGP
Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Asmawi Syam menyambut baik revisi aturan Loan To value Ratio (LTV) oleh Bank Indonesia (BI). Menurutnya, revisi tersebut dapat membantu meningkatkan pertumbuhan kredit pemilikan rumah (KPR) perseroan yang sempat lesu di awal 2015.

“Dengan adanya LTV turun, untuk KPR di perkirakan tumbuh 10-15 persen tahun ini,” ujar Asmawi saat jumpa pers di Jakarta, Rabu (3/6).

KPR maupun kredit pemilikan apartemen (KPA) konvensional akan dinaikkan oleh BI sebesar 10 persen, sedangkan untuk syariah sebesar 5 persen. Dengan demikian, uang muka KPR bisa jadi hanya 20 persen dari sebelumnya 30 persen. Ketentuan BI tersebut diperkirakan akan berlaku pada Juni atau Juli 2015.

Menurut Asmawi, dengan adanya kelonggaran LTV tersebut, akan meningkatkan daya beli masyarakat. Bukan hanya itu, aturan tersebut juga mampu membantu laju pertumbuhan ekonomi nasional yang pada triwulan pertama 2015 hanya tumbuh 4,71 persen.

“Konstruksi ikut naik, semen naik, baja, tenaga kerja naik, demand orang beli rumah, memberikan lapangan kerja baru, ada demand untuk bahan bangunan, ada demand untuk misal terkait dengan tenaga kuli, warung-warung tingkat konsumsi juga akan naik,” ujar Asmawi.

Hingga Mei 2015, BRI baru menyalurkan KPR sebesar tiga persen atau sebesar Rp14,7 triliun. Porsi KPR BRI tersebut masih relatif kecil dibanding total outstanding pinjaman yang telah disalurkan perseroan. Pertumbuhan KPR juga mengalami perlambatan dibanding pertumbuhan di triwulan IV-2014 yang sebesar 4,32 persen secara kuartalan (qtq) menjadi 2,04 persen di triwulan I-2015. Sepanjang 2014 lalu, KPR BRI sendiri tumbuh 20,8 persen secara tahunan.

Sebelumnya, Anggota Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun juga mendukung revisi aturan LTV ini. Ia menilai kelonggaran aturan LTV tersebut dapat mendukung pemerintah yang berupaya untuk tercapainya pertumbuhan ekonomi yang lebih baik lagi pada kuartal kedua tahun ini. Bukan hanya itu, menurut Misbakhun, kebijakan tersebut mencerminkan bahwa BI peka terhadap persoalan yang selama ini dihadapi oleh masyarakat luas.

“Aturan BI yang nantinya akan melonggarkan LTV harus dimanfaatkan dengan baik oleh industri supaya benar-benar menggerakkan sektor riil,” kata politisi dari Partai Golkar ini.

Misbakhun berharap, upaya BI tersebut dapat didukung oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui kebijakan mikroprudensial LTV. Ia menilai dukungan OJK tersebut akan semakin melengkapi langkah untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian di Indonesia.

“Hal ini dilakukan untuk mendorong industri bisa beroperasi dengan baik dan konsumen juga terlindungi hak-haknya,” kata Misbakhun.

Sebagaimana diketahui, BI berencana untuk melonggarkan kebijakan makroprudensial melalui revisi ketentuan GWM-LDR, ketentuan LTV untuk KPR dan ketentuan pembayaran down payment untuk kredit kendaraan bermotor (KKB). Rencana ini disampaikan BI seusai dilakukannya rapat dewan gubernur BI yang memutuskan untuk mempertahankan BI rate sebesar 7,50 persen, dengan suku bunga deposit facility 5,50 persen dan lending facility pada level 8,00 persen, Selasa (19/5).

BI menilai upaya tersebut dipercaya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Yakni dengan semakin bertumbuhnya kredit yang diperkirakan bisa mendekati kisaran 15-17 persen. Langkah ini semakin lengkap lantaran didukung oleh kondisi likuiditas perbankan yang memadai serta meningkatnya aktifitas ekonomi yang sejalan dengan ekspansi keuangan pemerintah.

Selama ini, LTV di perbankan konvensional dan Financing To Value (FTV) bagi perbankan syariah untuk kredit pemilikan properti dan kredit konsumsi beragun properti tercantum dalam Surat Edaran (SE) BI No. 15/40/DKMP tentang Penerapan Manajemen Risiko Pada Bank Yang Melakukan Pemberian Kredit Atau Pembiayaan Pemilikan Properti, Kredit Atau Pembiayaan Konsumsi Beragun Properti dan Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor.

Aturan ini merupakan perubahan dari ketentuan sebelumnya. Perubahan aturan ini lebih kepada nilai LTV atau FTV yang dicover oleh perbankan. Dalam aturan disebutkan, untuk pembiayaan di perbankan konvensional, kredit rumah pertama tipe 70 meter ke atas akan dikenakan LTV maksimal 70 persen, rumah kedua 60 persen, rumah ketiga dan seterusnya 50 persen. Ketentuan serupa juga berlaku untuk Kredit Pemilikan Rumah Susun (KPRS) tipe 70 meter persegi ke atas.

Sedangkan kredit rumah pertama tipe 22-70 meter persegi tidak dikenakan LTV, rumah kedua dikenakan LTV 70 persen, rumah ketiga dan selebihnya 60 persen. Untuk KPRS pertama dikenakan LTV 80 persen, KPRS kedua 70 persen, KPRS ketiga dan selebihnya 60 persen.

Kemudian, KPRS tipe 21 meter persegi dan rumah toko (ruko) atau rumah kantor (rukan), untuk kepemilikan pertama tidak dikenakan LTV. Di kepemilikan kedua baru dikenakan LTV maksimal 70 persen, kepemilikan ketiga dan selebihnya 60 persen.

Untuk di perbankan syariah, kredit rumah pertama tipe 70 meter per segi ke atas dikenakan FTV maksimal 80 persen, rumah kedua 70 persen, rumah berikutnya 60 persen. Ini berlaku juga untuk KPRS tipe 70 meter persegi ke atas. Sedangkan untuk KPR tipe 22-70 meter persegi tak dikenakan FTV untuk kepemilikan pertama, maksimal FTV 80 persen untuk kepemilikan kedua dan maksimal FTV 70 persen untuk kepemilikan ketiga dan seterusnya.

KPRS tipe 22-70 meter persegi, FTV yang diberikan maksimal 90 persen untuk kepemilikan pertama, 80 persen untuk kepemilikan kedua dan 70 persen untuk kepemilikan ketiga dan seterusnya. Sedangkan KPRS untuk tipe 22-70 meter persegi tak dikenakan FTV untuk kepemilikan pertama. Baru kredit rumah kedua dikenakan FTV 80 persen, rumah ketiga dan selebihnya 70 persen. Hal serupa juga berlaku bagi kredit ruko dan rukan di perbankan syariah.

Sayangnya, perubahan aturan tersebut masih menimbulkan keluhan. Salah satunya datang dari Real Estate Indonesia (REI). Ketua Umum REI Eddy Hussy berharap agar BI dapat meninjau kembali aturan tersebut. Menurutnya, aturan dengan down payment sebesar 30 persen itu terlalu memberatkan bagi masyarakat menengah ke bawah. Bahkan, dengan adanya aturan tersebut, rencana untuk memperkecil kekurangan perumahan (backlog) dirasa tak akan terjadi.
Tags:

Berita Terkait